tirto.id - Pertumbuhan penerimaan pajak pada kuartal pertama 2019 melambat dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Jika di tahun 2018 penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mampu tumbuh 9,9 persen, Januari hingga Maret tahun pertumbuhannya hanya sebesar 1,8 persen.
Direktur Center of Indonesia Taxation Analisis, Yustinus Prastowo, mengatakan, pengaruh restitusi terhadap penerimaan yang masuk ke kantong pajak memang cukup signifikan pada awal tahun ini. Namun, jika dilihat secara sektoral, harga komoditas serta pengurangan impor turut mempengaruhi kinerja pendapatan pajak.
Perdagangan, misalnya, hanya mampu tumbuh 1,3 persen ketimbang tahun lalu yang mencapai 28 persen. Hingga 31 Maret lalu, pajak yang masuk dari sektor tersebut hanya sebesar 53,55 triliun atau 28,4 dari target.
"Kalau dilihat dari neraca perdagangan kita ini kan surplus, artinya ekspor lebih besar daripada impor. Penurunan impor itu kalau dari sisi perdagangan bisa menjelaskan kenapa sektoral turun, karena sebagian tarif dikenakan pada perdagangan barang impor," ucapnya kepada Tirto, Selasa (23/4/2019).
Berdasarkan data APBN KiTa, hanya sektor jasa keuangan serta transportasi & pergudangan yang pertumbuhannya moncer dan jadi penopang kinerja penerimaan pajak. Jasa keuangan tumbuh 11,3 persen dibandingkan Maret tahun lalu, yang turun 3,9 persen; sementara transportasi dan pergudangan mengalami kenaikan 24 persen, lebih tinggi ketimbang tahun lalu yang hanya 10,1 persen.
Sektor konstruksi dan real estate masih bisa tumbuh 6,1 persen, meski melambat dibandingkan tahun lalu yang mencapai 10,7 persen.
Sementara itu, sektor industri pengolahan atau manufaktur turun 8,8 persen dan hanya mencatatkan setoran pajak sebesar Rp60,43 triliun. Padahal sektor yang berkontribusi sebesar 20,8 persen terhadap penerimaan pajak itu tumbuh hingga 20,2 persen pada Maret 2018 lalu.
Selain manufaktur, pajak sektor pertambangan juga menurun 16,23 persen dibandingkan tahun lalu yang pertumbuhannya mencapai 69,4 persen. "Ini dipengaruhi penurunan harga komoditas tambang. Tahun lalu kita tumbuh cukup tinggi karena menikmati booming harga itu," ucap Yustinus.
Menurut Yustinus, pemerintah harus mulai melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, terutama dengan memanfaatkan Automatic Exchange of Information (AEoI). Sebab, jika tak ada sumber-sumber lain, shortfall di akhir tahun 2019 diperkirakan bakal lebih besar ketimbang tahun lalu.
"Kalau dibandingkan tahun lalu, kan, polanya sama. Tapi ini di tiga bulan pertama kita sudah shortfall. Jadi harus digenjot ini," ucapnya.
Restitusi Tertinggi di Awal Tahun
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan memastikan bahwa kebijakan percepatan pengembalian pembayaran pajak (restitusi) tak akan mengganggu penerimaan hingga akhir tahun 2019. Sebab, target penerimaan sepanjang tahun telah memperhitungkan proyeksi pembayaran restitusi yang berkisar Rp141,6 triliun.
Proyeksi tersebut tumbuh sekitar 20 persen dari realisasi tahun lalu yang ada di kisaran Rp118 triliun. Sementara pada Januari hingga Maret lalu, realisasi pembayaran restitusi sudah mencapai Rp50,65 triliun atau tumbuh 47,83 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Menurut Robert, pembayaran restitusi pada kuartal selanjutnya akan melambat mengingat pada kuartal I lalu pembayaran restitusi telah mencapai 35,8 persen dari proyeksi 2019. Karena itulah, kata dia, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa target penerimaan pajak tak akan tercapai hingga akhir tahun mendatang.
"Kita sudah hitung-hitungan, kayaknya restitusi akan melambat di bulan Mei. Yang besar-besar [jumlahnya] kita lihat juga, itu memang kita bayarkan Januari sampe akhir. Sampai akhir tahun kan sudah saya bilang over all restitusi 20 persen," tuturnya usai konferensi pers APBN KiTa kemarin.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri