tirto.id - Pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, jurnalis Harian Bernas memasuki tahun ke-25 pada 16 Agustus 2021. Namun, kasusnya tak kunjung selesai. Pemerintah hanya selalu berjanji, tapi tak ada langkah konkret untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Koalisi Masyarakat untuk Udin atau K@MU pun memberikan karangan bunga kepada Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Inspektur Jenderal Polisi Asep Suhendar sebagai simbol matinya keadilan untuk jurnalis Udin, Senin, 16 Agustus 2021.
Aksi tersebut sebagai bentuk protes atas ketidakmampuan polisi menyelesaikan kasus ini. Pemerintah juga dinilai mengabaikan tanggung jawabnya untuk menghukum aktor intelektual pembunuh Udin.
"Ketidakseriusan itu tergambar pada sejumlah janji pemimpin daerah hingga pusat untuk mengungkap kasus kejahatan Hak Asasi Manusia itu,” kata Koordinator K@MU, Tri Wahyu KH, dalam rilis resmi, Senin, 16 Agustus 2021.
Pada 28 September 2013 misal, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X bahkan berjanji akan mengungkap kasus tersebut dan mengajak Polda DIY untuk melakukan penyelidikan mulai dari nol. Namun, pernyataan Sultan X dalam sambutannya pada pembukaan Festival Media Aliansi Jurnalis Independen itu masih belum terealisasi hingga saat ini.
Sudah belasan kali jabatan Kapolri berganti. Tapi, penuntasan kasus Udin berjalan mandek. Pada 2013, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Sutarman di sejumlah media massa menyebut ada kesalahan dalam pengusutan kasus Udin. “Sudah salah dari awalnya,” kata Sutarman di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Selasa, 19 November 2013.
Menurut Sutarman, salah satu kesulitan dalam mengusut kasus itu adalah alat bukti. Penyidik kasus Udin dari kepolisian resor Bantul, Sersan Mayor Edy Wuryanto menghilangkan alat bukti, yakni melarung darah Udin ke Pantai Parangtritis.
Edy yang merekayasa perkara Iwik selaku tersangka pembunuh Udin tidak diadili. Ia hanya diadili di Mahkamah Militer karena didakwa menghilangkan barang bukti penting. Selain darah Udin, juga ada buku catatan Udin yang diambil dari Marsiyem, istri Udin.
Setelah melewati proses persidangan yang lama, Edy hanya mendapat hukuman 10 bulan penjara karena kelalaiannya. Kasus Udin pernah disidangkan dengan menyeret terdakwa palsu, Dwi Sumadji alias Iwik dengan dalih perselingkuhan. Iwik membantah semua tuduhan itu dan hakim membebaskannya.
Udin meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah dianiaya orang tak dikenal tiga hari sebelumnya. Peristiwa penganiayaan ini diduga kuat berhubungan dengan tulisan-tulisannya yang kritis, yakni korupsi megaproyek Parangtritis.
Menjelang pemilihan bupati baru di tahun itu, Udin menulis upaya Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo memberikan upeti Rp1 miliar kepada Yayasan Dharmais pimpinan Presiden Soeharto. Tujuannya agar Sri Roso kembali menjadi bupati Bantul.
Hingga kini, kasus Udin masih gelap. Padahal berdasarkan investigasi wartawan Bernas yang bergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta menghasilkan petunjuk ada dugaan pembunuhan Udin karena sejumlah berita korupsi di Bantul yang ditulisnya.
Sejumlah upaya hukum dan advokasi dilakukan, termasuk memberikan data-data hasil investigasi itu kepada polisi. Namun, polisi tetap berpegang teguh Iwik pelakunya.
Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta yang bergabung dengan K@MU, bersama jaringan masyarakat sipil pro-demokrasi menolak impunitas atau penghentian penyelesaian kasus Udin.
Semasa hidupnya, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, kembali menegaskan kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, tidak akan kedaluarsa. Menurut dia, dalam kasus ini, belum ada terdakwa yang sudah menerima vonis bersalah dari hakim, sehingga tidak bisa diberi tenggat waktu kedaluarsa 18 tahun.
“Nonsense kalau kasus Udin dikatakan akan kedaluwarsa,” ujar Artidjo seusai berbicara dalam diskusi “Refleksi Akhir Tahun Penegakan Hukum: Antara Cita dan Fakta,” di Aula Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, Kamis, 26 Desember 2013.
Artidjo mengatakan sudah pernah menyatakan pendapat ini dalam diskusi mengenai kasus Udin di Dewan Pers, beberapa waktu lalu. Menurut dia, saat itu semua pihak dalam diskusi tersebut juga sepakat kasus Udin tidak akan pernah kedaluwarsa. “Belum ada terdakwanya, tidak mungkin kedaluwarsa,” kata Artidjo.
Dia menjelaskan, suatu kasus pidana bisa dianggap memiliki masa kedaluarsa apabila ada terdakwanya, tapi kemudian melarikan diri. Status kasus pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut bisa diberi masa tenggat kedaluwarsa.
“Kalau ditemukan tersangkanya, sampai kapan pun kasus ini harus diproses oleh penegak hukum,” ujar dia.
Jurnalis bekerja memenuhi hak publik dan sudah sepatutnya mendapat perlindungan dari negara. Celakanya, perlindungan terhadap kerja jurnalistik di Indonesia sangat rendah. Tren kekerasan terhadap jurnalis pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan rendahnya perlindungan hukum terhadap jurnalis.
Karena itu, Jokowi harus tegas memerintahkan Kapolri menuntaskan kasus Udin. “Serangan terhadap kebebasan pers dan berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis harus diakhiri,” kata Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani.
Belum lama ini, kasus kekerasan menimpa jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi. Kasus ini menambah jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan.
Data AJI Indonesia menunjukkan, pada 2020 terdapat 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pelaku paling banyak adalah polisi. Jumlah kasus ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebanyak 54 kasus. Bentuk kekerasan di antaranya intimidasi, kekerasan fisik, perusakan alat liputan, perampasan alat kerja hasil liputan, ancaman atau teror.
Sementara LBH Pers juga mencatat ada 117 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. Pelaku paling banyak polisi. Lalu ada tentara, warga, dan pengusaha. Sebagian besar kasusnya mandek dan tidak ditangani dengan serius hingga ke pengadilan.
Data itu menjadi catatan buruk bagi kepolisian dan tentara karena mereka paling dominan sebagai pelaku kekerasan. Situasi ini tentu tidak baik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
Editor: Maya Saputri