tirto.id - Kasus suap restitutsi PT Wahana Auto Ekamarga (WAE) yang diungkap KPK, pada Kamis (15/8/2019) bukanlah hal baru dalam daftar korupsi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebelumnya, kasus serupa juga dilakukan PT Cherng Tay Indonesia dan terungkap berkat hasil penyelidikan KPK dan Inspektorat Bidang Investigasi Kementerian Keuangan.
Dua kasus itu jadi menarik karena belakangan restitutsi jadi salah satu faktor penyebab jebolnya kantong penerimaan pajak. Pada 2018, misalnya, DJP mencatat restitusi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan) mencapai sekitar Rp118 triliun, atau meningkat dari 2017 yang berada di angka Rp110 triliun.
Tahun ini, pembayaran restitusi diproyeksikan mencapai Rp141,6 triliun atau tumbuh sekitar 20 persen dibandingkan 2018.
Pada kuartal I/2019, saat realisasi pembayaran restitusi yang mencapai Rp50,65 triliun --tumbuh 47,83 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2018-- pajak non-migas cuma bisa terkumpul 234,5 triliun atau tumbuh 0,6 persen.
Kenapa pemerintah jor-joran percepat restitusi?
Kebijakan percepatan restitusi sebenarnya sudah diberlakukan sejak 12 April 2018 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39 Tahun 2018. Sebelum aturan ini diterapkan, pengajuan restitusi dapat memakan waktu hingga 8 bulan, sementara saat ini, restitusi hanya memerlukan waktu selama satu bulan.
Sejak beleid itu diluncurkan, peningkatan jumlah permohonan restitusi tercatat meningkat, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan keterangan Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Yon Arsal, permohonan restitusi PPN melonjak hingga 264 persen dibandingkan pada 2017.
Jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) restitusi PPN yang disampaikan ke DJP pada periode Mei sampai Desember tahun tersebut mencapai 5.499 SPT, melonjak drastis dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama 1.499 SPT.
Secara nominal, permohonan pengembalian kelebihan bayar PPN mencapai Rp20,46 triliun pada Mei-Desember 2018 atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp10,74 triliun.
Praktis, pada akhir tahun lalu, PPN dalam negeri tergerus cukup besar dengan pertumbuhan negatif 2,90 persen (yoy). Padahal, jika dilihat pertumbuhan bruto-nya (tidak termasuk restitusi) PPN Dalam Negeri sebenarnya mencapai 5,69 persen (yoy).
Lantas, apa kaitannya dengan kasus suap restitusi yang dilakukan WAE?
Hingga Kamis kemarin, KPK sendiri telah menetapkan DM (Darwin Maspolim) Komisaris PT WAE sebagai tersangka karena diduga memberi suap. Selain itu, empat orang KPP PMA III Kanwil Jakarta Khusus juga ditetapkan tersangka karena menerima imbalan 73.700 dolar AS pada 2017 dan 57.500 dolar AS di 2018.
Mereka antara lain Yul Dirga (Kepala KPP PMA III Kanwil Jakarta Khusus), Hadi Sutrisno (Supervisor Tim Pemeriksa Pajak PT WAE), Jumari (Ketua Tim Pemeriksa Pajak PT WAE), serta M Naim Fahmi (Anggota Tim Pemeriksa Pajak PT WAE).
Berdasarkan konstruksi perkara yang dipaparkan KPK, Tersangka DM, pemilik saham PT. WAE diduga memberi suap sebesar Rp1,8 miliar untuk 4 orang pegawai KPP PMA III Kanwil Jakarta Khusus agar menyetujui pengajuan restitusi pajak PT WAE 2015 dan 2016 yang masing-masing sebesar Rp5,03 miliar dan Rp2,7 miliar.
Restitusi pajak 2015 baru disetujui pada April 2017 setelah tersangka YD menandatangani surat ketetapan lebih bayar (SKLB). Sementara restitusi 2016 disetujui setelah surat tersebut dikeluarkan pada Juni 2018.
Artinya, dari Rp110 triliun serta Rp118 triliun kelebihan pajak yang dikembalikan pada 2017-2018, Rp5,03 miliar serta Rp2,7 miliar di antaranya diperoleh dengan cara korupsi.
Peneliti Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea Cukai, Arfin mengatakan, pemberian restitusi PPN memang jadi satu dari enam area rawan korupsi di DJP. Hal ini salah satunya disebabkan oleh hukum pajak yang rumit dan cepat berubah.
Namun, karena modusnya merupakan pemalsuan jumlah pajak demi suap, ia menyimpulkan bahwa suap tersebut didasari oleh persepsi korupsi meningkat di atas jangkauan tertentu. Artinya, kata dia, masalah korupsi di Direktorat Jenderal Pajak tidak disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan internal.
Hal ini tentu disayangkan karena perilaku koruptif jadi salah satu penyebab tak optimalnya pemungutan pajak di Indonesia. Apalagi survei Global Corruption Barometer tahun 2004 dan 2007 yang dirilis oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII), menempatkan DJP pada peringkat ke-6 sebagai lembaga terkorup di Indonesia.
“Sedangkan survei GCB (TI, 2017) mencatat Ditjen Pajak menempati urutan ke-4 dengan skor 45 persen,” tulisannya dalam jurnal berjudul 'Resiko dan Peluang Terjadinya Korupsi di Sektor Pajak'.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti mengakui bahwa perilaku koruptif individu di DJP memang sulit diawasi.
Namun, kata dia, institusinya terus berupaya melakukan pengawasan internal dan tak segan-segan memproses para pegawai DJP yang terlibat kasus korupsi untuk diberhentikan.
“Kami sudah dalam proses penindakkan. Karena, kan, itu sudah dari tahun lalu dan temuan itu juga kerja sama kami dengan KPK berdasarkan sistem yang kami buat. Dan KPK bergerak menangkap mereka,” kata Nufransa saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (15/8/2019).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz