tirto.id - Kasus gizi buruk di Kabupaten Asmat memunculkan pertanyaan seputar efektivitas Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi mekanisme dana otsus.
“Anggaran otsus selama ini dialokasikan dengan suatu formula terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu sekitar 2 persen. Apakah penggunaannya, pemanfaatannya, dan manajemen tata kelolanya berkaitan dengan tujuan otsus itu sendiri?” Kata Sri Mulyani.
Baca juga:Sri Mulyani Evaluasi Dana Otsus Usai Ada Wabah Gizi Buruk di Asmat
Rencana evaluasi terhadap dana otsus khususnya Papua dan Papua Barat akan dilakukan bersamaan dengan batas akhir kebijakan tersebut yang jatuh pada 2021.
Dana otsus sebenarnya hanya diberikan kepada daerah yang menjalankan otonomi khusus yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, dan Aceh. Tujuan pemberiannya pun berbeda, jika di Papua dan Papua Barat konsentrasinya ialah pendidikan dan kesehatan, maka di Aceh tujuannya untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Otonomi Khusus Provinsi Papua mulai diberlakukan pada 2001 sesuai dengan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kemudian di Papua Barat, otonomi khusus diberikan melalui UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Besaran dana yang dialokasikan sebesar 2 persen dari plafon DAU Nasional dan berlaku sampai 20 tahun.
Selain itu, Papua dan Papua Barat juga mendapatkan tambahan dana infrastruktur yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dalam rangka mengatasi keterisolasian dan kesenjangan penyediaan infrastruktur antara Papua dan Papua Barat dengan daerah lainnya.
Sementara, di Aceh dana otsus diberikan seiring dikeluarkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terdapat perbedaan skema pemberian dana otsus di Aceh. Menurut pasal 183 ayat 2 UU tersebut, pada tahun kesatu hingga ke-15 besaran yang diterima setara dengan 2 persen plafon DAU Nasional sedangkan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 besarannya hanya 1 persen dari DAU.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, anggaran untuk dana otsus sejak 2007 menunjukkan tren meningkat. Pada 2007, nilai anggarannya sebesar Rp4,05 triliun dan mencapai Rp19,5 trilun pada 2016. Namun, pada 2010, dana otsus mengalami penurunan sebesar 4,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari Rp9,53 triliun pada 2009 menjadi Rp 9,1 triliun. Namun selanjutnya dana otsus terus meningkat.
Jika melihat alokasi dana otsus berdasarkan provinsi, pada 2009, Papua mendapatkan alokasi terbesar dibandingkan dua wilayah lainnya, yaitu Rp4,08 triliun. Sedangkan Papua Barat dan Aceh masing-masing mendapat Rp1,72 triliun dan Rp3,73 triliun. Namun, pada 2017, alokasi untuk Aceh meningkat mencapai Rp8 triliun dan Papua serta Papua Barat masing-masing sebesar Rp5,6 trilun dan Rp2,4 triliun.
Jika diakumulasikan, selama periode 2009 hingga 2017 dana yang telah dialokasikan untuk Papua sebesar Rp 40,43 triliun, lebih besar dibandingkan yang diterima oleh Papua Barat. Namun penyalurannya hampir selalu menuai kritik. Banyak kalangan yang menginginkan adanya evaluasi menyeluruh atas pemanfaatannya. Pada 2012, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan akan melakukan evaluasi. Sebab, pemerataan penggunaan dana otonomi khusus dirasa belum proporsional.
Dua tahun setelahnya, Mendagri Tjahjo Kumolo juga mengatakan hal serupa. Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2015 lalu bisa menjadi salah satu alasan kurang efektifnya pengelolaan dana otsus di Papua. BPK menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi belum memiliki perencanaan yang mengatur arah, target serta indikator kinerja penyelenggaraan otonomi khusus yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Pengelolaan dana otsus untuk Papua mendapat sorotan banyak pihak ketika KLB Gizi Buruk Asmat terjadi. Hal ini dikarenakan kesehatan merupakan salah satu konsentrasi penyaluran dana tersebut. Jika merujuk pada UU No. 21 Tahun 2001, sebesar 15% dari dana otsus yang diterima tersebut diperuntukkan bagi kesehatan dan perbaikan gizi. Khusus untuk Kabupaten Asmat, data BPKAD Papua menunjukkan jumlah penerimaan dana otsus mengalami kenaikan sejak 2003 hingga 2016. Pada 2003, nilai yang diterima sebesar Rp5 miliar dan meningkat 676,9 persen pada 2004 mencapai Rp38,35 miliar. Sejak 2014 hingga 2016, dana otsus yang diterima bahkan mencapai Rp105,96 miliar setiap tahunnya.
Dengan kata lain, jika dihitung berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001, maka pada 2003, alokasi dana otsus untuk kesehatan dan perbaikan gizi di Kabupaten Asmat sebesar Rp750 juta. Sedangkan, mulai dari 2014, alokasinya sebesar Rp15,85 miliar per tahun.
Di sisi lain, meskipun nilainya meningkat, proporsi dana otsus yang diterima Kab. Asmat terhadap nilai keseluruhan kab/kota di Prov. Papua memperlihatkan tren yang menurun. Pada 2003, proporsinya sebesar 7,14 persen dan menjadi 5,61 persen di tahun berikutnya.
Sejak 2014, proporsi dana otsus Kab. Asmat hanya 3,42 persen. Menurunnya porsi dana otsus ini bisa menjadi indikasi bahwa daerah tersebut belum mendapat mendapat perhatian pemerintah provinsi. Sejalan dengan temuan BPK, pemprov masih belum memiliki perencanaan yang dapat menunjang pelaksanaan otonomi khusus. Akibatnya, pemerintah kesulitan untuk melakukan evaluasi peruntukan pada daerah penerima sehingga menimbulkan banyak pertanyaan yang mengindikasi adanya ketidaksesuaian antara anggaran dan realisasi.
Sementara, penerimaan dana otsus yang semakin besar tanpa adanya wadah yang tepat untuk mengelola tidak akan berdampak apapun di Papua. Di sisi lain, pemerintah juga harus lebih sensitif dengan budaya di Prov. Papua yang masih kental agar tidak salah dalam menentukan kebijakan.
Penulis: Desi Purnamasari
Editor: Suhendra