Menuju konten utama
Mozaik

Karst Citatah, dari Laut Purba hingga Jejak Manusia Prasejarah

Warisan alam yang luar biasa ini kiwari kian terancam. Puluhan perusahaan tambang beroperasi yang mengakibatkan polusi udara dan berkurangnya debit air. 

Karst Citatah, dari Laut Purba hingga Jejak Manusia Prasejarah
Header Mozaik Karst Citatah. tirto.id/Tino

tirto.id - Di balik perbukitan batu kapur yang menjulang di Karst Citatah, tersembunyi cerita jutaan tahun yang terus dikisahkan alam. Kawasan karst yang terletak di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, ini adalah saksi bisu perjalanan waktu, dari lautan purba hingga kehidupan manusia prasejarah yang menghuni gua-gua.

Bayangkan, jutaan tahun yang lalu, tempat ini adalah dasar laut dangkal yang penuh dengan kehidupan. Ikan-ikan prasejarah berenang bebas di antara terumbu karang, sementara makhluk laut lainnya bersembunyi di sela-sela karang menghindari pemangsa.

Museum Geologi di Bandung, Jawa Barat, menyimpan sejumlah fosil penghuni laut purba tersebut. Salah satunya fosil kerang raksasa yang memiliki nama ilmiah Tridacna gigas.

Ahli geologi dan karst dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Budi Brahmantyo, dan pakar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung cum anggota Masyarakat Geografi Nasional Indonesia, T. Bachtiar, pernah menelusuri asal-usul wilayah ini. Dalam buku Wisata Bumi Cekungan Bandung (2009), mereka mengungkapkan Karst Citatah terbentuk pada zaman oligomisin, sekitar 25 juta yang lalu.

Batu kapur kawasan karst Citatah, yang termasuk dalam Formasi Rajamandala, bukan sekadar batuan biasa. Warnanya putih hingga abu-abu dengan ketebalan antara 90 sampai 200 meter. Batuan kapur ini mengalami pengangkatan dari posisi awalnya di dasar laut dangkal, sekitar 30 hingga 20 juta tahun lalu.

Perlahan namun pasti, bumi bergerak, lautan bergolak, dan batu kapur itu terangkat ke permukaan. Selama jutaan tahun, bumi mengalami berbagai proses tektonik: melipat, mematahkan, dan meretakkan batuan hingga membentuk perbukitan yang kini berdiri megah. Tak hanya itu, proses pelarutan pun terjadi, menciptakan endapan kalsium karbonat baru yang membentuk bentang alam karst yang menawan.

Proses pembentukan karst yang berlangsung jutaan tahun telah mengukir gua-gua dan sungai bawah tanah. Di dalam gua-gua ini, alam bekerja sebagai seniman tanpa tanding, membentuk stalaktit dan stalagmit yang menggantung dan menjulang dengan keanggunan alami.

Dinding-dinding gua itu menampilkan teras-teras menonjol dengan warna biru bening seperti kristal, memantulkan cahaya dalam keheningan yang abadi. Salah satu lokasi yang menyimpan keindahan ini adalah Gua Sanghyang Poek di Rajamandala.

Sebagai bekas dasar laut, perbukitan kapur di kawasan Citatah juga terbentuk dari fosil-fosil terumbu karang dan moluska. Taman Batu (Stone Garden) yang terletak di puncak Pasir Pawon merupakan contoh dari formasi yang berasal dari susunan terumbu karang. Bekas gerigi moluska dan sulur-sulur terumbu karang yang telah membatu masih terlihat di dinding-dinding kawasan ini.

Karst Citatah yang membentang dari Padalarang hingga Rajamandala merupakan bukti Cekungan Bandung pernah menjadi dasar sebuah laut dangkal. Keindahan kawasan ini sering dibandingkan dengan Taman Nasional Yosemite di California, Amerika Serikat.

Jejak Manusia Prasejarah

Dalam kegelapan gua-gua di Karst Citatah, manusia prasejarah pernah berdiam. Mereka berlindung dari ganasnya alam dan meninggalkan jejak yang hingga kini masih bisa kita temukan.

Pada ekskavasi tahun 1999-2003, di Gua Pawon ditemukan fosil manusia purba jenis homo sapiens yang diperkirakan berusia 9.000-5.000 tahun. Di gua itu ditemukan juga artefak berupa gelang-gelang dari batu gelas, kapak, dan aneka peralatan dari batu obsidian.

Temuan itu menyemangati Tim Ekskavasi Gua Pawon untuk melakukan penggalian lebih dalam. Hingga 2018, Balai Arkeologi Bandung menemukan tujuh individu prasejarah yang disebut Manusia Pawon.

Tujuh individu prasejarah ini diidentifikasi melalui tiga temuan bagian rangka, yaitu: Rangka I, Rangka II yang terdiri dari bagian tulang tengkorak belakang, dan Rangka V yang mencakup rahang atas dan bawah. Ketiga rangka ini ditemukan di lapisan budaya yang diperkirakan berusia sekitar 5.600 tahun.

Empat individu lainnya ditemukan di kedalaman berbeda, dalam posisi terlipat atau yang disebut sebagai flexed burial.

Rangka III, yang diperkirakan berusia 7.300 tahun, ditemukan dalam kondisi paling utuh. Sekitar 20 sentimeter di bawahnya, ditemukan Rangka IV yang berusia sekitar 9.500 tahun.

Semakin dalam tim menggali, semakin tua usia rangka yang ditemukan. Di kedalaman 235 sentimeter, ditemukan Rangka VI yang berusia 10 ribu tahun. Sementara di kedalaman 245 sentimeter, ditemukan Rangka VII yang berusia sekitar 11 ribu tahun.

Tim ekskavasi juga menemukan sejumlah artefak seperti sulam, serpil, lancipan, dan mata panah yang terbuat dari batu obsidian. Ada juga artefak yang terbuat dari andesit, rijang, dan batu gamping.

Kebudayaan Manusia Pawon diduga sudah masuk tahapan berburu dan mengumpulkan makanan menggunakan alat-alat tersebut. Mereka juga diperkirakan sering menjelajah yang diperkuat dengan temuan batu obsidian di sekitar Nagreg serta dua kerangka di Subang.

Selain penanggalan radiokarbon, Tim Ekskavasi Gua Pawon juga menggunakan metode odontologi forensik untuk mengungkap identitas Manusia Pawon. Melalui gigi geligi, tim bisa mengetahui lebih detail identitas rangka yang ditemukan, seperti usia kematian, ras, dan jenis kelamin.

Tim Odontologi Forensik dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran menyimpulkan Manusia Pawon termasuk Ras Mongoloid yang umur hidupnya rata-rata 30 tahun. Kesimpulan itu berdasarkan pemeriksaan odontologi forensik terhadap gigi geligi lima Manusia Pawon.

Infografik Mozaik Karst Citatah

Infografik Mozaik Karst Citatah. tirto.id/Tino

Kerusakan Karst Citatah

Kawasan Karst Citatah yang meliputi Goa Pawon, Pasir Pawon, Pasir Masigit, Pasir Bancana, Karang Panganten, Gunung Manik, Pasir Pabeasan, dan Gunung Hawu, kini diambang kehancuran akibat kegiatan manusia modern.

Penambangan batu kapur yang semakin marak mengancam kelestarian Karst Citatah. Setiap dinamit yang meledak, setiap batu yang diambil, perlahan tapi pasti, merusak keseimbangan alam yang telah terjaga selama jutaan tahun.

Tim Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) mengidentifikasi 32 titik potensial di lanskap Karst Rajamandala–-meliputi Citatah di dalamnya. Namun, hanya Goa Pawon yang sejauh ini berhasil diselamatkan, sementara sisanya habis dieksploitasi.

Meskipun Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melarang penambangan di sekitar Goa Pawon dan sekitarnya sejak 2009, langkah ini tidak cukup untuk melindungi karst dari kerusakan. Apalagi, kawasan Karst Citatah hanya sebagian kecil dari keseluruhan Formasi Rajamandala yang membentang dari Bandung hingga Sukabumi.

Karst Citatah memiliki luas 10.320 hektare, terbagi atas lahan sawah 1.794 hektare dan darat 8.526 hektare. Sebagian besar dari wilayahnya kini dipenuhi oleh perusahaan tambang. Sementara itu, penduduk lokal yang menggantungkan hidup pada hasil tambang tak punya pilihan lain selain turut serta dalam kegiatan tersebut.

Eksploitasi Karst Citatah tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga mengundang bencana. Polusi udara dan berkurangnya debit air adalah beberapa dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Walhi Jawa Barat mencatat lebih dari 30 perusahaan tambang beroperasi di sana dan hampir semua izinnya telah habis. Namun, eksploitasi terus berlanjut, bahkan tanpa izin resmi.

Karst Citatah terus terkikis, sedikit demi sedikit, hari demi hari. Mungkin di masa depan yang tersisa dari keajaiban alam ini hanyalah kisah-kisah yang tersimpan di balik bebatuan yang hancur–-sebuah legenda tentang alam yang diabaikan dan dilupakan.

Baca juga artikel terkait PEGUNUNGAN KARST atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - News
Kontributor: Gilang Ramadhan
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Irfan Teguh Pribadi