tirto.id - Kebiri kimia memicu perdebatan lagi setelah hukuman itu dijatuhkan kepada pelaku pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur, Muhammad Aris.
Hukuman untuk Aris dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerjo dan diperkuat putusan sidang banding di Pengadilan Tinggi Surabaya. Warga Mengelo Tengah, Sooko, Mojokerto itu juga mendapatkan hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise memuji majelis hakim PN Mojokerto sebab menjadi yang pertama menerapkan hukuman kebiri kimia di Indonesia.
“Ini hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan, sehingga efek dari hukuman tambahan akan bisa kita lihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok. Ini salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada predator anak [...]," kata Yohana pada 26 Agustus 2019 lalu.
Karena vonis untuk Aris sudah inkrah, jaksa pun berencana melakukan eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap Aris. Namun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor.
"Atas dasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah, kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat serta potensi perilaku kekerasaan seksual pelaku," ujar Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) IDI, Pudjo Hartono dalam keterangan resminya pada awal pekan ini.
Kata Pudjo, penunjukan dokter sebagai eksekutor hukuman itu juga bertentangan dengan fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 tahun 2016 tentang Kebiri Kimia sekaligus prinsip dalam Kode Etik Kedokteran lndonesia (KODEKI).
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam bahkan menilai penegakan hukum di Indonesia mengalami kemunduran jika hukuman kebiri diterapkan.
"Saya mencontohkan, jika pengedar narkoba dieksekusi hukuman mati, kenapa sampai sekarang masih banyak beredar narkoba," kata dia, sebagaimana dilansir Antara.
Riwayat Kemunculan Hukuman Kebiri Kimia
Hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak sudah memicu perdebatan sebelum diatur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Presiden Jokowi meneken Perppu itu pada 26 Mei 2016 dengan pertimbangan bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan di Indonesia. Perppu itu mengubah pasal 81 UU Perlindungan Anak sebelumnya soal hukuman ke pelaku kejahatan seksual pada anak.
Perubahan itu di antaranya memasukkan hukuman tambahan bagi pelaku, yakni pengumuman identitas, pelaksanaan kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik guna mengetahui keberadaan mantan terpidana. Selain itu, ada tambahan pasal 81A yang mengatur kebiri kimia disertai rehabilitasi. Pidana tambahan tersebut hanya dikecualikan bagi pelaku berusia anak.
Hukuman tambahan ini melengkapi pemberatan pidana pokok bagi pelaku kejahatan seksual pada anak, dengan dampak berat terhadap korban atau jumlah korban lebih dari satu. Hukuman pokok tersebut: pidana mati, seumur hidup, atau penjara minimal 10 tahun dan maksimal 12 tahun.
Saat Perppu itu masih berupa draft dan wacana hukuman kebiri menuai kontroversi, sebanyak 99 organisasi masyarakat sipil pernah membentuk Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri.
Aliansi 99 juga merilis kajian, “Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak di Indonesia,” pada Februari 2016.
Kajian itu mencatat hukuman kebiri pertama kali secara resmi diusulkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2015 dan didukung Menteri Sosial saat itu, Khofifah Indar Parawansa. Salah satu alasan KPAI, hukuman itu bisa memutus mata rantai kejahatan seksual.
"Saat itu, Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh menyatakan hukuman suntik antiandrogen adalah ganjaran yang tepat bagi pedofil atau pelaku kekerasan seksual pada anak," demikian catatan kajian itu.
Praktik hukuman tersebut ialah memasukkan bahan antiandrogen ke dalam tubuh melalui suntikan atau pil. Antiandrogen dapat melemahkan hormon testosteron sehingga hasrat seksual seseorang berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Berdasar kajian Aliansi 99, usulan KPAI itu lalu didukung pemerintah dengan alasan kejahatan seksual pada anak di Indonesia sudah darurat. Pada Oktober 2015, Menteri PPPA Yohana Yambise memastikan pemerintah akan menerbitkan Perppu yang memuat hukuman kebiri.
Rencana itu mendapat respons negatif, terutama dari organisasi pembela HAM. Aliansi 99 menulis ada tiga alasan utama penolakan itu. Pertama, hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem pidana atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia.
Kedua, hukuman kebiri melanggar HAM karena tidak sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi Indonesia. Ketiga, hukuman kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak.
Akan tetapi, pemerintah bersikeras mendorong pemberlakuan hukuman kebiri. Menteri Yohana pernah menegaskan pewacanaan hukuman kebiri adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam memberantas kejahatan seksual terhadap anak.
“Pemerintah menilai kasus kekerasan terhadap anak mencapai tahap yang mengkhawatirkan sehingga diperlukan langkah konkret, salah satunya dengan memperberat hukuman bagi para pelaku untuk memberikan efek jera dan hukuman yang setimpal,” ujar Yohana pada 22 Februari 2016 silam.
Perppu "kebiri kimia" akhirnya ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang lewat pengesahan UU Nomor 17 Tahun 2016. Meski disetujui mayoritas anggota dewan dalam rapat paripurna DPR pada 12 Oktober 2016, pengesahan UU tersebut sempat ditolak Fraksi Gerindra dan PKS.
Ketua Fraksi PKS saat itu, Jazuli Juwaini beralasan regulasi tidak boleh hanya bersifat sebagai retorika dan pencitraan. Namun, Jazuli juga mengatakan, "Kami hargai prinsip demokrasi dan hargai pendapat fraksi tentang concern perlindungan perempuan dan anak."
Ternyata, hingga kini Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan hukuman kebiri yang menjadi turunan UU 17/2016 belum terbit. Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Kanya Eka Santi mengklaim PP tersebut sedang digodok pemerintah.
"Kami di kementerian/lembaga masih membahas terkait PP. Semua terlibat seperti Kejaksaan Agung, KPPPA, Kementerian Kesehatan dan lainnya," kata Eka, Selasa (27/8/2019), seperti dilansir Antara.
Editor: Agung DH