Menuju konten utama

Kasus Dugaan Gratifikasi IPO & Pentingnya Tata Kelola Perusahaan

Dugaan gratifikasi IPO yang menjerat lima orang karyawan BEI dinilai mencoreng nama baik pasar modal Indonesia. Tata kelola perusahaan jelas mesti dibenahi.

Kasus Dugaan Gratifikasi IPO & Pentingnya Tata Kelola Perusahaan
Seorang pekerja melihat layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (28/6/2024). IHSG BEI pada Jumat (28/6) dibuka menguat 21,41 poin atau 0,31 persen ke posisi 6.989,37, sementara kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 naik 4,93 poin atau 0,56 persen ke posisi 879,33 mengikuti penguatan bursa saham kawasan Asia dan global. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/tom.

tirto.id - Dugaan skandal gratifikasi terkait proses penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dinilai menodai nama baik pasar modal Indonesia. Atas kejadian itu, manajemen BEI pada Juli-Agustus 2024 akhirnya mengambil langkah tegas dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada lima orang karyawan yang terlibat dalam dugaan gratifikasi tersebut.

Kelima karyawan itu berasal dari Divisi Penilaian Perusahaan BEl. Divisi ini bertanggung jawab terhadap penerimaan calon emiten. Mereka disebut telah meminta sejumlah imbalan uang dan gratifikasi atas jasa analisa kelayakan calon emiten untuk dapat tercatat sahamnya di BEI.

Praktik ini telah berjalan beberapa tahun dan melibatkan beberapa emiten yang saat ini telah tercatat sahamnya di bursa. Melalui praktek terorganisisasi ini, para pelaku membentuk suatu perusahaan jasa penasihat, yang pada saat dilakukan pemeriksaan ditemukan sejumlah akumulasi dana sekitar Rp20 miliar.

Manajemen BEI tidak membantah praktik dugaan gratifikasi tersebut. Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, mengonfirmasi secara langsung bahwa pelanggaran etika yang melibatkan karyawan BEI telah terjadi di lingkungannya.

“Berdasarkan pelanggaran tersebut, BEI telah melakukan tindakan disiplin yang sesuai dengan prosedur serta kebijakan yang berlaku,” ujar Kautsar dalam keterangan resmi.

Atas kejadian ini, BEI berkomitmen memenuhi prinsip Good Corporate Governance melalui penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) melalui implementasi ISO 37001:2016. Seluruh karyawan BEI dilarang menerima gratifikasi dalam bentuk apapun, tidak terbatas pada uang, makanan, barang dan/atau jasa atas layanan atau transaksi yang dilakukan BEI dengan pihak ketiga.

Pengamat pasar modal, Riska Afriani, menilai kejadian ini secara tidak langsung telah mencoreng nama baik pasar modal Indonesia. Karena apa yang dilakukan beberapa pegawai BEI tersebut secara otomatis akan menimbulkan afek negatif.

IHSG DITUTUP MENGUAT PADA PEKAN PERTAMA APRIL 2023

Pegawai memotret layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (3/4/2023). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI pada perdagangan Senin (3/4) ditutup menguat 21,89 poin atau 0,32 persen ke posisi 6.827,1 mengikuti penguatan bursa saham kawasan Asia dan global. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.

Rugikan Investor Pasar Modal

Riska mengatakan, BEI seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada konsumen dengan tidak meloloskan beberapa emiten yang tidak laik. Bukan malah sebaliknya keberadaan pegawai justru memuluskan emiten-emiten tersebut lolos. Hal ini dapat merugikan para investor di pasar modal.

“Ini berpotensi merugikan investor yang sudah melakukan investasi terhadap saham-saham tersebut,” jelas dia.

Budi Frensidy, Profesor Keuangan dan Pasar Modal UI, melihat dugaan gratifikasi IPO BEI merupakan praktik tercela sehingga membawa efek negatif kepada pasar. Pada gilirannya investor bisa tidak lagi tertarik terhadap saham-saham di BEI.

“Investor bisa tidak lagi tertarik untuk ikut book building atau pooling atau saham-saham yang baru melantai di bursa,” ujarnya kepada Tirto, Senin (14/10/2024).

Pemerhati dan Praktisi Investasi, Desmond Wira, mengamini dugaan gratifikasi dalam proses pencatatan saham perdana dapat mengurangi kepercayaan investor, hingga membuat calon emiten ragu untuk melangkah ke tahap IPO. Pasalnya, dengan adanya dugaan kasus tersebut memunculkan persepsi bahwa proses IPO tidak transparan, sehingga mencoreng nama BEI.

“Hal ini dapat mengurangi kepercayaan investor. Perusahaan mungkin ragu untuk melangkah ke IPO jika mereka khawatir akan dampak negatif terhadap citra perusahaan setelah pencatatan," kata dia saat dihubungi Tirto, Minggu (13/10/2024).

Desmond melihat, minimnya minat perusahaan untuk melantai di bursa sebetulnya sudah terjadi sejak sebelum ada isu gratifikasi. Penurunan ini tak lain disebabkan oleh kondisi pasar saham yang

kurang kondusif, seiring dengan kondisi ekonomi global yang masih menantang.

Pada periode Juli-September, misalnya, BEI hanya mencatatkan saham perdana dari tujuh perusahaan, dan di sepanjang Semester I-2024 hanya ada 25 perusahaan baru yang mencatatkan sahamnya di Bursa.

“Tetapi minat perusahaan untuk IPO di tahun 2024 sebelum ada isu gratifikasi memang sudah berkurang. Hal ini disebabkan kondisi pasar saham yang kurang kondusif. Tidak ada isu gratifikasi pun minat IPO sudah berkurang,” ujarnya.

Sebaliknya, Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, justru mengungkapkan 2024 berdasarkan pipeline (antrian) BEI hingga akhir 2024 masih ada sekitar 25 hingga 30 emiten yang akan melakukan IPO dan akan diproses sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Dugaan gratifikasi dalam proses IPO pun diklaimnya tidak mengganggu proses berjalannya atau target IPO yang sudah ditetapkan dalam pipeline IPO.

Jeffry menjelaskan, terkait dengan dugaan gratifikasi IPO, sampai saat ini masih dalam proses investigasi, baik di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun BEI. Pihaknya berkomitmen untuk meningkatkan integritas dalam penindakan yang dilakukan.

“Saya kira itu sedang dalam proses, kita tunggu saja bersama-sama. Jadi, kita tunggu saja proses itu. Yang dalam kewenangan kami adalah memberikan sanksi kepada karyawan kami dan itu sudah kami lakukan,” ujar Jeffrey, mengutip dari Antara.

Untuk hasil tindak lanjut investigasi, Tirto sudah menghubungi Direktur Penilaian BEI, I Gede Nyoman Yetna, guna memberikan update kelanjutannya. Namun, hingga berita ini tayang, Nyoman belum merespons pertanyaan yang diajukan oleh Tirto.

Pembukaan IHSG usai cuti lebaran 2024

Pekerja mengamati layar yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (16/4/2024).ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/wpa.

Pentingnya GCG Kembalikan Citra BEI

Di luar proses investigasi, Riska Afriani mengatakan, BEI sebagai fasilitator dan regulator pasar modal di Indonesia seharusnya memiliki komitmen untuk menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Untuk itu, implementasi tata kelola perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG) di lingkungan BEI perlu ditingkatkan.

Tata Kelola Perusahaan merupakan sistem yang dirancang untuk mengarahkan pengelolaan perusahaan secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independen, kewajaran, dan kesetaraan. Prinsip ini penting untuk meminimalkan terjadinya penyelewengan.

“Fungsi Good Corporate Governance mesti ditingkatkan kembali untuk mengembalikan citra Bursa Efek Indonesia,” jelas Riska.

Budi Frensidy menambahkan, selain mendorong prinsip GCG harus ada upaya review berlapis dari BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk seluruh proses IPO. Di samping juga diperlukan laporan audit terbaru dan verifikasi dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk daftar aset dan revenue dari perusahaan-perusahaan ingin mencatatkan IPO.

“Jadi jangan mengejar kuantitas emiten baru, tetapi kualitas. Perlu audit report terbaru dan verifikasi KJPP,” kata dia.

Sementara itu, Desmond Wira mengatakan yang tidak kalah penting BEI harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Ini termasuk penerapan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik gratifikasi dan korupsi.

Memastikan proses IPO transparan, kata Desmon, bukan berarti BEI harus membuka proses aksi korporasi tersebut seutuhnya. Pasalnya, pasti ada faktor kerahasiaan dari perusahaan yang belum tentu dapat diungkap dalam proses dari privat menuju publik. Pun, calon emiten yang telah mendaftar dan melalui proses IPO juga belum tentu lolos dan dapat melantai di Bursa.

“Yang dalam proses IPO terus batal kan banyak juga,” imbuhnya.

Selanjutnya, BEI juga harus menyederhanakan prosedur IPO. Hal itu dapat dilakukan dengan mempermudah prosedur dan persyaratan untuk melakukan IPO, sehingga dapat menarik minat lebih banyak perusahaan. Ini juga bisa mencakup pengurangan biaya administrasi, namun bukan menggratiskan biaya administrasi dan waktu yang diperlukan untuk proses pencatatan.

“Biaya IPO kan macam-macam. Mulai dari regulatory fee, underwriting fee, audit fee, legal fee, dan lain-lain. Kalau pun administrasi dibikin free, masih ada biaya-biaya lain yang jauh lebih besar. Lagi pula BEI juga perlu biaya operasional dan mencari keuntungan,” ucap Desmond.

Pada saat yang sama, BEI juga harus mengadakan program edukasi melalui seminar, lokakarya, atau program mentoring bagi perusahaan tentang manfaat dan proses IPO.

Selain itu, yang paling penting adalah memberikan hukuman berat kepada terduga penerima gratifikasi. Hal ini sekaligus sebagai efek jera kepada para pegawai BEI lainnya agar tak mengulangi tindakan tercela tersebut.

“Yang terlibat dihukum seberat-beratnya. Kalau itu benar-benar dilakukan, yang mau menyuap akan berpikir berkali-kali,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait BURSA EFEK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi