tirto.id - Sekian lama, Dayak, masyarakat asli Kalimantan, diketahui mendasarkan kehidupannya pada peladangan. Siapa sangka beberapa temuan arkeologi menunjukkan bahwa di era purba mereka juga telah mengenal budaya bahari?
Agar lebih terang, mari langkahkan kaki ke kawasan karst Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Sekira 2012, menurut Bambang Sugiyanto dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatandalam bunga rampai Warisan Budaya Maritim Nusantara (2018), para arkeolog mengindikasikan adanya budaya bahari berdasarkan gambar-gambar perahu sederhana yang ditemukan di dinding Liang Kacamata dan Liang Susu di Mantewe. Liang Kacamata dan Liang Susu berada di dua bukit yang berbeda, tapi masih dalam satu kawasan. Keduanya terpisah jarak sekira 1 km.
Penelitian yang lebih serius untuk mengungkap asal-usul gambar cadas di sana lantas dilakukan setahun kemudian.
“Gambar-gambar perahu sederhana yang ada pada dinding gua-gua di kawasan tersebut menjadi saksi bisu kehadiran teknologi perkapalan dan pelayaran di Kalimantan Selatan,” tulis Sugiyanto (hlm. 153).
Secara geografis, karst Mantewe merupakan bagian kecil dari kawasan karst Pegunungan Meratus yang membentang di bagian tenggara Kalimantan. Kawasan ini memiliki banyak gua dan ceruk yang potensial sebagai hunian era prasejarah.
Seturut Nia Marniati Etie Fajari dan Anggraeni dalam studi yang terbit di jurnal Purbawidya (vol. 11, no. 1, 2022), para arkeolog telah meneliti potensi arkeologisdi Pegunungan Meratus sejak 1996. Hasilnya adalah temuan-temuan situs dan sisa-sisa aktivitas manusia yang beragam.
“Jejak budaya di gua sementara ini paling banyak ditemukan di zona tenggara karst Pegunungan Meratus, khususnya di Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Kawasan ini telah diteliti secara intensif oleh tim dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatan sejak tahun 2008,” tulis Fajari dan Anggraeni.
Perahu di Dinding Gua
Seturut penelitian yang sudah dilakukan, Liang Kacamata diperkirakan pernah menjadi hunian manusia di masa prasejarah. Buktinya adalah temuan-temuan pecahan batu (tatal), alat serpih, alat bilah, dan beberapa fragmen gerabah.
Di dinding gua karst inilah peneliti menemukan tiga gambar perahu sederhana berwarna hitam. Dikatakan sederhana karena tanpa layar. Arkeolog memperkirakan itu adalah perahu yang digerakkan dengan dayung.
Satu lukisan perahu menjadi yang paling menarik karena menampilkan pula sosok manusia di atasnya. Sosok ini digambarkan berdiri dan memiliki atribut yang diperkirakan merupakan sebuah senjata. Senjata itu diperkirakan sejenis keris atau pedang karena digambarkan dengan pelindung genggaman tangan. Meski sederhana, gambaran senjata itu memberi petunjuk penting bagi kita.
“Hasil pengamatan yang lebih cermat, menunjukkan bahwa gambar-gambar perahu itu kemungkinan besar dibuat oleh masyarakat penghuni gua yang sudah mengenal metalurgi. Senjata yang ada pada pinggang seorang tokoh yang digambarkan di atas perahu menjadi penanda kronologi relatif tersebut,” tulis Sugiyanto (2018, hlm. 150).
Sementara itu, lukisan perahu di Liang Susu memiliki penggambaran yang sedikit lebih kompleks. Perahunya digambarkan memiliki layar yang berfungsi menangkap angin. Para peneliti menduga gambar perahu layar pada Liang Susu ini dibuat pada masa yang lebih muda dibandingkan yang ada di Liang Kacamata.
Siapa Pembuatnya?
Waktu relatif terkait kapan gambar-gambar perahu itu dibuat memang telah bisa diperkirakan. Namun itu belum menjawab pertanyaan penting: siapakah pembuat gambar-gambar cadas itu?
Sejauh ini, menurut Sugiyanto, para ahli menduga bahwa pelukis cadas di Liang Kacamata dan Liang Susu adalah bangsa penutur bahasa Austronesia. Mereka diperkirakan mulai menjelajah dan mendiami Kalimantan sekira 5 ribu tahun lalu.
Pada akhir masa Glasiasi (kurang lebih 10 ribu tahun yang lalu), lautan meninggi dan mulai memisahkan Kalimantan dari Jawa dan Sumatra. Manusia di masa itu lantas beradaptasi atas kondisi lingkungan yang berubah ini. Salah satu bentuknya adalah mengembangkan teknologi pelayaran.
Arkeolog Peter Bellwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (2000) menyebut bangsa Austronesia inilah yang membawateknologi pelayaran hingga ke Kalimantan hingga jejaknya bisa kita lihat kini di gua-gua karst di Tanah Bumbu.
Sejalan dengan keterangan tersebut, arkeolog Geoffrey Irwin seperti dikutip Bambang Budi Utomo dalam Warisan Bahari Indonesia (2016) menduga bahwa daerah perairan antara Filipina-Indonesia bagian utara hingga Kepulauan Melanesia dulunya merupakan semacam koridor pelayaran komunitas Austronesia awal. Di sepanjang koridor inilah mereka berlatih dan mempraktikkan berbagai teknologi pelayaran baru sehingga kemampuan berlayarnya berkembang pesat.
Jejak kebaharian ini diperkirakan bertahan hingga kini. Salah satu bentuknya adalah budaya sungai yang berkembang di Kalimantan Selatan dan penggunaan perahu jukung.
Sebagai tinggalan penting nenek moyang kita, lukisan cadas di Liang Kacamata dan Liang Susu jelas perlu dilestarikan. Terlebih, karst Mantewe dilingkupi beberapa ancaman lingkungan.
Bambang Sugiyanto dalam artikel ilmiah lain yang terbit di jurnal Naditira Widya(vol. 9, no.1, 2015) menyebut setidaknya ada tiga masalah yang mengancam kelestarian alam Mantewe dan tinggalan arkeologisnya. Masalah pertama adalah kegiatan penggalian guano (kotoran kelelawar) untuk pupuk. Masyarakat sekitar kawasan memang sejak lama merupakan peladang yang memanfaatkan guano sebagai pupuk. Penggalian guano terjadi di hampir semua kawasan karst.
Ancaman lain terhadap kelestarian kawasan karst di Kecamatan Mantewe adalah kegiatan penambangan batu bara dan batu kapur.
“Ketiga ancaman ini yang menjadikan kegiatan penelitian arkeologi prasejarah di kawasan karst di Kecamatan Mantewe menjadi sangat penting untuk dilakukan,” tulis Sugiyanto.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Rio Apinino