tirto.id - Nama Susilo Bambang Yudhoyono tiba-tiba muncul dalam persidangan kasus korupsi KTP-elektronik. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/1) kemarin, saksi Mirwan Amir mengatakan bahwa meski tahu bermasalah, presiden ke-6 Indonesia itu tetap menginstruksikan agar proyek e-KTP tetap dilanjutkan.
"Pernah saya sampaikan [kepada SBY], bahwa program e-KTP ini lebih baik tidak dilanjutkan," kata Mirwan. Anjuran itu disampaikan setelah Mirwan bertemu Yusnan Sholihin, salah satu pengusaha yang direkomendasikan Mirwan untuk ikut proyek e-KTP.
Yusnan berasal dari PT Sucofindo. Dalam persidangan yang sama, ia menjelaskan apa masalah yang ia temukan. Menurutnya ada enam kekurangan term of reference dalam lelang KTP-elektronik. Hal ini yang ia sampaikan ke Mirwan, lalu diteruskan ke SBY.
Tanggapan SBY versi Mirwan: "Kita untuk menuju Pilkada, proyek ini harus diteruskan".
Mirwan adalah Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI 2009-2014. Pada periode itulah proyek KTP-elektronik mulai direncanakan. Tahun 2010, Kemendagri menyiapkan uang Rp6 triliun untuk proyek ini. Satu tahun setelahnya, polisi mulai menyelidiki dugaan tender KTP-elektronik.
Kader Partai Demokrat kemudian ramai-ramai memberikan klarifikasi soal pernyataan yang terkesan menyudutkan Ketua Umum-nya itu. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto misalnya, menilai perintah SBY tersebut sesuai perintah Undang-undang.
"Landasan kebijakan e-KTP loud and clear," kata Agus, dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat, (26/1/2018).
Menurut Agus, proyek KTP-elektronik adalah amanah dari UU No. 23 Tahun 2006 yang telah direvisi menjadi UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Di sana termaktub setiap penduduk hanya diperbolehkan memiliki satu KTP yang tercantum NIK. Sementara sistem lama, katanya, memungkinkan seseorang memiliki lebih dari satu KTP.
"Kemudian pada faktanya ada penyimpangan dan pelanggaran atau korupsi di dalam pengadaannya. Tentu sepenuhnya menjadi ranah hukum yang harus diusut tuntas," katanya.
Ketua Divisi Advokasi DPP Demokrat, Ferdinand Hutahean, mengatakan bahwa pernyataan Mirwan di persidangan tidak serta merta menjadi dasar tuduhan SBY terlibat dalam korupsi. Menurutnya belum ada indikasi penyelewengan ketika SBY memerintahkan agar proyek ini jalan terus.
"Pernyataan Mirwan Amir tersebut tidak memiliki dampak hukum apapun terhadap SBY karena tidak terlibat dalam kasus tersebut," kata Ferdinand. "SBY bersih dari seluruh kasus E-KTP," imbuhnya.
Sementara Wakil Ketua Umum Demokrat, Syarifudin Hasan, menilai pernyataan Mirwan bernada politis. "Itu fitnah, itu politik," kata Syarifudin, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat.
Meski namanya dibicarakan di persidangan, SBY nampaknya memang belum akan berurusan langsung dengan kasus ini, setidaknya dalam waktu dekat. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan belum ada rencana mengusut lebih dalam keterlibatan menantu Sarwo Edhie itu.
"Prinsip dasarnya, persidangan itu untuk membuktikan perbuatan dari terdakwa. Namun jika muncul fakta persidangan tentu saja Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan melihat setiap rincian proses persidangan," kata Febri di Kantor KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Bukan yang Pertama
SBY bukan politisi elit pertama yang namanya disebut dalam persidangan. Politikus PDIP Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, dan Yasonna Hamonangan Laoly juga disebut menerima aliran dana.
Nama Ganjar dan Arief pertama kali disebut dalam pembacaan surat dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto pada 9 Maret 2017. Sementara Yasonna, yang ketika dakwaan dibacakan sudah menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di Kabinet Kerja Jokowi-JK.
Namun pada persidangan pada 13 Desember lalu, tiga nama ini hilang dalam dakwaan. Ketiga politikus ini juga tak disebut sebagai penerima aliran dana korupsi KTP-elektronik dalam surat dakwaan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Maqdir Ismail, Ketua Tim Penasihat Hukum Setya Novanto, kemudian mempermasalahkan ini. Novanto pun demikian.
Menjawab hilangnya nama-nama tersebut, Jubir KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa institusinya fokus pada substansi kasus, sedangkan pencantuman nama hanya bagian dari strategi. "Kami fokus membuktikan dan lebih menjelaskan perbuatan-perbuatan apa yang diduga dilakukan Setya Novanto," kata Febri di Gedung KPK, pertengahan Desember lalu.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino