Menuju konten utama

Kasus Penjarahan Bangkai Kapal Menuai Sorotan LSM Hingga DPR

Perlindungan yang lemah terhadap keberadaan situs-situs di bawah air memicu kasus pencurian barang bersejarah seperti kapal-kapal karam.

Kasus Penjarahan Bangkai Kapal Menuai Sorotan LSM Hingga DPR
Ilustrasi Kapal Perang Kasus Banten. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Kapal-kapal Perang Dunia II yang berada di perairan Indonesia dijarah oleh sindikat perusahaan China. Perlindungan yang lemah terhadap keberadaan situs-situs bawah air menjadi pemicu banyaknya kasus pencurian.

Direktur Eksekutif Conservation International (CI) Indonesia Ketut Sarjana Putra mengatakan keberadaan kapal karam di perairan Indonesia seharusnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk kepentingan ekonomi masyarakat. Bangkai kapal perang dianggapnya dapat menjadi daya tarik sendiri untuk mengundang wisatawan dalam dan luar negeri.

"Kita punya banyak kapal karam, mungkin akan bagus jika itu dikelola dengan kawasan konservasi laut daerah sehingga kawasan kapal karam bisa jadi pendukung objek pariwisata laut di daerah masing-masing," kata Ketut kepada Tirto, Rabu (24/1/2018).

Menurut Ketut, potensi itu hilang karena lemahnya pengawasan terhadap keberadaan benda bersejarah seperti kapal-kapal karam. Kelemahan tersebut bahkan berdampak pada hilangnya beberapa kapal karam atau benda-benda di dalamnya, sehingga potensi keuntungan ekonomi bagi negara pun turut sirna.

Selain menghilangkan potensi keuntungan bagi negara, raibnya benda dalam kapal karam juga dianggap turut merusak ekosistem bawah laut. Ia mangatakan banyak bangkai kapal dan benda di dalamnya telah menyatu dengan terumbu karang, atau menjadi rumah bagi hewan laut. Pengambilan barang-barang tersebut juga turut mengganggu kelestarian ekosistem di bawah laut.

"Jadi keuntungannya [atas pengambilan benda kapal karam] masuk ke kantong pribadi, tapi kerugiannya ke negara, padahal kalau manajemennya lebih baik beberapa keunikan kapal karam justru bisa mendatangkan turis ke Indonesia," tuturnya.

Dasar Hukum Perlindungan Kapal Karam

Proteksi kapal karam dalam tataran legal telah diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang. Salah satu produk hukum yang melindungi keberadaan kapal karam di antaranya Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Pasal 26 ayat (4) UU Cagar Budaya mengatur: "Setiap orang dilarang melakukan pencarian cagar budaya atau yang diduga cagar budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya."

UU tersebut juga secara implisit menyebutkan kapal karam beserta muatannya dapat dimasukkan dalam kategori benda diduga cagar budaya. Kriteria benda cagar budaya menurut beleid seperti tertulis di pasal 5, adalah berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Cagar budaya di air juga dikenal sebagai Tinggalan Budaya Bawah Air, dan Barang Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT). Istilah tersebut kerap disalahartikan masyarakat sebagai harta karun.

Selain diatur UU, persoalan BMKT juga ditangani melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan serta Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan (PANNAS) BMKT. Kegiatan survei dan pengambilan BMKT telah diatur untuk berhenti sementara (moratorium) oleh Panitia Nasional BMKT sejak 11 November 2011.

Setelah moratorium Presiden Jokowi pernah mengeluarkan Perpres No.44 Tahun 2016 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan alias Daftar Negatif Investasi (DNI) yang ditanda tangani Jokowi pada 12 Mei 2016.

Pada Perpres yang lama Nomor 39 Tahun 2014, kegiatan pengangkatan harta karun bawah laut semula merupakan bidang usaha yang masih terbuka untuk penanaman modal termasuk asing dengan syarat khusus.

Kapal Karam dalam Rencana Tata Ruang Laut Nasional

Keberadaan bangkai kapal di dasar laut dianggap perlu masuk Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN). Jika situs-situs tersebut masuk ke RTRLN, manajemen terhadap bangkai kapal dianggap dapat berjalan maksimal.

"Sebaiknya masuk ke RTRLN dan menjadi spesifik interest, wilayah yang spesifik dan unik dalam kawasan konservasi laut nasional," ujar Ketut.

Saat ini, RTRLN masih dalam tahap pembahasan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pembentukan RTRLN dilakukan berdasarkan amanat pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Penyematan lokasi kapal karam dalam RTRLN di bawah kawasan konservasi laut telah diakui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP yang dipimpin Brahmantya Satyamurti Poerwadi.

Menurut Brahmantya lokasi-lokasi kapal karam memang akan dikotakkan dalam kawasan konservasi, meski ia belum spesifik menjabarkan jumlah dan detail titik-titik kapal karam di perairan Indonesia.

"Yang jelas RTRLN itu proyek strategis nasional," ujar pria yang kerap disapa Tio itu.

Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Ono Surono mendesak pemerintah segera membuat data terkini kapal tenggelam di perairan Indonesia. Ia memprediksi banyak kapal-kapal karam yang tingkat keutuhannya kecil saat ini.

"Saya pikir, semua kekayaan laut Indonesia harus tercatat dan dipublikasikan serta dimasukkan dalam cagar budaya bawah air, khususnya kapal-kapal dan benda-benda yang termasuk kategori bersejarah," kata Ono kepada Tirto.

Menindaklanjuti maraknya penjarahan bangkai kapal di dalam laut, Ono mengaku Komisi IV segera menggelar pertemuan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku mitra kerja mereka. "Sudah saatnya Komisi 4 mendalami masalah ini dengan KKP," ujar Ono.

BMKT Hilang, Jutaan Dolar Melayang

Berdasarkan data yang dirilis KKP, potensi nilai peninggalan bangkai kapal di perairan Indonesia terbilang tinggi. Menurut kementerian tersebut, ada 463 titik lokasi karamnya kapal di perairan Indonesia hingga tahun 2000 silam.

Setiap lokasi kapal karam ditaksir bernilai antara 80 ribu dolar AS hingga 18 juta dolar AS. Namun, apabila dimanfaatkan untuk mendukung sektor pariwisata dapat menghasilkan US$ 800 – 126.000 per bulan per lokasi. Potensi pemanfaatan situs kapal karam itu telah dibenarkan Ketut Sarjana Putra.

"Kalau kita padu padankan (lokasi kapal karam) dengan kawasan konservasi laut daerah berarti kan punya ruang lebih besar yang bisa dimanajemen sehingga legitimasi hukumnya akan lebih praktikal. Keunikan masing-masing kapal karam bisa menambah value dari kawasan konservasi sehingga bisa memberi added value bagi pengembangan turis," kata Ketut.

Hilangnya beberapa kapal karam dan benda-benda di dalamnya terkuak dari hasil investigasi yang dilakukan Tirto. Penjarahan diduga dilakukan sindikat asal Cina yang dimotori perusahaan Fujian Jiada Shipping.

Perusahaan Fujian Jiada Shipping bergerak di bidang perdagangan, perbaikan, dan konstruksi kapal. Pangsa pasar mereka di Asia Tenggara dengan memanfaatkan proyek One Belt One Road yang digagas pemerintah Cina. Mereka beroperasi secara legal dengan memanfaatkan lemahnya regulasi perlindungan benda-benda bersejarah di bawah laut dan perilaku korupsi di instansi pemerintahan Indonesia dan Malaysia.

Sindikat penjarah itu diduga telah menjarah puluhan kapal Perang Dunia II milik Belanda, Inggris, serta Amerika Serikat. Kapal-kapal Inggris yang dijarah diantaranya HMS Exeter, HMS Encounter (sisa 20 persen), HMS Electra (40 persen), HMS Repulse, HMS Prince of Wales, HMS Banka, Tien Kuang [HMS Tien Kwang], HMS Kuala, Lock Ranza, HMS Thanet, dan Hachian Maru (dua bendera: Jepang/Inggris).

Kemudian, dua kapal perang Belanda bernama HNLMS Java dan HNLMS De Ruyter, yang karam tahun 1942 di dekat Pulau Bawean, juga ditemukan lenyap dari dasar laut. Padahal, masing-masing kapal memiliki panjang 155 meter dan 171 meter dengan lebar 16 meter.

Infografik HL Kapal Perang Termin Satu

Baca juga artikel terkait PENJARAHAN KAPAL atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih