Menuju konten utama

Kasus BLBI Rumit, ICW: Baru Rp27,2 T Dana Kembali

Sejak negara mengeluarkan Rp320 triliun untuk 54 bank swasta dalam kasus BLBI, baru 8,5 persen atau Rp27,2 triliun kepada negara.

Kasus BLBI Rumit, ICW: Baru Rp27,2 T Dana Kembali
Logo ICW. FOTO/www.antikorupsi.org

tirto.id - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memang rumit untuk diruntutkan, karena memiliki rantai sejarah yang panjang sejak krisis moneter 1998.

"Problem BLBI ini adalah problem benang kusut," ungkap Donal dalam acara 'Diskusi Publik Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin', di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2019).

"Sejak awal, pada tahun '98, negara mengeluarkan Rp320 triliun untuk 54 bank swasta, tapi apa yang terjadi [dana yang] kembali 8,5 persen [Rp27,2 T] kepada negara," lanjut Donal.

Dalam praktiknya, kata Donal, memang perlu diakui bahwa kasus BLBI memang rumit. Sebabnya, kata dia, Indonesia belum pernah mengalami krisis semacam itu, serta belum ada tolok ukur yang dapat dijadikan rujukan.

"Dan yang terparah adalah bank punya peran ganda, sekali lagi bank punya peran ganda pada waktu itu. Zaman Orde Baru, bank tidak hanya menjalankan fungsi intermediasi kapital, tapi juga menjalankan prinsip akumulasi kapital, main dua kaki. Dapat uang dari masyarakat, tapi yang justru yang terjadi adalah menggunakan uang-uang itu untuk perusahaan-perusahaan yang bersangkutan [dengan perusahaan bank]," ungkap Donal.

"Makanya, pada saat terjadi krisis moneter, panik seluruhnya. Uang tidak ada di bank. Tidak ada di rekening. Uang diputar untuk anak-anak perusahaan yang bersangkutan sebagai pemilik bank itu sendiri. Nah inilah komplikasi di awal, tapi juga harus diakui problem pada waktu itu," lanjut dia.

Berdasarkan Laporan Audit BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000, bank yang melakukan penyimpangan terbesar BLBI antara lain adalah BNDI dengan nilai Rp24,47 triliun, Bank Central Asia dengan nilai Rp15,82 triliun, serta Bank Danamon dengan nilai 13,8 triliun.

"Pada prinsipnya, BLBI hanya boleh dipergunakan untuk membayar dana nasabah. Dari total penerimaan BLBI pada 48 bank, yaitu senilai Rp144,53 triliun, telah ditemukan berbagai pelanggaran. Penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan mencapai nilai Rp84,84 triliun atau 59,7 persen dari keseluruhan BLBI [per 29 Januari 1999]," kata Donal.

Salah satu kasus yang berakar dari BLBI tersebut adalah dugaan korupsi Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang dimiliki oleh Sjamsul Nursalim. Kasus tersebut tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sjamsul bersama istrinya, Itjih Nursalim kini berstatus tersangka.

Sjamsul melunasi BLBI menggunakan aset yang ternyata merupakan kredit macet. Namun, Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) pada saat itu, menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL).

Padahal aset yang digunakan oleh Sjamsul untuk membayar bermasalah. Kasus tersebut masih berjalan hingga kini, sedangkan Syafruddin divonis lepas oleh MA karena penerbitan SKL BLBI BDNI dinilai bukan tindakan pidana.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali