tirto.id - Meskipun sempat mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam rapat paripurna yang diselenggarakan Rabu (12/10/2016) telah menyetujui aturan mengenai pengebirian pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang sebelumnya tertuang dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk diubah menjadi undang-undang.
Seluruh anggota DPR yang menghadiri Rapat Paripurna menyatakan setuju ketika Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menanyakan apakah rancangan undang-undang tersebut disetujui menjadi undang-undang. Meskipun begitu, sebelum diresmikan, Fraksi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sempat menolak Perppu itu disetujui menjadi undang-undang.
"Kami hormati sistem yang berjalan, apapun yang disahkan DPR dapat diimplementasikan dengan baik. Namun dengan catatan Gerindra belum bisa menyetujui Perppu tersebut menjadi UU," ujar Anggota Fraksi Partai Gerindra Saraswati Djojohadikusumo.
Saraswati menegaskan setelah Perppu itu disetujui menjadi Undang-Undang maka harus ada komitmen dari tiap fraksi untuk merevisi undang-undang itu agar lebih komprehensif dan dapat dilaksanakan secara efektif.
Sebagai informasi, aturan mengenai hukuman kebiri sebelumnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 24 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Senada dengan Saraswati, Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi PKS, mengatakan regulasi tidak boleh hanya bersifat retorika dan pencitraan. "Kami hargai prinsip demokrasi dan hargai pendapat fraksi tentang concern perlindungan perempuan dan anak," katanya. Ia mengatakan saat Perppu itu disetujui menjadi undang-undang nantinya harus ada revisi guna menciptakan aturan yang komprehensif.
Menanggapi keputusan DPR-RI tersebut, Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada Rabu (12/10/2016) di Gedung DPR-RI mengatakan pemerintah akan segera membuat beberapa peraturan turunan sebagai payung hukum keputusan tersebut.
IDI sebelumnya pernah menyatakan penolakan jika para dokter diarahkan menjadi eksekutor hukuman kebiri kimiawi. Menurut Ketua Umum IDI Prof. Dr Ilham Oetama Marsis kebiri kimiawi tidak sesuai dengan kode etik kedokteran. Terlebih, kebiri kimia, menurutnya, tidak menjamin berkurangnya hasrat dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku.
Karena itu, IDI mengusulkan agar pemerintah mencari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan. Di sisi lain, IDI lebih mendorong para dokter dalam hal rehabilitasi korban dan pelaku. Rehabilitasi korban, menurut Ilham, menjadi prioritas utama guna mencegah dampak buruk dari trauma fisik dan psikis yang dialaminya.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara