tirto.id - Pegiat media sosial Ninoy Karundeng diculik dan dianiaya sekelompok orang saat berada di Pejompongan, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2019) lalu.
Peristiwa itu terjadi ketika sedang terjadi aksi unjuk rasa, Ninoy hendak mengabadikan momentum anak-anak yang terkena gas air mata.
“Di situlah saya mengambil foto terus diperiksa,” ujarnya di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2019). “Begitu dia tahu bahwa saya adalah relawan Jokowi. Langsung saya dipukul dan diseret ke dalam masjid.”
Ninoy mengaku diseret ke Masjid al-Falah, Pejompongan, Jakarta Pusat. Ia diberondong pertanyaan dan mendapatkan kekerasan fisik dari orang-orang yang tidak ia kenal. Bahkan ia juga mengaku sempat diancam untuk dibunuh oleh salah satu orang yang berada di lokasi.
“Ada seorang yang dipanggil habib itu memberi ultimatum kepada saya bahwa waktu saya pendek, kepala saya akan dibelah,” ujarnya.
“Sebelum subuh saya harus dieksekusi dan mayat saya nanti diangkut dengan ambulans untuk dibuang ke arah kerusuhan.”
Selain diancam oleh seseorang yang disebut sebagai habib, Ninoy mendaku diintimidasi oleh seseorang yang mengaku sebagai tim medis. Orang ini mengaku membuka media sosial dan menemukan unggahan Ninoy.
“Saya mengenali dia pakai baju putih merah. Yang perempuan itu pakai huruf C gitu, merah apa itu. Bulan Sabit Merah, mungkin,” ujarnya.
Sampai keesokan harinya, Kamis (1/10/2019), Ninoy batal dieksekusi mati. Ia dilepaskan pada waktu menjelang siang hari. Ninoy sempat membawa motor ketika berangkat ke lokasi unjuk rasa, namun saat hendak pulang motornya malah dirusak oleh orang-orang yang menginterogasi dirinya semalam suntuk.
“Saya minta diambilkan motor saya karena terparkir jauh. Mereka ambilkan tapi setelah itu motor saya dirusak dan kuncinya dibuang. Sehingga tidak ada jalan lain untuk saya pulang sendiri. Motor tertinggal di situ,” ujarnya.
Polda Metro Jaya yang menangani kasus Ninoy lantas mulai mendalami kasus tersebut dan menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka. Salah satunya Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212, Bernard Abdul Jabbar yang sebelumnya diperiksa dengan status saksi pada Senin kemarin.
“Sekarang [Bernard Abdul Jabbar] sudah tersangka,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono kepada Tirto, Selasa (8/10/2019).
Bernard terbukti berada di lokasi dan ikut mengintimidasi Ninoy. Selain itu, Argo juga menyebutkan telah menetapkan tersangka terhadap 12 orang lainnya yakni AA, ARS, YY, RF, Baros, S, TR, SU, ABK, IA, dan R yang memiliki peranan berbeda.
"AA, ARS, dan YY perannya menyebarkan videonya. Kemudian juga membuat konten-konten berkaitan dengan hate speech di WAG di sana," ujarnya.
Lalu RF dan Baros berperan mencuri data dari laptop Ninoy. Mereka menghapus semua data, termasuk di gawai pintar Ninoy.
Sementara S, yang merupakan Sekretaris DKM Masjid Al Falah, berperan menyalin data dari laptop korban. Ia juga mendapat perintah untuk menghapus CCTV di lokasi penganiayaan.
"Kemudian dia melaporkan semuanya kepada Munarman. Selanjutnya dia juga dapat perintah untuk hapus CCTV, untuk tidak menyerahkan semua data kepada pihak kepolisian," ujarnya.
Kini, TR sudah ditetapkan sebagai tersangka lantaran menginstruksikan tersangka RF untuk memeriksa telepon genggam dan menggandakan datanya. Namun, TR urung ditahan karena sakit.
Tersangka SU, berdasarkan penuturan polisi, diperintahkan S untuk memperbanyak data curian tersebut. R terlibat menganiaya korban. Sedangkan ABK kebagian tugas merekam dan menyebarkannya ke media sosial. Lalu tersangka IA yang mengusulkan agar Ninoy dihabisi nyawanya dengan cara dikampak.
Argo membenarkan Munarman itu selaku Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI). Namun, ketika Munarman mencoba dikonfirmasi, yang bersangkutan mengaku tidak tahu perihal penganiayaan tersebut.
“Enggak ada laporan penganiayaan ke saya. Saya tahu peristiwa justru dari media online dan medsos,” ujar Munarman.
Terkait upaya menghapus data CCTV yang ada di masjid tersebut, Munarman sempat mengakui bahwa ada laporan dari salah satu pengurus masjid perihal tayangan CCTV usai peristiwa Ninoy. Namun, ia mendaku belum melihat materi CCTV tersebut sampai saat ini lantaran komunikasinya hanya sebatas pesan Whatsapp saja.
“Salah satu pengurus masjid beberapa hari setelah peristiwa, konsultasi hukum ke saya. Saya minta supaya rekaman CCTV masjid, saya dikasih agar saya bisa assessment situasinya dalam rangka kepentingan hukum calon klien,” ujarnya.
Ninoy Karundeng vs FPI & PA 212
Ninoy Karundeng dikenal luas oleh publik tatkala dirinya berurusan dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Juli 2019. Ketika itu Ninoy melalui tulisannya yang ia unggah di Facebook pribadinya, menyentil Ketua Umum PSI Grace Natalie.
Ninoy menyebut Grace bukan pemilik PSI. Lantaran tulisan itu, Ninoy dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Ketua DPW PSI DKI Jakarta Michael Victor Sianipar.
"Kami datang untuk melaporkan apa yang menjadi viral terkait dengan isu dan fitnah dan hoaks yang disebarkan, yang kami lihat merugikan nama baik institusi kami dan juga saya secara pribadi," kata Michael di Kantor Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (12/7/2019).
Namun jauh sebelum itu, Ninoy memang rajin mengunggah opininya di Facebook pribadinya. Ia gemar merespons isu-isu politik terkini, khususnya yang berhubungan dengan Presiden Joko Widodo. Beberapa judul tulisannya seperti Visi Indonesia Jokowi Untuk Presiden Jan Ethes 2085,Orang-orang di Belakang Layar Jokowi, Lupakan Prabowo, Sambut Kabinet Zaken Jokowi, dan beberapa tulisan lainnya.
Dalam tulisannya, Ninoy beberapa kali menyentil pihak-pihak yang berseberangan dengan Jokowi termasuk Prabowo.
Contoh beberapa judul tulisan soal Prabowo yakni Politik Psikopat Prabowo, Bahaya 22 Mei 2019 dan Beyond, Prabowo Pegang Kepala Ular, Jokowi Pegang Ekornya, dan beberapa tulisan lainnya.
Ninoy juga sering mengkritik pihak-pihak yang terhubung dengan kubu Prabowo seperti Ustaz Arifin Ilham, Gubernur DKI Anies Baswedan, Kivlan Zen, Soenarko, Habib Rizieq Shibab dan FPI. Ia ungkapkan lewat tulisan seperti Kivlan dan FPI, Tjahjo dan Tito Cerdas, Oplet Rongsokan Bukan Bumblebee; dan Ustad Arifin Ilham dan Anies Peluk Teroris di Petamburan.
Tulisan-tulisan Ninoy yang diunggah di media sosial ini diduga kian meruncingkan sentimen yang memicu penganiayaan oleh sekelompok orang di Pejompongan, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Sementara itu, baik Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan Front Pembela Islam sebelumnya memang diketahui sebagai pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019. PA 212 kerap mendengungkan isu kecurangan pemilu yang diduga merugikan kubu 02.
Bahkan Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Ma'arif juga merangkap jabatan di Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi.
Begitu pula dengan FPI yang melalui jubirnya Munarman secara terang benderang menegaskan dukungannya kepada Prabowo-Sandiaga Uno.
Saat sidang sengketa Pilpres 2019 digelar di Mahkamah Konstitusi, FPI termasuk ormas yang getol mengawal dugaan kecurangan yang berujung pada penyelesaian hukum di MK.
“Kalau [kubu] 01 yang menang, kita tetap akan berjuang. Siapkan diri kita untuk jihad panjang. Jihad konstitusional jangka panjang. Harus pasang komitmen bahwa kami hanya mengikuti kebenaran. Kami menolak segala bentuk kecurangan dan ketidakadilan sampai kapan pun,” ujar Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis saat orasi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2019).
Pertarungan Pilpres Tak Reda
Saat Pemilu 2019, Ninoy Karundeng sebagai pendukung 01 Jokowi-Maruf dengan PA 212 dan FPI yang mendukung kubu 02 Prabowo-Sandiaga sempat meruncing pertentangannya.
Pertarungan antara kedua kubu ini, kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno masih terbawa hingga sekarang.
Dampak runcingnya pertentangan antarkubu usai Pilpres ini masih dibawa oleh masing-masing pendukung.
“Ini efek dari pertarungan yang cukup sengit kemarin yang dibawa ke hati dibawa sampai mati perbedaan dan sikap politiknya,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (8/10/2019).
“Kalau lihat video yang viral itu kan, Ninoy dianggap terlalu banyak menghina ulama-ulama mereka dan sehingga jemaahnya tidak banyak terima.”
Lebih lanjut, Adi menyebut kasus yang terjadi antara Ninoy dan ormas FPI sebagai suatu ironi karena tak bisa lepas dari bayang-bayang pertaruhan pemilu.
Sementara para elite yang mereka dukung sebelumnya sudah saling bergandeng tangan dan sibuk berbagi kekuasaan.
“Masa pendukungnya yang secara kasat mata tidak dapat untung, malah sampai harus berurusan dengan hukum. Ini urusan permusuhan politik yang belum usai, yang muncul karena kritik berlebihan,” ujarnya.
Untuk itu, ia menyatakan perlu lagi penting para elite untuk menyelesaikan permainan politiknya di tataran akar rumput atau masyarakat. Jangan sampai konflik horizontal semacam ini terus bergulir.
“Rakyat harus belajar dari tokoh-tokoh yang mereka dukung saat Pilpres, bahwa pemilu itu santai-santai saja. Ada kalanya bersaing, ada kalanya bersangkulan. Itu yang terjadi saat ini. Gerindra berangkulan dengan [kubu Jokowi]. Jadi rakyat ini apa yang diperjuangkan?” tutupnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri