Menuju konten utama
Modus Korupsi Kepala Daerah

Kasus Suap Bupati Bangkalan: Bukti Birokrasi Masih Transaksional

Alvin Nicola menilai kasus Bupati Bangkalan ini adalah bukti birokrasi Indonesia masih transaksional.

Kasus Suap Bupati Bangkalan: Bukti Birokrasi Masih Transaksional
Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron (kiri) memakai rompi tahanan usai ditangkap oleh KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (7/12/2022).ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU

tirto.id - Penetapan R. Abdul Latif Amin Imron sebagai tersangka kasus korupsi menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi antirasuah. Bupati Bangkalan itu terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan.

Penyidik pun langsung menahan Abdul Latif bersama 5 tersangka lain usai pemeriksaan yang digelar di Polda Jawa Timur. “Penyidik menahan para tersangka masing-masing selama 20 hari ke depan terhitung mulai 7 Desember 2022 sampai dengan 26 Desember 2022,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis dini hari, 8 Desember 2022.

Selain sang bupati, lima tersangka lain adalah pemberi suap, yakni: Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Aparatur Bangkalan, Agus Eka Leandy (AEL); Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Wildan Yulianto (WY); Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Achmad Mustaqim (AM); Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Hosin Jamili (HJ); dan Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, Salman Hidayat (SH).

Kelima pejabat tersebut memberikan uang kepada Latif dalam rangka membayar komitmen fee setelah menduduki jabatan yang diinginkan. KPK menduga total komitmen fee yang dipatok mulai Rp50 juta hingga Rp150 juta.

Firli juga mengatakan, Latif tidak hanya bermain di isu mutasi dan rotasi jabatan. Ia juga mematok fee 10 persen dari setiap anggaran proyek. KPK menduga, Latif telah mengantongi uang hingga Rp5,3 miliar melalui orang kepercayaannya.

“Sedangkan penggunaan uang-uang yang diterima tersangka RALAI [Latif] tersebut diperuntukkan bagi keperluan pribadi, di antaranya untuk survei elektabilitas,” kata Firli.

KPK TANGKAP BUPATI BANGKALAN

Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron (kiri) berjalan memasuki gedung usai ditangkap oleh KPK, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (7/12/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mendesak agar para ASN yang terlibat dalam kasus suap di Bangkalan segera dipecat. Ketua KASN Agus Pramusinto menilai, aksi Latif membuat pemerintahan daerah diisi orang-orang yang tidak kompeten.

“Serta pihak yang membayar untuk mendapatkan jabatan, maka orientasi pikirannya akan berubah untuk mendapatkan kembali uang yang sudah dikeluarkannya. Hal ini tentunya akan berdampak pada pembangunan yang terhambat dan pada akhirnya merugikan masyarakat,” kata Agus, Kamis (8/12/2022).

Agus menegaskan para ASN yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan adalah teladan bagi para ASN. Karena itu, ia mendesak agar para ASN yang terjerat kasus Latif agar segera dipecat.

“Oleh karena mereka menjadi tersangka tindak pidana. KASN meminta agar segera ditunjuk pelaksana tugas bagi OPD-OPD terkait agar roda pemerintahan tetap berjalan dengan baik,” kata dia.

Deretan Kepala Daerah yang Terjerat Jual Beli Jabatan

Latif menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus jual beli jabatan yang diusut KPK. Kasus lainnya misal Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo yang ditangkap tersangka karena praktik jual-beli jabatan di Pemalang usai dilantik sebagai bupati. Ia ditangkap pada Jumat, 12 Agustus 2022.

Ditarik ke belakang, ada Sri Hartini yang saat itu menjabat sebagai Bupati Klaten. Ia ditangkap KPK karena melakukan jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Klaten pada Desember 2016. Saat itu, KPK menyita uang Rp2 miliar, USD 5700 dan SGD2035. Ia ditangkap bersama penyuapnya, Suramlan yang kala itu menjabat sebagai Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten.

Lalu, ada juga Bupati Nganjuk Taufiqurrahman pada Oktober 2017. Ia ditangkap bersama Kepala Sekolah SMPN 2 Ngronggot Suwandi, Kadisdikbud Nganjuk Ibnu Hajar, Kabag Umum RSUD Nganjuk M. Bisri dan Kadis Lingkungan Hidup Nganjuk Hariyanto. Taufiqurrahman ditangkap karena diduga melakukan jual beli jabatan.

Selain nama di atas, ada juga kasus Wali Kota Tanjung Balai M. Syahrial, yang juga menjadi tersangka karena menagih uang kepada Yusmada, pejabat yang melamar menjadi Sekda Tanjung Balai. Kasus Syahrial menjadi pintu masuk keterlibatan eks penyidik KPK, Robin Pattuju dan eks Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.

Berdasarkan data KPK, dari segi penindakan sudah ada 22 gubernur, 161 bupati/wali kota dan wakil, serta 297 pejabat eselon I hingga eselon III tersandung korupsi sejak 2004 hingga 2022. Khusus 2022 saja, KPK sudah menangkap 18 bupati/wali kota dan wakil serta 31 pejabat eselon I hingga eselon III.

Jika berdasarkan tindak pidana, total perkara penyuapan berada pada angka tertinggi 867 kasus selama 2004-2022. Sementara itu, KPK hanya mengungkap 27 kasus pungutan dan pemerasan. Khusus di 2022, angka kasus penyuapan tembus 63 kasus. Angka ini lebih dari 50 persen kasus yang ditangani KPK yang memegang 79 kasus. Sedangkan kasus pemerasan hanya 1 kasus yang dipegang KPK di 2022.

KPK TAHAN BUPATI BANGKALAN

Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron memakai rompi tahanan usai ditangkap oleh KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (7/12/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU

Bagaimana Cara Menanggulanginya?

Analis kebijakan publik pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro mengingatkan, pergantian pejabat adalah upaya daerah dalam mencapai kinerja yang lebih baik. Kepala daerah diberi amanah untuk menentukan pejabat yang ideal agar pemerintahan berjalan baik.

“Persoalannya adalah proses itu ditafsirkan secara tidak sehat dengan memunculkan transaksi jual-beli, transaksi jual beli jabatan atau janji-janji politik, padahal konteks dari melakukan reshuffle jabatan adalah penyegaran, penyempurnaan, peningkatan target pemerintah,” kata Riko kepada reporter Tirto.

Riko mengingatkan bahwa kepala daerah mendapatkan wewenang dari pemerintah pusat dan amanah setelah dipilih rakyat. Kepala daerah pun diberikan wewenang untuk menentukan pejabat yang dia pilih.

Lalu, apa berarti pengisian jabatan dengan motif koruptif sulit diberantas? Riko mengatakan, pemerintah daerah punya sistem yang bernama Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan atau Baperjakat. Fungsi Baperjakat adalah mencari kandidat yang tepat untuk pengisian jabatan sehingga kepala daerah tidak serta-merta memilih orang. Baperjakat bisa memberikan pandangan kandidat yang layak sebelum kepala daerah menentukan pejabat.

“Di sisi itu, kita sudah bisa bilang itu benar, tetapi kemudian mereka melakukan transaksi sebagai upaya mewujudkan hasrat politik dia terhadap seseorang ini yang mesti kita tangkal, yang mesti kita cegah. Nah praktik itu yang terjadi sekarang,” kata Riko.

Menurut Riko, penyelesaian perlu dilakukan sinergi dari tiga pihak, yaitu: baperjakat, inspektorat, dan masyarakat. Riko beralasan, inspektorat harus ikut aktif dengan menyoalkan hasil seleksi pejabat yang dinilai janggal.

Inspektorat, kata Riko, punya wewenang untuk pengawasan pergeseran pegawai secara tidak wajar. Inspektorat bisa menjadi whistleblower kepada penegak hukum jika masalah sudah memerlukan penegakan hukum.

“Jadi untuk mencegah upaya-upaya transaksi jabatan, optimalkan fungsi inspektorat itu. Kita selalu menganggap fungsi inspektorat hanya pada pengadaan proyek lelang cuma masalah jalan dan bangunan. inspektorat masuk hal gitu-gitu,” kata Riko.

Publik juga harus terlibat. Riko sebut, publik harus bersuara ketika pejabat yang dipilih tidak kompeten. Ia menilai, fungsi Baperjakat yang bisa bersuara jika ada kesalahan pengisian pejabat; inspektorat yang berani menelisik proses seleksi sesuai aturan dan mengawasi agar tidak mengarah upaya transaksional; serta sikap pressure publik pada pemerintah jika ada kesalahan akan menjadi solusi.

“Baperjakat dioptimalkan, inspektorat dilibatkan, publik ikut berpartisipasi,” kata Riko.

Bukti Birokrasi Indonesia Masih Transaksional

Peneliti Tranparency Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola menilai, kasus Bupati Bangkalan ini adalah bukti birokrasi Indonesia masih transaksional. Ia menilai fenomina ini kerap terjadi karena korupsi dalam birokrasi terjadi di dalam jaringan ikatan sosial yang berkelanjutan di antara pihak-pihak yang terlibat.

“Artinya jaringan profesional korup ini terus meluas, bahkan seringkali melibatkan pertukaran ekonomi seperti suap dan gratifikasi,” kata Alvin kepada Tirto, Kamis (8/12/2022).

