tirto.id - Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono berpidato panjang lebar di hadapan para kader Partai Demokrat dan awak media di Kantor DPP Demokrat, Jakarta, Selasa (6/2). Ia berdiri dengan ditemani Edhie Baskoro Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, dan sang istri Kristiani Herrawati.
Sejumlah kata kunci keluar dari pidato dengan durasi 30-an menit itu.
"Saya akan jihad. Jihad untuk mencari keadilan."
"Apa jihad saya akan berhasil? Saya bisa kalah, kalau yang saya hadapi itu konspirasi besar yang punya kekuatan. Bagian dari kekuasaan atau kekuatan uang."
"Ini perang saya."
"Yang penting bantu saya dengan doa, mohon pada Allah. Saya diberi kekuatan dan pertolongan Allah."
Selain kata-kata bernada tegas seperti "perang" dan "jihad", SBY juga menyebut beberapa orang yang belakangan akrab di telinga karena kerap dibahas di media massa. Dua di antaranya adalah mantan Kedua DPR dari Golkar Setya Novanto dan mantan anggota DPR dari Demokrat Mirwan Amir.
Konteks pernyataan SBY ini adalah berpangkal pada sidang kasus korupsi KTP-elektronik pada Kamis, 24 Januari. Ketika itu, Mirwan Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR periode ketika kasus korupsi KTP-elektronik terjadi pada 2009-2014, bersaksi bahwa ada instruksi langsung dari SBY agar program pengadaan KTP-elektronik tetap dilanjutkan, meski proyek miliaran rupiah yang dianggarkan lewat APBN itu bermasalah.
"Pernah saya sampaikan [kepada SBY], bahwa program e-KTP ini lebih baik tidak dilanjutkan," kata Mirwan dalam sidang. Pernyataan ini keluar setelah Mirwan dicecar pertanyaan oleh kuasa hukum terdakwa kasus KTP-elektronik Setya Novanto, Firman Wijaya.
Tuduhan ini kemudian dijawab oleh SBY dengan sederet pertanyaan: "Mirwan Amir, tolong, dimana, kapan, dan dalam konteks apa menyampaikan ke saya [soal proyek KTP-elektronik]. Siapa yang mendampingi saya? Saya ini tertib. Ada menteri terkait, pejabat terkait."
"Allah juga mendengar ucapan saya ini," lanjutnya.
SBY mengatakan bahwa ia tidak pernah mencampuri, atau bahkan mencari keuntungan bagi dirinya sendiri dalam proyek ini. "Sama sekali tidak benar tuduhan itu. Saya melibatkan diri, mengatur, atau ikut-ikutan. Tidak."
"Tidak ada conflict of interest saya selama 10 tahun jadi presiden," tambahnya.
Sanggahan ini kemudian diikuti oleh pernyataan-pernyataan bernada keras seperti yang telah dikutip di atas.
SBY kemudian menghubungkan apa yang dituduhkan kepadanya dengan kemungkinan adanya "pemain" yang memang sengaja membangun isu. Ia mengatakan ini berdasarkan keterangan informan yang "layak dipercaya." Menurutnya, menjelang sidang 24 Januari itu, ada pertemuan yang diduga jadi tempat dimana tuduhan kepada dirinya dirancang.
Katanya: "Informasi ini belum waktunya diketahui publik. Bisa geger nanti."
Selain melawan dengan pidato, SBY juga akan melaporkan orang-orang "yang menghancurkan dan merusak nama baik saya,"
SBY memang tidak menjelaskan siapa yang akan dilaporkan dalam konteks pidato siang tadi. Pelaporan akan dilakukan sore ini.
Peneliti Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia Hendri Satrio, mengatakan bahwa kata-kata yang dipakai SBY untuk melakukan pembelaan sangat mencerminkan bahwa ia memang ingin publik mendukungnya, atau minimal tidak menuduhnya macam-macam. Kata-kata seperti "jihad" dan "perang", kata Hendri, adalah upaya SBY agar masyarakat benar-benar yakin ia tidak terlibat korupsi.
"Dia harus membuat pernyataan yang dekat ke masyarakat. Makanya kata-kata itu yang keluar," kata hendri kepada Tirto.
Apa yang dilakukan SBY hari ini sama seperti pidato-pidatonya sebelumnya ketika disudutkan dengan isu tertentu. Persoalannya itu terlalu sering dilakukan oleh SBY, sehingga pada akhirnya niat awal untuk membuat masyarakat percaya kepadanya jadi tidak tersampaikan.
"Karena terlalu sering konfirmasi dan pembelaan langsung. Jadi begitu SBY muncul, di benak masyarakat akan 'ini ngapain sih SBY' sebelum memahami isi yang disampaikan," katanya.
Namun, apapun alasannya sebagai warga negara, SBY tentu punya hak untuk melakukan klarifikasi terhadap tudingan atau pun melakukan tindakan hukum terhadap apa yang dianggap merugikannya.
Penulis: Rio Apinino