Menuju konten utama

Pejabat Publik Perlu Didorong Gunakan Transportasi Publik

Ketika pejabat publik merasakan langsung kondisi transportasi publik, mereka diharap lebih memahami permasalahan.

Pejabat Publik Perlu Didorong Gunakan Transportasi Publik
Angkutan umum massal Trem Otonomus bertenaga baterai melintasi jalur rel di Jalan Slamet Riyadi saat uji coba di Solo, Jawa Tengah, Kamis (7/11/2024). ANTARAFOTO/Maulana Surya/agr

tirto.id - “Sekarang, ke sini [Gedung DPR-MPR], transportasi umum dari mana? Terus kalau rapat, telat, nanti di-bully lagi ‘itu pada telat’,” kata Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, menanggapi soal usulan pejabat naik transportasi umum untuk bekerja.

Pernyataan Hidayat itu seolah tak mewakili rakyat kebanyakan yang sehari-hari harus berdesakan di KRL, angkot, bus, dan moda transportasi umum lain untuk bekerja, berdagang, bersekolah, dan kegiatan lain.

Pernyataan Hidayat tersebut menunjukkan betapa berjaraknya orang-orang yang menyebut diri sebagai wakil rakyat dengan kehidupan rakyat di akar rumput.

Dia menyebut siap menggunakan transportasi umum jika layanannya sudah siap. Padahal, tempatnya berkantor selama lebih dari tiga periode termasuk yang paling mudah dijangkau dengan transportasi umum.

Seturut peta lokalitas yang dibuat Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ), Kompleks DPR-MPR hanya berjarak tak sampai 1 km dari Stasiun Palmerah. Ada juga beberapa koridor bus Trans Jakarta yang memiliki halte tak jauh dari kantor wakil rakyat tersebut. Belum lagi halte Stasiun MRT Senayan yang hanya berjarak beberapa kilometer.

Sebelumnya, pada 2023, anggota DPR Evita Nursanty viral di dunia maya setelah berkomentar bahwa KRL hanya chaos (kacau) pada hari-hari tertentu. Pernyataan itu dia lontarkan dalam Rapat Kerja bersama Direktur Utama PT KCI pada Senin (27/3/2023).

"Sekarang apakah kita chaos? Kalau kita tidak impor ini barang apakah kita chaos. Kita kan biasanya chaos itu di tahun baru, kita biasanya chaos itu kan di Lebaran. Ini kan sudah lewat semua ke-chaos-an kita. Apakah ini suatu urgensi kalau kita tidak impor [lalu menjadi] chaos? Nah, itu juga menjadi pertanyaan bagi saya," ujar Evita.

Menurut Evita, kondisi KRL saat itu tidak chaos sehingga tidak ada urgensi bagi PT KCI untuk mengimpor KRL bekas dari Jepang. Evita justru menilai bahwa PT KAI gagal dalam melakukan perencanaan.

"Salahnya adalah daripada gagalnya dalam perencanaan. Kalau Bapak benar perencanaan, tidak akan terjadi hal ini. Bapak itu kan seharusnya sudah tahu nih berapa jumlah kereta yang Bapak miliki, berapa yang sudah tua, sudah tidak bisa dipakai lagi, berapa jumlah kenaikan penumpang. Ini kan bukan data yang tiba-tiba. Ini Bapak sudah miliki dan harusnya jadi tolok ukur buat bapak dalam membuat penyelenggaraan," terangnya.

Pernyataan Evita itu lantas menuai banyak protes dari masyarakat pengguna KRL yang sehari-hari merasakan langsung betapa kacaunya kondisi moda transportasi itu. Warga menganggap Evita tidak mengetahui dan tidak merasakan langsung apa yang dialami masyarakat umum.

Menilik perspektif dua anggota dewan itu saja, wajarlah bila publik turut mempertanyakan pernahkah pejabat-pejabat seperti mereka naik dan merasakan sendiri kondisi transportasi umum?

Padahal, dalam kapasitasnya sebagai perencana dan pembuat kebijakan, para pejabat publik semestinya turun langsung ke masyarakat dan mengetahui langsung permasalahan.

“Bagaimana mereka bisa tahu permasalahan dan solusi untuk kebijakan transportasi umum kalau mereka sendiri tidak menggunakan itu?,” ujar pakar perencanaan tata kota, Nirwono Joga, saat dihubungi Tirto, Rabu (5/2/2025).

Pemprov DKI Jakarta upayakan warga gunakan transportasi publik

Bus Transjakarta melintas di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Jumat (2/8/2024). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2024-2044 mengupayakan sebesar 55 persen penduduk Jakarta menggunakan transportasi publik untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara. ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.

Pejabat Publik Harus Naik Transportasi Umum

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, turut mengusulkan adanya kebijakan para pejabat publik didorong menggunakan transportasi umum, minimal sebanyak dua atau tiga kali dalam seminggu. Dia pun memberi contoh dari beberapa negara Eropa.

“Minimal banget satu kali dalam seminggu naik angkutan umum. Sisanya, kalau mau naik taksi, tapi tanpa pengawalan. Jadi, sama seperti di negara-negara Skandinavia, Norwegia, Denmark, Swedia, tidak ada batasan antara pejabat dan masyarakat dalam hal transportasi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (5/2/2025).

Kebijakan itu, menurut Deddy, bisa jadi momentum untuk peningkatan kualitas transportasi umum di Indonesia. Ketika para pejabat publik merasakan langsung kondisi transportasi publik di Indonesia, mereka diharap lebih memahami permasalahan transportasi yang dirasakan masyarakat.

Mereka juga diharapkan dapat merumuskan solusi kebijakan transportasi umum yang lebih baik.

Lebih lanjut, kebijakan itu juga mendukung ide efisiensi anggaran yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto. Dia membayangkan, jika para pejabat publik diwajibkan menggunakan transportasi umum, banyak pos anggaran yang bisa dihemat, seperti pengawalan, mobil dinas, bensin, dan lainnya.

“Biaya pengawalan itu mahal, bisa puluhan juta. Bahkan, ratusan juta kalau itu hampir keluar kota. Dan itu kalau pejabatnya banyak, dikali seratus menteri, wakil, dan kepala-kepala badan. Semua ini ditanggung APBN dan tak memberi dampak ke masyarakat,” lanjutnya.

Meski begitu, Deddy masih meragukan para pejabat publik mau memberi contoh untuk naik transportasi umum seperti di Eropa. Deddy menyebut bahwa budaya sebagian pejabat saat ini kebanyakan masih feodal. Mereka umumnya ingin serba diistimewakan dan didahulukan.

“Pejabat itu dibayar oleh pajak kita. Rakyat dipotong pajak tiap makan, gaji kita dipotong. Sekarang, kalau itu dipake buat pengawalan gimana? Masa uang kita dipakai untuk menggangu kita sendiri,” lanjut Deddy.

Sementara itu, Nirwono Joga menyebut bahwa tak hanya sekali atau dua kali seminggu, pemangku jabatan publik harusnya terbiasa menggunakan transportasi publik sebagai bagian dari tanggung jawab mereka kepada masyarakat.

“Tidak mungkin mereka bisa paham permasalahan, merencanakan sebuah negara atau kota, membuat anggaran, dan sebagainya kalo mereka bukan bagian dari masyarakat,” ujarnya.

Dari sisi kebijakan, Nirwono membayangkan akan ada suatu pendekatan baru yang mewajibkan para pejabat untuk turun langsung bersama-sama masyarakat menggunakan transportasi umum.

Menurutnya, transportasi publik juga merupakan salah satu kesempatan bagi pejabat dan wakil rakyat untuk bertemu dengan masyarakat. Dengan pendekatan ini, para pejabat dapat langsung menemukan masalah di lapangan dan mengambil tindakan atas masalah itu.

“Mereka punya dua kesempatan. Pertama, saat mereka menunggu di halte dan stasiun. Kedua, di sepanjang perjalanan, mereka bisa dengar langsung masukan dari masyarakat. Itu waktu yang sangat berharga rakyat bisa ketemu pejabat tanpa protokoler,” ujar Nirwono.

Terakhir, dia menyebut bahwa pejabat publik yang naik transportasi umum bakal jadi contoh bagi masyarakat untuk turut melakukan hal yang sama. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengajak masyarakat naik transportasi umum adalah dengan cara diberikan contoh terlebih dahulu.

“Masyarakat kita adalah masyarakat yang mencotoh atau melihat teladan dari pimpinannya. Saya berharap presiden, menteri, bupati, wali kota, anggota DPR memberikan contoh soal ini,” katanya.

Kenaikan jumlah penumpang MRT Jakarta

Calon penumpang menunggu kedatangan kereta Moda Raya Terpadu (MRT) di Stasiun Fatmawati Indomaret, Jakarta, Selasa (4/2/2025).ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

Belajar dari Negara Lain

Salah satu negara yang bisa menjadi percontohan adalah Swedia. Mengutip laporan Mail&Guardian (2019), negara Skandinavia tersebut sama sekali tidak memberikan kemewahan atau hak istimewa kepada para pejabat publik.

Tanpa supir, mobil dinas, apalagi pengawalan, para menteri dan anggota Parlemen Swedia tiap hari bepergian dengan bus dan kereta yang penuh sesak, bersama dengan para warga yang mereka wakili.

Politisi yang berani menghabiskan uang publik untuk perjalanan taksi, alih-alih naik kereta, akan berakhir jadi berita di halaman depan media massa. Bahkan, Ketua Parlemen Swedia menerima kartu untuk menggunakan transportasi umum. Hanya Perdana Menteri Swedia yang memiliki hak untuk menggunakan mobil dari pasukan keamanan secara permanen.

Sejak akhir 1990-an, Swedia memang memiliki ambisi untuk menjadi pelopor dalam bidang lingkungan. Sejalan dengan itu, pada 2009, Parlemen Swedia menerbitkan kebijakan untuk mencapai target kendaraan bebas energi fosil pada 2030. Parlemen Swedia mengadopsi tujuan untuk mencapai armada kendaraan bebas fosil pada 2030.

Kebijakan penggantian mobil pribadi dengan transportasi umum pun diharapkan dapat berkontribusi pada tujuan ini. Pada 2008, Pemerintah Swedia mengeluarkan kebijakan kerja sama dengan pelaku sektor transportasi umum dengan tujuan meningkatkan penggunaan transportasi umum di kalangan masyarakat.

Pengguna transportasi umum di Swedia memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Statista mengungkap bahwa 13 persen masyarakat Swedia menggunakan transportasi umum untuk bepergian di dalam negeri. Jumlahnya pun meningkat signifikan pada 2018 yang diperkirakan pengguna transportasi umum mencapai 27 persen.

Negara Skandinavia lain yang bisa menjadi contoh adalah Denmark. Negara tersebut mempunyai aturan yang mewajibkan anggota parlemen untuk menggunakan transportasi umum dalam bepergian.

Pejabat di Denmark bahkan diharuskan memilih opsi transportasi yang paling ekonomis dan efisien, seperti menggunakan kelas ekonomi untuk penerbangan jarak pendek dan bus atau kereta untuk perjalanan darat.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI PUBLIK atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi