Menuju konten utama
Mozaik

Kawah Kamojang, Jejak Awal Energi Panas Bumi di Indonesia

Setelah terlupakan selama puluhan tahun, panas bumi di Kawah Kamojang akhirnya mulai dimanfaatkan pada 1982 dan menjadi PLTP pertama di Indonesia.   

Kawah Kamojang, Jejak Awal Energi Panas Bumi di Indonesia
Header Mozaik Kawah Kamojang. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Februari 1926, suara mesin bor memecah keheningan hutan di pergunungan Jawa Barat. Sekelompok peneliti memulai pengeboran sumur eksplorasi pertama di Kawah Kamojang.

Pengeboran perdana oleh Netherland East Indies Volcanological Survey ini bukan hal mudah. Tanah vulkanik yang rapuh dan tekanan gas yang tak terduga membuat setiap langkah penuh risiko.

Lubang bor pertama terpaksa ditinggalkan setelah sumur lumpur meletus di dekatnya. Kondisi ini membuat tim peneliti mundur sementara.

Pengeboran sumur kedua membawa harapan baru ketika mereka menemukan blower gas yang kuat pada kedalaman 18,60 meter. Tapi, seperti jin yang kembali ke dalam botol dalam kisah fantasi, gas itu menghilang begitu pipa ditutup, menyisakan misteri di bawah tanah.

Kemudian, digalilah sumur ketiga yang terletak dekat Kawah Panggilingan. Dari kedalaman 60 meter, uap hampir murni mulai keluar, menderu dengan tekanan 2,5 atm. Jumlah uap diperkirakan mencapai 8.000 kg/jam.

Uap itu, yang seakan membawa napas bumi, dihitung mampu menghasilkan energi listrik sebesar 900 kW. Para peneliti telah membuka pintu menuju sumber energi yang tak terduga.

Sementara sumur bor keempat digali hingga kedalaman 105 meter. Suhu uap yang keluar sebesar 140°C, tetapi tekanannya sangat rendah sehingga uap tersebut tidak berguna.

Eksplorasi ini belum berakhir. Pada September 1926, lubang sumur kelima digali. Suhu gas di dalamnya mencapai 123°C, cukup panas untuk membuat air mendidih dalam sekejap.

Pada Desember 1928, tekanan gas pada lubang pengeboran III dan V meningkat hingga 5 atm dengan suhu yang stabil pada 140°C. Dua sumur eksplorasi yang sukses ini menjadi sumber utama pengamatan selama bertahun-tahun berikutnya.

Tekanan dan suhu dari kedua sumur eksplorasi ini diukur setiap hari hingga April 1934, ketika stasiun pengamatan sementara ditutup. Suhu diperiksa lagi pada April 1938 dan Mei 1939, keduanya tidak banyak berubah.

Penelitian terhadap gas di Kawah Kamojang menunjukkan selama 12 tahun pengamatan, suhu dan tekanan gas di sumur III lebih tinggi pada awalnya dan sedikit menurun sejak 1928. Pada sumur V, suhu gas hampir konstan, namun tekanannya berkurang secara signifikan dari 4 hingga hampir 6 atm menjadi 0,5 atm.

Rangkaian peristiwa eksplorasi sumur panas bumi di Kawah Kamojang pada era Hindia Belanda ini dikutip dari jurnal History of the volcanology in the former Netherlands East Indiesyang diterbitkan M. Neumann van Padangpada 1983.

Penelitian Awal

Menurut Neumann, penelitian mengenai Kawah Kamojang pertama kali didokumentasikan secara rinci oleh para peneliti Belanda. Pada 1926, Taverne mengungkapkan morfologi Kawah Kamojang dengan sangat detail. Ia mencatat lapangan fumarol di kawasan ini tidak berhubungan dengan gugusan Guntur karena dipisahkan oleh punggung gunung berapi tua setinggi 2.000 meter yang telah mengalami erosi.

Lalu pada 1929, Stehn menggambarkan lapangan fumarol dan sumur lumpur di Kawah Kamojang. Suhu yang ditemukan di sana berkisar antara 90-94°C.

Sebelumnya, pada 1896, Verbeek dan Fennema menduga Kawah Kamojang berada di sisi tenggara sebuah kaldera dengan radius sekitar 1.900 meter. Dugaan ini menambah pemahaman tentang struktur geologi di kawasan tersebut.

Pada 1918, seorang peneliti bernama JB van Dijk mengusulkan ide revolusioner: memanfaatkan energi dari gunung berapi di Hindia Belanda. Ide dari pengajar di Hoogere Burgerschool (HBS) te Bandoeng ini memicu serangkaian penelitian dan diskusi kritis oleh para ahli, seperti Escher, Taverne, Stehn, dan van Bemmelen.

Gagasan van Dijk dimulai dengan satu tulisan berjudul “Krachtbronnen in Italie” yang terbit di majalah Koloniale Studien. Keberhasilan Italia memanfaatkan panas bumi untuk energi listrik di Larderello, Italia Tengah, menginspirasi van Dijk untuk mendorong Pemerintah Hindia Belanda melakukan hal yang sama.

Akan tetapi, tulisan van Dijk ditanggapi dingin oleh pemerintah. Bahkan tulisannya dikritik dan idenya dianggap tidak masuk akal diterapkan di Hindia Belanda oleh pelbagai pihak. Butuh waktu sewindu, hingga pada 1926, Pemerintah Hindia Belanda menggelontorkan anggaran untuk pengeboran sumur eksplorasi di Kamojang.

Pada 1926-1928, Netherland East Indies Volcanological Survey mengebor lima sumur eksplorasi. Pengeboran dangkal 60-128 meter tersebut sebagai upaya pembuktian potensi panas bumi di Hindia Belanda. Namun, hingga 1960-an potensi panas bumi tersebut seolah terlupakan.

PLTP Pertama di Indonesia

Waktu berlalu dan Kawah Kamojang tetap bertahan, mengembuskan napas panasnya ke udara pergunungan. Di bawah bayang-bayang gunung berapi tua, para peneliti generasi baru berdiri, melanjutkan pencarian untuk mengungkap lebih banyak rahasia bumi. Mereka tahu, di dalam perut bumi yang bergejolak ini tersimpan kekuatan yang bisa mengubah wajah energi dunia.

Pada 1971, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Selandia Baru menyelidiki potensi panas bumi di Kawah Kamojang. Setahun kemudian, pengeboran pertama dilakukan bersama Geothermal Energy New Zealand Ltd.

Hingga 1979, sebanyak 10 sumur yang produksinya dapat digunakan untuk pembangkit listrik berhasil dieksplorasi. Tiga tahun berselang, yakni pada 1982, satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang beroperasi dengan kapasitas 30 MW. Dengan begitu, Kamojang resmi menjadi PLTP pertama di Indonesia.

Menyusul pada 1987, dioperasikan pembangkit 2 dan 3 dengan kapasitas produksi masing-masing 55 MW. Tiga pembangkit yang dikelola PT Indonesia Power Kamojang POMU (Power Generation and O&M Services Unit) total berkapasitas 140 MW.

Infografik Mozaik Kawah Kamojang

Infografik Mozaik Kawah Kamojang. tirto.id/Parkodi

Tiga unit PLTP Kamojang hingga kini masih beroperasi memasok listrik ke jaringan interkoneksi Jawa, Bali, Madura. Ketiganya terintegrasi dengan empat unit pembangkit di PLTP Darajat 55 MW dan PLTP Gunung Salak 180 MW. Total tujuh unit pembangkit yang dikelola PLTP Kamojang POMU menjadi salah satu andalan kelistrikan nasional yang dimiliki PT PLN (Persero).

Dengan kondisi geografis banyak gunung berapi, energi panas bumi merupakan energi baru dan terbarukan (EBT) yang potensinya cukup besar di Indonesia. Kompas.id mencatat pemanfaatan energi panas bumi baru mencapai 8,9 persen dari total potensi 23.900 MW di Tanah Air. Pemanfaatannya terkendala mahalnya biaya dan kebutuhan teknologi tinggi untuk eksplorasi.

Meski sudah beroperasi puluhan tahun, PLN mengklaim kinerja PLTP Kamojang tetap terjaga. Setiap tiga tahun sekali, dilakukan pemeliharaan rutin untuk memastikan semua unit pembangkit tetap andal. Pemeliharaan ini mencakup pengecekan dan pembersihan turbin serta mesin pembangkit yang memerlukan waktu sekitar 25 hari untuk satu unit.

PLN juga memastikan kelestarian hutan di sekitar sumber panas bumi tetap terjaga. Kelestarian hutan ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan sumber daya panas bumi.

PLN lewat anak perusahaannya, Indonesia Power, memberdayakan masyarakat setempat untuk menanam kopi di kaki Gunung Papandayan. Upaya ini tidak hanya mencegah longsor, tetapi juga menjaga sumber air yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan panas bumi.

Kawah Kamojang, dengan segala keheningan dan dentuman mesin bor, telah menjadi saksi awal dari perjalanan panjang Indonesia menuju pemanfaatan energi panas bumi. Dari cerita-cerita para pionir yang berdiri di tepi lubang bor, hingga mesin-mesin modern yang kini beroperasi, Kawah Kamojang tetap menjadi simbol kekuatan alam yang bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran manusia.

Baca juga artikel terkait KAMOJANG atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - News
Kontributor: Gilang Ramadhan
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Irfan Teguh Pribadi