tirto.id - Angka kekerasan dan eksploitasi anak serta remaja secara global mengalami peningkatan selama pandemi COVID-19. Bahkan irisannya meluas ke kekerasan digital. Pemerintah punya PR mengatasi hulu masalah, yakni edukasi kesehatan reproduksi (kespro) anak dan remaja yang adekuat.
“Pendidikan seksual di tingkat sekolah dianggap tabu. Padahal pengenalan seksualitas hanya soal organ reproduksi, bagaimana menjaga organ reproduksi dan kebersihannya,” ungkap Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo dalam penutupan Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi (KR) secara virtual, Rabu, (30/6/2021).
Hasto kemudian menyinggung survei dari KPAI (2019) yang menyebut kekerasan seksual pada anak mayoritas ada di jenjang sekolah dasar (62 persen), disusul SMP (24 persen), dan SMA (14 persen). Di sisi lain secara global angka kejadian kekerasan dan eksploitasi seksual anak meningkat sebesar 98,66 persen seturut National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC, 2020).
Siswanto Agus Wilopo, guru besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Perawatan (FKKMK) UGM dalam rangkaian pertemuan sebelumnya menggambarkan tantangan edukasi kespro di tingkat anak dan remaja. Di mana oleh tenaga pendidik buku kespro dianggap “saru” dan tak boleh gamblang dipertontonkan.
“Gambar dan penyebutan penis dan vagina dilarang, katanya terlalu vulgar,” ujar Siswanto saat acara pembukaan media, Sabtu, (26/6/2021).
Indonesia hanya melihat kasus kekerasan seksual anak sebagai masalah utama tanpa melihat hulunya. Dilihat secara kasar, dari 100 persen informasi kespro remaja, katanya, 75 persennya tidak akurat. Anak dan remaja cenderung mencari informasi justru dari media sosial, teman, atau malah produk industri pornografi.
Cakupan informasi kespro yang rendah ini menjadi cikal perilaku seksual negatif, plus masalah ketimpangan gender di kemudian hari.
Saatnya Mengedukasi Anak dan Remaja
Banyak penelitian membuktikan, edukasi adalah kunci dari masalah kespro. Studi muatan African Health Science (2008) misalnya, menyebut bahwa anak-anak dengan informasi cukup soal seksualitas lebih terhindar dari perilaku berisiko dibanding mereka mereka yang minim literasi.
“Menyembunyikan pendidikan seks dari anak justru membuat mereka lebih rentan, karena anak dan remaja sedang berada dalam fase mencari dan memiliki rasa penasaran tinggi,” demikian Hasto menekankan. Pernyataannya merupakan kutipan studi dari Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia (2017).
Penelitian dari Rutgers WPF Indonesia dan UGM turut menguatkan teori tersebut. Rutgers adalah organisasi yang berfokus pada isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS).
Diana Teresa Pakasi, peneliti Rutgers mendata perubahan perspektif anak di sejumlah yang diberi program pendidikan kespro bernama “Setara”. "Awalnya mereka tidak nyaman ketika membicarakan pubertas, sekarang menjadi lebih normal dan terbuka,” katanya.
Penilaian positif juga datang dari poin pemahaman soal perundungan dan dampaknya. Program kespro “Setara” disisipkan sekolah sampel dalam bermacam mata pelajaran diantaranya kelas BK, kesehatan reproduksi, PKN, agama, bahasa indonesia, bahasa inggris, sains, dan sosial.
“Anak jadi lebih sering berdiskusi soal kehamilan, kontrasepsi, dan hiv. Mereka jadi nyaman memandang perubahan tubuh, lebih rendah mendukung sifat gender stereotip, dan punya komunikasi lebih baik dengan orangtua,” ringkas peneliti dari UGM, Anggrayani Wahyu. Penelitian ini dilakukan pada 29 sekolah di Bandar Lampung, Semarang, dan Denpasar.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Abdul Aziz