Menuju konten utama

Kasus MTsN 19 & Menyoal Sistem Pengendalian Banjir DKI Era Anies

Anies klaim Pemprov DKI telah melakukan berbagai inovasi dan terobosan untuk mengendalikan banjir.

Kasus MTsN 19 & Menyoal Sistem Pengendalian Banjir DKI Era Anies
Warga menurunkan barang saat banjir di permukiman penduduk kawasan Rawajati, Jakarta, Senin (10/10/2022). BPBD DKI Jakarta pada Senin (10/10) pukul 06.00 WIB mencatat sebanyak 53 RT di DKI Jakarta terendam banjir akibat luapan Sungai Ciliwung. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

tirto.id - Siswa MTsN 19 Pondok Labu, Jakarta Selatan mengarungi banjir yang melanda sekolahnya akibat hujan deras pada Kamis siang, 6 Oktober 2022. Para siswa terlihat menjerit melintasi banjir sepinggang disertai hujan deras.

“Tolong...,” kata seorang siswa melalui video yang beredar yang diterima Tirto.

Siswa lainnya juga berteriak memanggil ibunya.

“Mama...”

Teman disebelahnya pun coba menenangkan siswa yang menjerit tersebut.

“Tenang, ya.”

Namun teriakan dari sang murid malah semakin keras.

“Mama... Aku takut," teriak dia sambil menangis. Teman di sebelahnya tetap mencoba untuk menenangkan. Akhirnya mereka berhasil mencapai gerbang keluar sekolah.

Akibat peristiwa itu, tiga siswa tewas akibat tembok MTsN 19 Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan roboh karena hujan lebat lebat disertai banjir yang mengguyur Jakarta pada Kamis (6/10/2022).

Seorang Pramubakti, Sri Yatini menjelaskan, peristiwa itu terjadi ketika siang hari saat hujan deras. Para murid keluar kelas.

Ia memantaunya dari pojok kelas sambil berteduh. Lantaran ia khawatir akan terjadi banjir dan nantinya para murid akan berenang. Sebab, pada minggu lalu banjir juga terjadi di sekolah tersebut.

Akhirnya guru memberi peringatan agar para siswa tidak berenang. Setelah diberi peringatan, ia pun langsung masuk ke dalam ruang guru untuk mengamankan barang dari hujan dan banjir yang saat itu sudah setinggi dengkul.

Meski telah diberi peringatan, para murid tetap bermain air di halaman sekolah. Saat itu masih hujan deras hingga terjadi banjir.

“Begitu air bah, langsung gitu kaca pecah dan seperti di bawah kaki seperti terjadi gempa," kata Yatini di lokasi, Kamis lalu.

Namun, dia saat itu tak mengetahui tembok yang berbentuk panggung itu tiba-tiba jebol. “Saya nggak tahu di belakang ruang guru terjadi tembok rubuh," tuturnya.

Sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI menjelaskan, kejadian bermula saat hujan deras dan sistem drainase rusak. Hal itu menyebabkan air gorong-gorong meluap dan menggenangi area sekolah MTsN 19.

Beberapa siswa yang sedang bermain di area taman sekolah tertimpa tembok yang roboh, karena tidak mampu menahan luapan air yang ada.

Di samping itu, posisi sekolah juga berada di dataran rendah yang di sekitarnya terdapat saluran penghubung (PHB) Pinang Kalijati dan di belakang sekolah terdapat aliran sungai.

“Posisi sekolah berada di dataran rendah. Di sekitarnya terdapat saluran PHB Pinang Kalijati dan di belakang sekolah terdapat aliran sungai,” kata Kepala Satuan Pelaksana Data Pusdatin BPBD Provinsi DKI, Michael melalui keterangan tertulis, Jumat (7/10/2022).

Ketiga korban tersebut langsung dievakuasi ke Rumah Sakit (RS) Prikasih Jakarta Selatan.

Anggota Komisi D DPRD DKI, Justin Adrian Untayana mengaku, sangat menyesalkan terjadinya peristiwa yang menyebabkan tiga siswa tewas. Ia pun menyerahkan perihal kasus kepada pihak kepolisian sekalipun berdasarkan informasi yang ada, penyebabnya adalah terjangan banjir.

“Tapi memang saya sayangkan, hampir tiap tahun, bajir selalu memakan korban, dan kerap anak kecil yang merenggang nyawa,” kata Justin kepada Tirto, Jumat (7/10/2022).

Gagalnya Sistem Pengendalian Banjir

Justin menilai, penanganan banjir yang dilakukan Pemprov DKI di bawah komando Gubernur Anies Baswedan tidak pernah ada kemajuan yang berarti. Selain itu, menurutnya sistem pengendalian banjir di Jakarta telah gagal di bawah kepemimpinan Anies.

Padahal anggaran Dinas Sumber Daya Air (SDA) Pemprov DKI mencapai Rp4.467.234.177.964 pada 2022. Bujet ini termasuk penanganan banjir di ibu kota.

“Seperti yang sudah sering saya katakan selama 3 tahun terakhir, bahwa penanganan permasalahan banjir di Jakarta di masa Bapak Anies tidak akan pernah mengalami kemajuan yang berarti,” kata dia.

Justin menguraikan sedikitnya ada tiga jenis banjir di Jakarta, yaitu: Banjir kiriman yang merupakan aliran air dari hulu atau dataran tinggi. Kemudian banjir lokal, yaitu banjir yang diakibatkan oleh curah hujan di DKI yang cenderung meningkat di setiap tahunnya. Lalu banjir rob yang disebabkan luapan air laut di daratan pesisir.

Menurut dia, terkait banjir lokal yang diakibatkan oleh curah hujan kemarin dapat disimpulkan bahwa Jakarta bermasalah dalam hal tampung-alir air dalam rangka menghadapi curah hujan.

Lantaran buruknya tata kota dan jenis tanah DKI yang minim daya serap, kata dia, program sumur resapan tidaklah efektif.

Mengandalkan serapan air ke tanah semata jelas tidak memungkinkan, karena kecepatan dan kapasitas serapnya tentu sulit untuk dapat mengimbangi curah hujan yang cenderung naik. Akibatnya genangan atau luapan adalah konsekuensi logisnya.

Dia pun menyatakan tidak setuju jika kecepatan surut seolah menjadi target atau prestasi yang dibanggakan. Karena genangan yang tingginya hanya 50 cm selama beberapa menit sekalipun sudah bisa merusak kendaraan-kendaraan warga, atau memasuki rumah-rumah warga, bahkan membasahi karpet rumah ibadah di tempat-tempat tertentu.

“Sehingga genangan juga menimbulkan kerugian materiil terhadap masyarakat DKI,” kata dia.

Justin yang juga politikus PSI itu menilai, solusi andalan yang diklaim Anies seperti sumur resapan dan toa semestinya hanya menjadi supporting system saja, bukan menjadi media utama penanggulangan banjir DKI.

Media utama pengendalian banjir DKI dalam menghadapi banjir lokal, kata dia, yaitu dengan cara normalisasi sungai-sungai utama yang harus ada progresnya setiap tahun.

Lalu pengembangan jaringan mikro atau saluran-saluran air beserta rehabilitasi dan perluasannya, sehingga terintegrasi sepenuhnya sebagai rangkaian media tampung-alir air yang berkapasitas memadai.

Air hujan juga harus dialirkan secepatnya ke laut untuk mengimbangi durasi dan curah hujan yang tinggi dan sebagai media pendukung atau supporting. Setelah itu, barulah embung, sumur resapan, dan lainnya diharapkan turut menangkap air untuk mengurangi beban tampung-alir air di sungai dan jaringan mikro.

“Tapi, itu pun belum termasuk perluasan pipanisasi air bersih yang selama 5 tahun seolah stagnan di rasio 60%-an, karena eksploitasi air tanah dalam dapat mengakibatkan penurunan permukaan tanah dan secara otomatis dapat menambah titik banjir di Jakarta," ujarnya.

Dia juga mengatakan cekungan-cekungan tanah turun itu akan membutuhkan upaya tertentu untuk dapat dikembangkan jaringan mikronya, karena air tidak dapat mengalir atau dialirkan ke tempat yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, Justin mengatakan, Pemprov DKI perlu suatu rangkaian kerja lintas bidang dan lintas sektoral yang luas dan terintegrasi dalam menanggulangi banjir lokal.

“Maka dari itu, kalau Bapak Gubernur masih berpikir kalau sumur resapan adalah media andalan dan kecepatan surut adalah prestasi, maka saya harus mengatakan bahwa itu adalah hal murahan yang dapat diberikan kepada warga DKI,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga. “Banjir lokal diakibatkan buruknya sistem saluran air atau drainase kota seperti yang terjadi di TB Simatupang, Fatmawati, Kemang Raya,” kata Nirwono kepada Tirto.

Menurut dia, apa yang sudah dilakukan Pemprov DKI seperti pembangunan sumur resapan atau drainase vertikal hanya efektif untuk skala kecil, seperti genangan di halaman rumah, sekolah, kantor, dan area parkir.

Selain itu, kata dia, grebek lumpur yang menjadi program rutin yang dilakukan sepanjang tahun hingga pengadaan pompa yang membutuhkan biaya pemeliharaan tinggi, tidak akan berfungsi juga ketika pompa terendam banjir. Hal itu terbukti tidak efektif mengatasi atau mengendalikan banjir skala kota.

Oleh karena itu, dia mengatakan solusi untuk menangani banjir kiriman harus dilakukan pembenahan sungai dengan cara dikeruk, diperdalam, diperluas, dihijaukan, dan direlokasi permukiman warga.

“Didukung dengan revitalisasi situ, danau, embung, waduk atau SDEW sebagai daerah tangkapan air dan memperluas RTH [Ruang Terbuka Hijau] baru sebagai daerah resapan air," tuturnya.

Sementara untuk atasi banjir lokal, dia mengatakan perlu dilakukan rehabilitasi total seluruh saluran air atau drainase dengan diperbesar dimensi saluran air sesuai lebar jalan.

“Misalnya dari 50 cm ke 1,5 meter; 1 meter ke 3 meter; 1,5 meter ke 5 meter, terhubung ke SDEW dan RTH terdekat,” kata dia.

Respons Anies Baswedan

Terkait itu, Anies Baswedan mengatakan, pihaknya akan mereview bagaimana peristiwa tembok roboh di MTsN 19 Pondok Labu itu bisa terjadi. Sehingga bisa menjadi pembelajaran agar di masa mendatang musibah serupa terulang kembali.

Lebih lanjut, kata dia, Pemprov DKI akan memfasilitasi kebutuhan MTsN 19 Jakarta dengan menyediakan tempat belajar sementara bagi siswa karena sekolah yang mengalami kerusakan.

“Bangunannya tentu sementara belum bisa digunakan. Kemenag lewat Kanwil yang membawahi MTs Negeri, kami dari Pemprov DKI menyampaikan bahwa siap memfasilitasi apabila diperlukan tempat sementara untuk proses belajar-mengajarnya,” kata Anies.

Anies mengklaim, Pemprov DKI telah melakukan berbagai inovasi dan terobosan untuk mengendalikan banjir. Mulai dari pembangunan infrastruktur hingga terobosan dalam bentuk kerja sama kolaborasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Selain itu, kata Anies, berbagai pendekatan juga dilakukan, salah satunya adalah menggunakan pendekatan berbasis alam.

Salah satu pendekatan dari pendekatan alam tersebut adalah Pemprov Jakarta membangun tiga Ruang Limpah Sungai (RLS). Dalam pembukaan tiga Ruang Limpah Sungai (RLS), yakni RLS Lebak Bulus, RLS Brigif, dan RLS Pondok Ranggon.

“Ini membuat kita semua harus sadar mengubah pendekatan kita dalam menyelesaikan masalah yang ada, dan kita memperhatikan masalah melimpahan udara di sungai yang disebabkan karena cara kita melakukan pembangunan beberapa dekade belakangan ini,” kata Anies di Jakarta, Kamis (6/10/2022).

RLS merupakan salah satu proyek pertama di Indonesia berbasis alam yang menangani limpahan air sungai agar dapat mengurangi beban aliran di kawasan hilir atau saat ke sungai laut.

“Limpah ini punya makna kelebihan, tapi yang positif, dan alhamdulillah udara yang disediakan untuk menampungnya. Jadi, kita punya pendekatan baru, di mana kita menyediakan ruang parkir sementara air saat air berlimpah, guna mengurangi beban di hilir sungai,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz