tirto.id - Pejabat publik yang berlaku arogan dan tampak berbangga sangat atas privilese kuasanya merupakan ironi di atas ironi. Pejabat tersebut alfa – atau memang pandir saja – mengingat bahwa publik alias masyarakat adalah prasyarat melegitimasi eksistensi jabatannya. Entah masyarakat sebagai rakyat yang memilihnya menjadi seorang pejabat, maupun publik yang seharusnya menerima manfaat dari tugas dan fungsi jabatan tersebut.
Ironi tersebut tercermin jelas dalam viralnya potongan video ceramah dari Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Miftah Maulana Habiburrahman. Pria yang dikenal luas dengan panggilan Gus Miftah ini mendadak panen kritik usai meledek pedagang es teh serta minuman pikul dalam sebuah pengajian. Mulanya, Miftah diminta para jemaah yang hadir memborong dagangan sang penjaja es teh, belakangan diketahui bernama Sunhaji.
Alih-alih membeli dagangannya, Miftah malah berkelakar sambil melontarkan kata umpatan kepada Sunhaji. Kelakar Miftah malah disambut gelak tawa para penonton dan tokoh-tokoh di atas panggung. Sunhaji tersorot kamera hanya terdiam sambil tersenyum menggelengkan kepala. “Es tehmu masih banyak? Ya sana dijual goblok!,” ucap Miftah lantas tertawa.
Tak ayal sikap Miftah terhadap Sunhaji mengundang kritik dan amarah masyarakat. Miftah dinilai arogan dan berlaku kasar terhadap rakyat kecil. Ia mengumpat seraya menertawakan seorang pedagang yang tengah cari nafkah. Sebagai penceramah sekaligus pejabat publik, Miftah dinilai menampilkan etika yang tak pantas terhadap rakyat.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, memandang sikap Miftah tak pantas dari segi sosial dan politik. Dari nilai sosial, merendahkan orang lain – apalagi di hadapan publik – adalah perilaku yang sangat tak terpuji. Menurut Halili, meski ucapan itu terlontar sebagai kelakar, hal tersebut merupakan guyonan yang berlebihan dan tidak pantas dilakukan.
Secara politis, sikap Miftah mencerminkan masalah serius dalam rekrutmen pejabat publik di pemerintahan. Terutama para pejabat jalur pilihan politis (political appointment) kekuasaan.
“Pejabat publik itu harus memiliki standar moral publik yang tinggi, selain karena mereka digaji dengan anggaran publik dan menggunakan fasilitas publik, mereka juga mesti menjadi teladan bagi publik,” ucap Halili kepada reporter Tirto, Rabu (4/12/2024).
Teladan, mungkin kata yang amat sukar ditemukan ketika berbicara mengenai tabiat pejabat publik belakangan ini. Halili berpendapat, persoalan ini diperparah dengan masyarakat yang kental dengan watak feodal. Masyarakat masih dipengaruhi patron dan ketokohan dari para pejabat publik maupun elite politisi.
Maka ironi ini menebal saat masyarakat turut menormalisasi kelakuan arogan pejabat publik di khalayak umum. Mewajarkan sikap ketakadaban pejabat publik karena sungkan ataupun memandang perilaku buruk mereka sebagai privilese yang wajar ditenteng para pejabat. Hal ini melahirkan krisis etika dan sikap kenegarawanan yang semakin langka ditunjukkan para elite politik dan pejabat publik.
“Maka menjadi lebih relevan menuntut standar sikap dan perilaku yang baik dari para tokoh, karena mereka akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat kebanyakan,” kata Halili.
Miftah bukan satu-satunya pejabat publik yang bertindak arogan dan sewenang-wenang di muka umum. Sebelumnya kasus serupa tercatat muncul dan menjadi sorotan masyarakat. Misalnya peristiwa yang viral pada 2022 silam, Tajudin Tabri yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Depok, terekam kamera amatir menyuruh seorang sopir truk push up dan berguling di jalanan. Tajudin mengaku emosi karena sopir truk itu dinilai menabrak pembatas jalan.
Di tahun yang sama, anggota DPRD Kota Palemban, M Syukri Zen, juga viral karena diduga menganiaya perempuan saat mengantre bensin. Kasus penganiayaan itu dipicu hal sepele. Syukri dan perempuan itu sama-sama hendak mengisi bahan bakar minyak (BBM). Korban tidak memberi jalan kepada Syukri yang berujung cekcok dan pemukulan.
Jauh ke belakang pada 2017, Anggota DPRD Provinsi Jambi saat itu, Abdul Salam, diduga melakukan kekerasan terhadap petugas Bandara Sultan Thaha. Abdul ditegur sebab mobil yang ditumpanginya terlalu lama berhenti di area drop-off bandara dan diminta pindah. Arogansi pejabat juga terjadi baru-baru ini di RSUD Lukas Enembe Mamberamo Tengah, Papua Pegunungan. Seorang pejabat di lingkungan Pemkab Mamberamo Tengah, menganiaya tenaga medis di rumah sakit tersebut. Selain memukul tenaga medis, ASN ini juga merusak pembatas ruangan yang terbuat dari kayu dan melempari kaca jendela rumah sakit.
Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai memang tidak semua pejabat publik bisa digeneralisir memiliki sikap arogan dan niretika. Seperti kasus Miftah dan pejabat lain yang berlaku koboi di muka publik, ironi ini memang terjadi secara kasuistik. Kendati demikian, bila melihat secara holistik, memang terjadi longsornya sikap kenegarawanan para elite politik dan pejabat publik akibat kultur antikritik.
Kekuasaan, kata Kunto, dianggap segalanya sehingga merendahkan masyarakat yang seharusnya mereka layani. Pola pikir yang melihat mandat jabatan hanya sebagai jalan mengamankan kekuasaan inilah yang membuat pejabat publik dengan mudahnya melihat orang dengan status sosial rendah secara sebelah mata.
“Kita jumpai sehari-hari ya, di jalan maupun ketika orang antre atau perlakuan khusus pejabat ketika ada di fasilitas publik. Yang kemudian akhirnya diinternalisasi,” ucap Kunto kepada reporter Tirto, Rabu.
Bila memakai teori belajar sosial (social learning) Albert Bandura, tak mengherankan para pengikut atau penggemar dari pejabat serta politisi macam itu, juga ikut memiliki sikap permisif terhadap perilaku ketakadaban. Masyarakat akan meniru dan menormalisasi sikap yang ditunjukkan pejabat sehingga terjadi krisis keteladanan di ruang-ruang publik.
Kunto menilai bahwa masyarakat akan mengimitasi pula tindak tanduk pejabat publik sebab mengidentifikasi sikap tersebut sebagai suatu privilese kekuasaan.
Sementara itu, Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menjelaskan bahwa sikap arogansi dan sewenang-wenang pejabat publik bisa dijelaskan oleh teori kekuasaan. Kekuasaan membuat seseorang merasa lebih penting dan mengurangi empati terhadap orang lain.
Mereka, kata Wawan, mungkin merasa berhak untuk bertindak sesuka hati sebab merasa memiliki posisi sosial yang penting. Social Dominance Theory menjelaskan bahwa beberapa orang percaya eksistensi hierarki sosial sebagai hal yang wajar.
Terjadi apa yang disebut Wawan sebagai moral licensing saat pejabat publik bertindak arogan kepada rakyat tanpa mengedepankan etika dan moralitas. Jabatan atau prestasi membuat seseorang memiliki ilusi pikir yang memandang bahwa mereka sudah melakukan banyak hal baik, sehingga tindakan buruk secuil tidak akan masalah.
Cara berpikir Just-World Belief (keyakinan bahwa dunia itu adil) semacam itu membuat pejabat publik merasa bahwa mereka pantas menggenggam kekuasaan, sehingga tabiat buruk menjadi konsekuensi yang wajar.
“Adapun publik yang membela figur tersebut berarti membela identitas sendiri. Selain itu, banyak pendukung mungkin ikut-ikutan karena tekanan sosial (conformity) atau berpikir bahwa figur itu punya alasan yang benar, meskipun terlihat salah,” lanjut Wawan.
Krisis Pejabat Publik Negarawan
Mendiang Ahmad Syafi'i Maarif dalam satu tulisannya di Majalah Tempo berjudul Negarawan dan Politisi, menyatakan bahwa seorang negarawan pastilah politisi, tetapi seorang politisi belum tentu negarawan.
Negarawan digambarkan sebagai seorang yang mumpuni dan berpengalaman dalam urusan kenegaraan. Sosok yang arif dan punya pandangan jauh ke depan. Mereka berlaku adil dalam menangani urusan publik.
“Sebaliknya, politisi adalah seorang yang mahir dan terlibat aktif dalam politik, tapi belum tentu punya kearifan, keadilan, dan pandangan ke depan.”
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menilai kasus Miftah menandakan banyaknya pejabat publik dan elite politik yang memelihara kepribadian narsistik. Merasa diri sebagai pusat dunia, superior, dan merasa berhak melakukan apa saja karena didukung orang ramai.
Sudah sejak lama sesat pikir ini memang menggerogoti para pejabat. Mereka, kata Musfi, merasa ada di atas rakyat yang seharusnya justru menjadi tuan yang harus dilayani.
”Ini adalah bentuk budaya feodal yang sangat mengakar. Di sisi lain, para pengikutnya berlomba mencari muka yang membuat si pejabat merasa seluruh tindakannya adalah kebenaran,” terang Musfi kepada reporter Tirto.
Budaya feodal yang dipelihara ini mengakibatkan degradasi etika pejabat publik. Degradasi atau kemunduran etika ini sangat fatal, sekaligus menjadi akar dari buruknya pengambilan kebijakan publik. Pasalnya, dibutuhkan etika dan empati untuk membuat kebijakan publik yang berkualitas.
Kebijakan yang baik lahir dari rasa kasih dan empati terhadap rakyat. Jika pejabat merasa dirinya superior dan nirempati, bagaimana mungkin merumuskan kebijakan publik yang bermanfaat luas dan mumpuni.
Musfi memandang, pejabat yang seharusnya jadi teladan tetapi longsor etika, membuat pengikut dan bawahannya merasa lumrah apabila mereka juga minim empati kepada masyarakat. Dalam kasus Miftah, Musfi mencontohkan, karena dikenal pula sebagai tokoh religius, melahirkan persepsi bahwa agamawan lumrah bersikap minim empati lewat kedok berkelakar dengan masyarakat.
”Dan benar saja, pengikut Gus Miftah memberikan klarifikasi yang melumrahkan dengan mengatakan itu spontan dan memang kebiasaan,” ujar Musfi.
Usai video ceramahnya sukses memanen hujatan, Miftah sendiri akhirnya meminta maaf kepada publik. Lewat keterangan video, Miftah berharap pedagang es teh yang diledeknya memaafkan cemoohan yang sudah terlontar dari mulutnya. Ia turut meminta maaf karena sudah membuat kegaduhan di masyarakat.
"Saya juga sudah ditegur oleh Bapak Seskab [Teddy Indra] yang hari ini berada di Kupang untuk lebih berhati-hati menyampaikan pendapat dan pidato di depan masyarakat umum," ucap Miftah.
Sebelumnya, akun media sosial resmi Partai Gerindra juga mengecam sikap Miftah. Gerindra menilai tingkah laku Miftah tak sesuai apa yang diajarkan Presiden Prabowo Subianto. Gerindra turut memutar video pidato Prabowo yang menunjukkan rasa hormatnya pada pedagang-pedagang kecil.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona menilai kasus Miftah menandakan lunturnya etika dan kenegarawanan pejabat publik. Kejadian ini terjadi karena pejabat menilai rakyat kecil sebagai objek yang dapat diperlakukan seenaknya. Pola berpikir ini sama halnya dengan praktik money politics dalam pemilu.
“Sebenarnya senada dengan logika itu bahwa warga adalah objek yg bisa dibeli, dimanipulasi dan direndahkan dengan hina,” ujar Yance kepada reporter Tirto, Rabu.
Menurut Yance, Indonesia memang mengalami krisis etika kepemimpinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wakil presiden yang proses pencalonannya penuh cacat etika saja mampu terpilih dan memenangkan pemilu.
Bahkan, lanjut dia, conflict of interest semakin terbuka lebar dalam pembentukan kabinet pemerintahan yang kental koncoisme dalam memilih pejabat publik. Menteri-menteri yang memiliki bisnis yang beririsan dengan tupoksi lembaga yang dipimpinnya pun dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Yance menilai Indonesia memerlukan pejabat publik yang sederhana dan mampu menjadi teladan.
Ke mana para Negarawan negeri ini?
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang