tirto.id - Seluruh anggota parlemen Australia di Canberra diminta mengubah kata sandinya lantaran diduga terjadi aksi peretasan di sistem komputasi mereka, Kamis (7/2/2019) waktu setempat.
Badan Keamanan Siber terkemuka Australia sedang menyelidiki kasus ini. Meski begitu, berdasarkan pernyataan bersama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Tony Smith dan Presiden Senat Scott Ryan, tak ada bukti bahwa ada data "dicuri" dalam pelanggaran tersebut.
"Kami tak memiliki bukti bahwa ini merupakan upaya untuk memengaruhi hasil parlemen atau mengganggu proses pemilu termasuk politik," bunyi pernyataan itu seperti dikutip dari AP, Jumat (8/2).
Sementara itu, pemimpin oposisi Partai Buruh Australia Bill Shorten mengatakan, serangan tersebut harus jadi sebuah peringatan penting bagi parlemen.
"Apa yang terjadi hari ini adalah [peringatan bagi] parlemen dari gambaran [ancaman] yang lebih besar," katanya seperti dikutip dari CNN, Jumat.
Perdana Menteri Scott Morrison telah mengetahui masalah ini namun ia belum dapat berkomentar terkait sumber serangan tersebut.
"Saya harus menekankan bahwa tidak ada saran bahwa departemen atau lembaga pemerintah telah menjadi target dari serangan semacam itu," katanya kepada AP.
Di lain pihak, pakar keamanan dunia maya, Fergus Hanson dari Institut Kebijakan Strategis Australia meyakini ada pihak di balik insiden ini, kendati ia tak menyalahkan siapa pun.
"Mungkin ada informasi menarik tentang tunjangan parlemen yang diberikan kepada politisi, yang mungkin tak disukai publik. Mungkin ada email yang adapat merusak satu pihak atau pihak lain," ujarnya dikutip AP.
Sebagai informasi, insiden di Australia hanya sebulan setelah terjadi kebocoran data besar-besaran, yang mengumbar rincian kartu kredit, nomor telepon, dan alamat email para politisi Jerman, termasuk Kanselir Angela Markel.