tirto.id - Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa ia ditanya sejumlah poin terkait misrepresentasi aset yang berkaitan dengan kasus korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Pada dasarnya [ditanyakan] menyangkut misrepresentasi dari aset-aset yang disahkan," kata Rizal selepas diperiksa di Gedung KPK, Jakarta Selatan, pada Jumat (19/7/2019).
Rizal diperiksa oleh KPM sekitar dua jam.
"Sudah selesai, nyaris dua jam sebetulnya kan saya diminta jadi saksi ini untuk kasus yang nyaris sama sudah tiga kali 2017,2018, 2019," ujarnya.
Rizal menjelaskan latar belakang BLBI yang terjadi pada Orde Baru. Bermula dari krisis moneter di tahun 1997-1998. Rizal menyampaikan krisis tersebut dipicu oleh pihak swasta yang memiliki banyak hutang, tetapi mereka tidak mampu membayar.
"Ada satu grup, Sinarmas pada waktu itu sangat ekspansif, terbitkan bon delapan miliar dolar Amerika, ternyata enggak mampu bayar kupon ya, jadi default yang lain-lainnya juga pada default, utang pemerintah maupun swasta," ungkap Rizal.
Kemudian, kata Rizal, saat itu belum ada peraturan terkait legal lending limit atau yang aturan terkait bank yang tidak boleh memberikan kredit terhadap perusahaan yang ada dalam satu grup dengan bank tersebut.
Alhasil, jelas Rizal, masalah tersebur menyebabkan bank-bank tersebut bangkrut saat IMF menaikan tingkat bunga Bank Indonesia dari 18 persen menjadi 80 persen.
"Akhirnya pemerintah terpaksa nyuntik [dana melalui] apa yang disebut dengan dana BLBI," ucap Rizal.
Suntikan dana tersebut perlu untuk dibayar kembali oleh sejumlah bank yang mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Kemudian pada masa Pemerintahan Habibie, Menteri Keuangan Bambang Sugianto dan Kepala BPPN melobi agar hutang tersebut tak perlu dibayar tunai, melainkan lewat aset.
Namun, kata Rizal, tak semua perusahaan memiliki catatan aset yang jelas. Hal tersebut yang akhirnya memunculkan sejumlah perkara.
"Seandainya pada waktu itu tetap BLBI ini dianggap sebagai hutang tunai, pemerintah Indonesia malah selamat karena hutang tunai harus dibayar terus plus bunga," tegasnya.
Terkait dengan pemanggilan Rizal, ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun.
Saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Nur Hidayah Perwitasari