Alvin menilai ada sejumlah masalah yang menjadi pemicu. Pertama, publik bisa melihat upaya pencegahan korupsi di birokrasi selama ini hanya fokus pada reformasi administratif.

Dalam konteks pengisian jabatan, kata dia, mekanisme seleksi lelang terbuka dan asesmen berbasis teknologi ternyata saat ini tidak mampu mengurai jaringan paternalistik di dalam birokrasi. Bahkan, kata Alvin, suap jabatan juga pada umumnya hanya menjadi pintu masuk praktik korupsi lanjutan.

“Setelahnya skema ‘setoran’ yang serupa juga dimanfaatkan oleh kepala daerah agar pejabat tidak dimutasi dan di-non job kan. Guna memastikan setoran berjalan, pejabat akan terus memanfaatkan dana dari proyek-proyek yang dikelolanya. Artinya ini semacam lingkaran setan korupsi yang tak ada habisnya,” kata Alvin.

Kedua, kasus seperti Bangkalan membuktikan bahwa masih ada politisasi birokrasi. Sumber daya yang terbatas, yakni jabatan publik, dikomersialisasikan oleh kepala daerah sebagai sumber keuangan baru untuk modal politik, baik mengganti biaya kampanye sebelumnya ataupun kepentingan pemilihan mendatang.

“Fakta ini dibuktikan dengan adanya indikasi dana hasil suap akan diperuntukkan untuk melakukan survei elektabilitas di akhir masa jabatan tahun depan. Hal ini mengartikan partai politik juga harus ikut bertanggung jawab. Proses pemilihan kepala daerah saat ini masih banyak mengharuskan mahar politik, dan justru pada gilirannya kontraproduktif dengan semangat reformasi birokrasi itu sendiri,” kata Alvin.

Ketiga, ia menilai pengawasan penerapan sistem merit sesuai mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 mengenai Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS patut dikritik keras karena tidak berjalan efektif, terutama dalam konteks sistem pengisian jabatan di luar jabatan pimpinan tinggi (JPT). Di sisi lain, penerapan mekanisme asessment pegawai dan talent pool untuk mengetahui tingkat kompetensi pegawai di OPD juga belum optimal.

Di berbagai daerah, kata Alvin, masyarakat masih mudah menemukan ada kepala daerah terpilih memberikan jabatan kepada anggota dari tim suksesnya atau diberikan kepada orang dengan garis saudara yang sama atau satu keluarga. Kondisi tersebut tentu menciderai prinsip-prinsip dan nilai dari sistem merit itu sendiri.

“Artinya penegakan aturan yang ada kalah oleh kepentingan politik yang lebih dominan menguasai birokrasi. Di saat bersamaan, terus berulangnya kasus jual beli jabatan ini juga menunjukkan kita perlu mempertanyakan secara serius di mana peran Kemenpan-RB, KPK, Tim Nasional Pencegahan Korupsi, Komisi Aparatur Sipil Negara dan Ombudsman,” kata Alvin.

Alvin pun memberikan sejumlah saran. Pertama, pemerintah perlu memperkuat peran pengawas internal, yakni Inspektorat dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di PBJ terkait dalam proses pengangkatan jabatan di level eselon III atau IV.

Keterlibatan ini penting mulai dari mekanisme pengawasannya hingga siapa saja yang terlibat di dalamnya. Organ ini memiliki kecakapan terkait penelusuran rekam jejak dari para kandidat. Hasil penelusuran tersebut dirangkum dalam sebuah nota rekomendasi yang kemudian dapat menjadi pertimbangan bagi tim seleksi.

Kedua, penerapan implementasi sistem merit perlu diikuti penerapan pedoman konflik kepentingan yang kemudian menegakkan etik secara serius. Karena pada akhirnya, siklus koruptif ini berdampak panjang terhadap menurunnya kualitas pelayanan publik.

Ketiga, dalam proses seleksi, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) di masing-masing wilayah perlu aktif membuka kanal pengaduan masyarakat terkait rekam jejak calon sebagai bahan pertimbangan panitia seleksi, yang secara khusus melihat dari sisi integritas calon.

Keterbukaan ini diharapkan dapat meningkatkan pengawasan dari masyarakat terhadap para kandidat sehingga proses seleksi dapat berjalan lebih kompetitif dan menghindari risiko jual-beli jabatan.

Keempat, BKD juga perlu menaruh perhatian serius pada pembangunan infrastruktur assessmentcenter sehingga dapat melaksanakan proses seleksi secara layak, memberikan peningkatan kapasitas secara serius kepada kandidat, merespons cepat kekosongan jabatan melalui proses talent pool dan talent management, serta merumuskan mekanisme-mekanisme yang dibutuhkan agar indepedensi dan keragaman dari panitia seleksi tetap terjaga.

Baca juga artikel terkait KORUPSI KEPALA DAERAH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz