Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Kebhinekaan (Makna) "Ummat" dalam al-Qur'an

Kata ummat muncul puluhan kali dalam al-Qur'an dan ternyata memuat makna yang berbeda-beda. Apa saja makna ummat dalam Qur'an?

Kebhinekaan (Makna)

tirto.id - Dalam Surat Al-Baqarah ayat 143, Allah berfirman: “Dan demikian Kami telah menjadikan kamu, ummatan wasathan agar kamu menjadi syuhada terhadap/buat manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi syahid terhadap/buat kamu.”

Dalam artikel ini tidak akan dibahas dengan rinci tentang ummatan wasathan (lebih lengkap tentang bahasan tentang ummatan wasathan ini, baca: Mengapa al-Qur'an Menyebut Umat Islam sebagai Umat Pertengahan?). Ayat di atas dikutip sebagai pembuka pembicaraan mengenai kebhinekaan makna ummat yang terkandung dalam al-Qur'an.

Ayat yang penulis kutip di awal tulisan menggarisbawahi agar kamu (wahai umat Islam) menjadi saksi atas perbuatan manusia. Ini juga dipahami dalam arti bahwa kaum muslim akan menjadi saksi di masa datang atas baik buruknya pandangan dan kelakuan manusia.

Pengertian masa datang itu dipahami dari penggunaan kata kerja masa datang/mudhari/present tense pada kata li takunu. Penggalan ayat itu mengisyaratkan pergulatan pandangan dan pertarungan aneka isme. Tetapi pada akhirnya ummatan wasathan inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan isme-isme itu. Masyarakat dunia akan kembali merujuk kepada nilai-nilai yang diajarkan Allah, bukan isme-isme yang bermunculan setiap saat.

Ketika itu, Rasul akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat Islam sesuai dengan tuntutan Ilahi atau tidak. Ini juga berarti bahwa umat Islam akan dapat menjadi saksi atas umat yang lain dalam pengertian di atas. Apakah gerak langkah mereka sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul SAW? Apakah mereka benar-benar menjadi umat Islam? Bukankah umat Nabi Muhammad SAW dinamai ummatan wasathan?

Mengenai kata ummat, memang banyak maknanya. Dalam al-Qur’an, kata ummat ditemukan muncul dalam bentuk tunggal sebanyak 52 kali dan dalam bentuk jamak sebanyak 12 kali.

Ad-Damighany, yang hidup pada abad ke-11 H, menyebut sembilan arti untuk kata ummat yaitu (1) ushbah/kelompok, (2) millat/cara dan gaya hidup, (3) tahun-tahun yang panjang, (waktu) yang panjang, (4) kaum, (5) pemimpin, (6) Generasi, (7) umat Nabi Muhammad SAW (umat Islam), (8) orang-orang kafir secara khusus dan (9) makhluk (yang dihimpun oleh adanya persamaan antar-mereka).

Kita bisa berbeda pendapat tentang makna-makna di atas, namun yang jelas adalah QS. Yusuf ayat 45 menggunakan kata ummat untuk arti waktu, dan QS. Az-Zukhruf ayat 22 dalam arti jalan, atau gaya dan cara hidup. Sedang QS. Al-Baqarah ayat 213, dalam hemat penulis, menggunakannya dalam arti kelompok manusia dalam kedudukan mereka sebagai makhluk sosial.

Selanjutnya, gabungan dari firman-Nya yang menamai Nabi Ibrahim sebagai ummat (QS. An-Nahl ayat 120) sama makna dan kandungannya dengan kata imam, yakni pemimpin sebagaimana ditegaskan oleh QS. Al-Baqarah ayat 124. Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah: “himpunan".

Infografik Al mumin al-asma al-husna

Dari sini kita dapat berkata bahwa pada kata ummat terselip makna-makna yang cukup dalam. Ia mengandung arti gerak dinamis, arah, karena tidak ada arti satu jalan kalau tidak ada arah yang dituju dan jalan yang dilalui. Dan, tentu saja, perjalanan guna mencapai kejayaan umat memerlukan waktu yang tidak singkat sebagaimana diisyaratkan oleh salah satu makna ummat serta pemimpin, baik seorang atau sekelompok orang yang memiliki sifat-sifat terpuji dan dengan gaya kepemimpinan serta cara hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh anggota masyarakat bangsa itu.

Yang paling wajar dinamai ummat dari seluruh kelompok/himpunan apapun dari manusia adalah umat Nabi Muhammad SAW yang memang telah disiapkan Allah untuk menjadi Khaira Ummah (QS. Ali-Imran ayat 110).

Kata ummat, dengan kelenturan, keluwesan dan aneka makna di atas memberi isyarat bahwa Al-Qur’an dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok umat, betapapun kecil jumlah mereka, selama perbedaan itu tidak mengakibatkan perbedaan arah. Atau, dengan kata lain, selama mereka “Berbhineka Tunggal Ika”. Hakikat ini diisyaratkan antara lain oleh firman-Nya:

"Janganlah kamu menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" (QS. Ali-Imran ayat 105).

Kalimat "sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka" dipahami oleh banyak ulama berkaitan dengan kata berselisih, bukan dengan kata berkelompok. Dan ini berarti bahwa perselisihan itu berkaitan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Adapun yang dimaksud dengan kata "berkelompok-kelompok", maka ia dapat dipahami dalam arti perbedaan dalam badan dan organisasi.

Memang perbedaan dalam badan dan organisasi dapat menimbulkan perselisihan, walaupun tidak mutlak. Dari aneka organisasi lahir pula perselisihan dalam prinsip dan tujuan. Jika demikian, ayat ini tidak melarang umat untuk berkelompok, atau berbeda pendapat, yang dilarangnya adalah berkelompok dan berselisih dalam tujuan. Adapun perbedaan yang bukan pada prinsip atau tidak berkaitan dengan tujuan, maka yang demikian itu dapat toleransi, bahkan tidak mungkin dihindari.

Rasul SAW sendiri mengakuinya, bahkan Allah menegaskan bahwa yang demikian itulah adalah kehendak-Nya jua.

Sekiranya Allah menghendaki, misalnya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS. Al-Maidah ayat 48).

Demikian, wa Allah A’lam.

=======

*) Naskah dinukil dari buku "Membumikan al-Qur'an Jilid 2" yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

Kultum Quraish Shihab

Baca juga artikel terkait KULTUM QURAISH SHIHAB atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Reporter: M. Quraish Shihab
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS