Menuju konten utama
29 September 1986

"Kegilaan" dan Aksi Nyentrik Moestopo Demi Republik

Moestopo adalah dokter gigi yang menjadi tentara. Ia dikenal karena sikapnya yang nyentrik dan sering melakukan tindakan tak lazim.

Dr. Moestopo. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada 1946, Moestopo dikirim ke Subang, Jawa Barat. Komandan Resimen Siliwangi Bandung Utara ini memimpin Pasukan Teratai untuk menahan pergerakan tentara Sekutu yang diboncengi Belanda tidak seberapa lama setelah Indonesia merdeka.

Tak hanya menggalang pasukan reguler, Moestopo juga melibatkan kalangan non-militer dan bukan orang-orang biasa. Ia menggerakkan legiun yang terdiri dari copet, begal, preman, residivis, hingga pelacur. Mereka disebar untuk menimbulkan kekacauan di pihak musuh, melakukan sabotase, juga menyediakan pasokan logistik dari garis belakang.

Gebrakan serupa juga pernah dilakukan Moestopo selaku Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mengadang pasukan Sekutu (Inggris) sebelum pecahnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Masih banyak tingkah “gila” Moestopo lainnya pada zaman perang di awal kemerdekaan. Diungkapkan Barlan Setiadijaya dalam 10 November '45: Gelora Kepahlawanan Indonesia (1991), di depan anak buahnya, Moestopo membakar ujung bambu runcing sampai sedikit hangus, kemudian dimasukkan ke dalam kotoran kuda (hlm. 571).

Bukan tanpa alasan Moestopo melakukan tindakan konyol itu. Maksud mengoleskan kotoran kuda di ujung bambu runcing adalah agar lawan yang tertusuk terkena penyakit tetanus. Ia sempat menulis makalah tentang hal ini saat masih mengikuti pelatihan militer dan mendapat nilai tinggi.

Moestopo juga pernah memerintahkan pasukannya makan daging kucing. Menurutnya, dikutip dari Gejolak Revolusi di Indonesia 1945-1949 (1990) karya Robert B. Cribb & Hasan Basari, daging kucing bisa membuat penglihatan menjadi lebih baik dalam kondisi gelap sekalipun, dan itu sangat diperlukan untuk perang gerilya.

Cribb dan Basari mengakui bahwa Moestopo adalah perwira yang eksentrik dan imajinatif (hlm. 108). Ia juga menorehkan banyak jasa bagi Republik, termasuk berkat tindakannya yang terkadang di luar kelaziman itu.

Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. Moestopo memang bukan orang sembarangan. Lantaran itulah ia pernah diangkat sebagai penasihat oleh Presiden Sukarno maupun Panglima Besar Jenderal Soedirman di masa Revolusi.

Moestopo juga seorang pendidik sekaligus dokter gigi. Ia menjalani rutinitas itu setelah perang berakhir hingga wafatnya tanggal 29 September 1986, tepat hari ini 33 tahun silam. Pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas nama pemerintah RI menganugerahi Moestopo dengan gelar Pahlawan Nasional.

Tentara Atau Dokter Gigi?

Lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 13 Juni 1913, Moestopo memang sudah bercita-cita ingin menjadi dokter gigi. Maka, setelah lulus sekolah menengah, ia mantap mendaftarkan diri ke Sekolah Kedokteran Gigi milik pemerintah kolonial Hindia Belanda atau School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) di Surabaya.

Karier Moestopo menapak cerah ketika pada 1937 ia dipercaya menjadi asisten dokter gigi. Menjelang berakhirnya era Belanda di Indonesia, dikutip dari Takhta untuk Rakyat (1982) suntingan Atmakusumah, Moestopo bahkan menjabat sebagai Wakil Direktur STOVIT sekaligus Kepala Bagian Klinik Gigi CBZ (kini Rumah Sakit Umum Pusat) Surabaya (hlm. 350).

Pada 1942, ia sempat ditangkap serdadu Jepang yang mencurigainya sebagai mata-mata Belanda lantaran postur badannya yang kekar, namun kemudian dibebaskan. Setelah itu, Moestopo mula-mula bekerja sebagai dokter gigi untuk pemerintah Dai Nippon sebelum memutuskan masuk pelatihan militer Jepang, satu angkatan dengan Soedirman dan Gatot Soebroto.

Moestopo kini meniti jalan baru di ranah keprajuritan dan otaknya memang cemerlang. Ia langsung diangkat sebagai komandan PETA (Pembela Tanah Air) di Sidoarjo setelah lulus pelatihan militer.

Belum lama berselang, pemerintah militer Dai Nippon menaikkan pangkat Moestopo menjadi komandan pasukan pribumi di Gresik dan Surabaya. Tidak banyak orang Indonesia yang menerima promosi jabatan ini, cuma lima orang, dan Moestopo adalah salah satunya.

Hingga titik ini, Moestopo tampaknya memang pantas menyandang tugas sebagai tentara. Dan itu bakal terus berlanjut hingga masa-masa selanjutnya, termasuk diwarnai dengan sejumlah “kegilaannya” yang bikin orang geleng-geleng kepala.

Polemik Moestopo vs Hatta

Moestopo datang ke Kantor Gubernur Jawa Timur untuk menghadap Sukarno yang berkunjung ke Surabaya pada masa genting awal November 1945. Kepada presiden, ia membeberkan kelicikan tentara Inggris atau Sekutu dan meminta agar pemerintah RI tidak menjalin negosiasi dengan orang-orang tersebut.

Belum sempat presiden bereaksi, Mohammad Hatta mendadak tiba bersama beberapa orang asing. Moestopo langsung beringsut ke sudut ruangan. Kepada Sukarno, seperti dikisahkan Roeslan Abdoelgani melalui Peristiwa 10 November dalam Lukisan (1988) karya H. Lukitaningsih, Hatta menanyakan siapa orang yang bersikap aneh itu.

Hatta akhirnya tahu, orang itu adalah komandan BKR yang juga Menteri Pertahanan ad-interim. Moestopo, dikutip dari tulisan Moehkardi berjudul R. Mohammad dalam Revolusi 1945 Surabaya: Sebuah Biografi (1993), telah mengangkat diri sebagai Menteri Pertahanan RI sejak hari pertama kedatangan Inggris di Surabaya (hlm. 82).

Sang wakil presiden juga telah mendengar bahwa Moestopo sangat menentang kebijakan politik pemerintah untuk menghadapi Sekutu, yakni lebih mengedepankan cara-cara diplomasi. Dengan sinis, Hatta menghampiri Moestopo dan berseru, "Lha, ini dia pemberontaknya, ekstremisnya!"

Apa jawab Moestopo?

“Memang, saya ekstremis, saya pemberontak. Bukankah lebih baik menjadi pemberontak, mati dalam perjuangan, daripada dijajah bangsa asing lagi?” tukasnya ketus sambil mengacungkan jarinya ke arah orang-orang asing yang datang bersama Hatta.

Bukan sekali ini saja Moestopo terlibat relasi panas dengan Hatta. Pada kesempatan lainnya, Hatta juga pernah menghardik Moestopo. Diceritakan dalam Seri Pengenalan Tokoh: Sekitar Proklamasi Kemerdekaan (2010) suntingan Riris Sarumpaet, Hatta kesal lantaran Moestopo terlambat memenuhi panggilannya (hlm. 122).

Hatta memang dikenal sangat disiplin, terutama soal waktu. Moestopo telat karena mobilnya mogok. Tapi, Hatta tak mau tahu. Begitu Moestopo tiba, ia langsung membentak. “Hai, Jenderal Moestopo! Kamu itu jenderal atau bukan?!” Moestopo yang memang salah—meskipun ia punya alasan—kali ini terpaksa menerima semburan Hatta.

Perseteruan antara Moestopo dan Hatta di Kantor Gubernur Jawa Timur pada permulaan November 1945 tampaknya berbuntut panjang. Sukarno sampai turun tangan untuk melerai dua pejuang Republik yang punya jalan pikiran berbeda itu.

Presiden akhirnya memutuskan, Moestopo ditarik dari medan tempur dan akan ditempatkan di istana negara. “Sekarang, saudara Moestopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta,” titah Sukarno.

Moestopo tidak sepakat dengan keputusan itu. “Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad-interim, penanggungjawab Revolusi Jawa Timur? Siapa?” tanyanya.

Jawab Sukarno tegas, “Saya sendiri!”

Moestopo langsung undur diri dengan memendam rasa kecewa, lantas pulang ke rumahnya di Gresik. Ia pun tidak terlibat langsung dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Infografik mozaik DR Moestopo

Infografik mozaik DR Moestopo. tirto.id/Deadnauval

Aksi Nyentrik Dokter-Pejuang

Moestopo akhirnya mematuhi juga perintah presiden kendati hanya bertahan sebentar. Ia rupanya tidak tahan cuma duduk-duduk di istana. Naluri prajuritnya senantiasa muncul dan amat sukar ditahan-tahan lagi.

Ia menghadap presiden dan memohon agar dipulangkan ke lapangan. Sukarno pun luluh. Moestopo dikirim ke Yogyakarta dan memimpin divisi tempur yang ia beri nama “Ayam Jago”—terinspirasi dari nama kesatuan penggempur milik Inggris, “The Fighting Cock”.

Di kesatuan itu, Moestopo memperlihatkan lagi keeksentrikannya. Divisi Ayam Jago adalah divisi mobil. Maka, untuk menunjukkan mobilitas kesatuan yang dipimpinnya itu, Moestopo menjadikan kereta api sebagai markas permanen. Tujuannya agar pasukannya bisa selalu bergerak dari Yogyakarta, baik ke arah timur (front Surabaya) maupun ke arah barat (front Kebumen), dengan kereta api.

Di Yogyakarta pula, sebut Moehkardi di buku Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945-1949 (1993), Moestopo membentuk unit pasukan yang melibatkan kaum bromocorah dan wanita tuna susila, yang ia namakan Barisan Maling (BM) dan BWP (Barisan Wanita Pelacur). Barisan ini pula yang nantinya diterjunkan untuk mengadang laju Sekutu di Subang.

Moestopo memang lebih memilih jalur pertempuran demi menjaga martabat negeri ketimbang harus bernegosiasi dengan Belanda. Baginya, bertempur dengan penjajah adalah amanat proklamasi. Dalam hal ini, Soedirman setuju dengannya. Moestopo pun diangkat sebagai penasihat perang jenderal besar itu.

Penolakan Moestopo atas kebijakan diplomasi pemerintah tetap konsisten hingga menjelang pengakuan kedaulatan penuh dari Belanda yang terjadi pada akhir Desember 1949 sebagai hasil dari perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini dimotori Hatta dan kawan-kawan.

Disebutkan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 4 (2008), Moestopo berusaha mempersatukan semua kekuatan serta sumber-sumber perjuangan rakyat pada Oktober 1949 (hlm. 361). Tujuannya untuk tetap melakukan perjuangan secara gerilya. Namun, upaya itu gagal.

Masa perang akhirnya usai pada 1950. Moestopo pun turun gelanggang. Ia kembali menjadi dokter sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat di Jakarta, serta sering memberikan pelatihan kesehatan. Selain itu, ia juga sempat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Moestopo terjun pula ke ranah akademis. Setelah menuntaskan pendidikan di Amerika Serikat, ia menggagas berdirinya Dr. Moestopo Dental College pada 1958 yang kemudian berkembang menjadi perguruan tinggi pada 15 Februari 1961. Kampusnya diberi nama Universitas Prof. Dr. Moestopo, terletak di Jalan Hang Lekir, Jakarta Pusat.

Sang jenderal eksentrik ini mengabdikan sisa hidupnya untuk dunia pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Moestopo meninggal di Bandung tanggal 29 September 1986 dan beberapa tahun kemudian memperoleh gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya yang sering tak terduga itu.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 September 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan