tirto.id - Jika ingin melihat wajah Jakarta, tengoklah Kampung-kampung kumuh yang terhampar di seantero ibu kota. Salah satunya Kampung Akuarium. Letaknya di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Cuma sepelemparan batu dari deretan mall dan apartemen megah. Tapi Kampung Akuarium tak mencerminkan sedikit pun kemegahan. Ia adalah wajah dari Jakarta yang salah asuh.
Kampung Akuarium adalah kontroversi. Mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama melihatnya sebagai biang banjir yang kumuh, tak elok, dan ‘ilegal’. Maka Ahok, panggilan akrab Basuki, menggusurnya atas nama kemajuan dan pembangunan. Kampung seluas kira-kira satu hektar itu pun rata dengan tanah. Memicu kemarahan warga.
Waktu bergulir dan gubernur pun berganti. Di masa Gubernur Anies Baswedan, Kampung Akuarium yang telah rata dengan tanah, akan diubah menjadi kampung susun, yang terdiri dari lima lantai. Jika semua blok rampung digarap, bakal ada 241 unit hunian bertipe 36.
Pembangunan Kampung Susun Akuarium dimulai dengan peletakan batu pertama pada 17 Agustus 2020 oleh Gubernur DKI Anies Baswedan. Pada 17 Agustus lalu, Gubernur Anies Baswedan secara simbolis meresmikan Kampung Susun Akuarium. Suksesnya pembangunan dua tower dari total 5 tower Kampung Susun Akuarium. Anies bilang kampung susun tersebut merupakan bentuk kolaborasi antar pemerintah, warga, swasta, dan LSM, serta akan dilakukan terus untuk menata Jakarta.
Cara kerja kolaborasi ini mudah, warga kampung Akuarium masuk dalam program Community Action Plan (CAP) tahun 2018. Di sini, warga dilibatkan dalam pembahasan konsep rumah, desain hingga kebutuhan mereka dalam hunian baru. Proses ini dibantu oleh Pemprov untuk memenuhi kebutuhan warga, termasuk pembiayaan. Tapi, di kasus Kampung Akuarium, aset rusun tetap dimiliki Pemprov. Warga hanya mengelola dalam bentuk koperasi.
Kolaborasi ini, dalam keinginan Anies, menjadi solusi permasalahan hunian kumuh di Jakarta, yang selama ini hanya melibatkan pemerintah dalam menanganinya (baca: penggusuran).
Darma Diani, Ketua Koperasi Akuarium Bangkit menuturkan, pembangunan Kampung Susun Akuarium membutuhkan waktu tiga tahun, dimulai dari mengembalikan identitas warga yang sempat dibekukan oleh Ahok, membangun shelter, sampai pelibatan desain hunian dan pengawasan.
Sementara itu, Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Angga Putra Fidrian mengatakan, tidak ada hambatan berarti dalam kolaborasi pembangunan Kampung Akuarium. Akan tetapi ia mengakui persoalan utama yang harus dilewati adalah komunikasi antara pemerintah dan warga.
"Di awal, Komunikasi mungkin jadi yang utama, dari pihak pemerintah belum terbiasa bekerja bersama masyarakat dan dari masyarakat juga belum terbiasa berkomunikasi secara birokratis sehingga perlu ada saling pengertian," ucap Angga.
Pengusiran dan Penggusuran Sudah Tidak Relevan
Stigma kampung kumuh; ilegal, tanah negara, miskin, tidak punya hak tinggal di Jakarta sering digunakan pemerintah untuk mengusir warga dengan dalih ruang terbuka hijau, melanggar undang-undang dan penyebab banjir. Padahal, stigma itu tak perlu lagi digunakan karena sudah kewajiban negara untuk memastikan warganya memiliki tempat tinggal yang layak. Stigma ini juga muncul saat proses kolaborasi Kampung Akuarium.
"Masalah di kota besar, (ASN) masih punya mental blok, dalam pengertian bahwa mereka memposisikan kawasan kumuh ilegal itu sebagai bukan warganya karena datang dari daerah urbanisasi. Sebenarnya itu sudah tidak relevan lagi," kata Pengamat Kebijakan Publik dari Prakarsa, Ah Maftuchan kepada Tirto (23/9).
Mental blok, menurutnya, membuat para abdi negara setengah-setengah dalam mengurus warga negara yang tinggal di perkampungan kumuh. Di sisi lain, warga yang tinggal di perkampungan kumuh juga memberikan kontribusi pada perekonomian kota dan pendapatan kota.
"Itu yang tidak fair. Jadi orang yang tinggal di tempat kumuh jangan dinilai sebagai bukan warga," ujarnya.
Misalnya, Kampung Manggarai yang berada di RW 04, lokasi yang berdekatan dengan pintu air Manggarai itu dianggap kawasan kumuh yang berada di bantaran sungai Ciliwung. Ada 8.783 penduduk di kampung seluas 4,5 hektare. Meskipun wilayah kampung kumuh, penduduk menggerakan perekonomian kota seperti dagangan warga mendatangkan retribusi, pemasangan listrik resmi dan air bersih
Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies menilai ada keengganan pemerintah untuk menguasakan penuh tanah milik negara kepada masyarakat sipil seperti orang miskin. Akan tetapi kondisi berubah 180 derajat bila berhadapan dengan kepentingan bisnis dan pemodal.
Ucapan Elisa benar adanya, pada 24 Agustus 2017, Kantor Pertanahan Jakarta Utara menerbitkan sertifikat HGB untuk PT Kapuk Naga Indah. Sertifikat terbit setelah Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau C seluas 276 hektare, dan Pulau D 312 hektare untuk pemerintah DKI Jakarta. Penerbitan sertifikat HGB hanya berselang satu hari setelah pengukuran lahan.
"Kita dengan mudah lihat (sertifikat) HGB Pulau C dan D reklamasi satu hari doang (selesai). Cepat sekali," ungkap Elisa.
Keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan bisnis atau pemodal bukan pertama kali terjadi di pulau reklamasi, melainkan jauh sebelumnya. Lihat saja kawasan Kelapa Gading yang awalnya diperuntukkan untuk daerah resapan air dan persawahan berubah menjadi mall. Kemudian, Pantai Kapuk yang semula kawasan hutan lindung beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman elit dan lapangan golf.
Hal serupa dituturkan Darma Diani, Ketua Koperasi Akuarium Bangkit. Ia bilang ketika pemerintah berhadapan dengan perusahaan besar, pemerintah dapat dengan mudahnya mengubah zonasi sesuai kebutuhan. Peruntukan kawasannya juga bisa berubah dan peraturannya daerahnya dibuat untuk mengakomodir kepentingan bisnis atau pemodal.
Bandingkan ketika berhadapan dengan orang miskin, pembahasan pemerintah hanya berkutat pada ilegal dan legal. Harusnya, kata Diani, jika tanah perkampungan kumuh ilegal, pemerintah bisa membantu melegalkan tanah tersebut. Bahkan pemerintah bisa menata warga kampung kumuh untuk hidup lebih layak, bermartabat dan diberdayakan.
"Kenapa untuk warga sendiri tidak boleh, apakah kami miskin," kata Diani.
Menurutnya, selama ini pemerintah hanya mengandalkan cara instan yang telah menjadi kebiasaan. Misalnya, saat terjadi penggusuran solusi pemerintah hanya memindahkan orang ke rumah susun sewa (rusunawa). Padahal, solusi itu tak menyelesaikan masalah. Mirisnya, menyengsarakan rakyat dengan hilangnya sumber pendapatan warga.
Kondisi di atas bisa diatasi jika pemerintah punya keberpihakan kepada warga miskin kota. Bila ditelisik lebih lanjut, sambung Diani, ada peraturan yang bisa digunakan untuk menata perkampungan kumuh.
"Persoalannya tinggal mau atau tidak, mau repot dikit atau enggak," ungkapnya.
Perda yang Memihak Kampung Kumuh
21 Mei 2018, Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan 21 kampung menjadi pilot project dalam penataan perkampungan kumuh di ibu kota. Sayangnya, kebijakan ini hanya berlandas pada keputusan gubernur (kepgub) nomor 878/2018 sehingga berpotensi tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan periode selanjutnya.
"Jangan sampai kebijakan yang sifatnya sementara dan tergantung siapa gubernurnya. Ini mesti jangka panjang, siapapun gubernurnya program itu harus berjalan," kata Gugun Muhammad, Koordinator Advokasi Urban Poor Consortium (UPC) kepada Tirto pekan ketiga September 2021.
21 kampung yang menjadi pilot project diantaranya Kampung Akuarium, Lodan, Tongkol, Krapu, Muka, Walang, Marlina, Elektro, Gedong Pompa, Blok Empang, Kerang Ijo, Baru Tembok Bolong, Tanah Merah, Prumpung, Rawa Barat, Rawa Timur, Guji Baru, Kunir, Kali Apuran, Sekretaris dan Baru. Dari 21 kampung, baru Kampung Akuarium yang sudah ditata dan dibangun dua tower dari total 5 tower rusun di lokasi gusuran.
Gugun menilai 21 kampung yang menjadi pilot project merupakan salah satu terobosan bagus dibandingkan gubernur periode sebelumnya. Penataan ini, lanjutnya, akan dilakukan pada 445 RW kumuh se-Jakarta yang tertuang pada Pergub 90/2018. Pada lampiran disebutkan, ada 15 RW kumuh kondisi berat, 99 RW sedang, 205 RW ringan dan 126 sangat ringan.
"Kepgub itu pilot project, yang besar itu ada Pergub 90/2018," ucapnya.
Untuk melanjutkan kebijakan penataan kampung, kata Gugun, perlu dibentuk sebuah lembaga khusus. Pasalnya, selama ini tidak ada instansi pemerintah DKI Jakarta yang menangani penataan kampung. Misalnya, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta tupoksinya tidak mengurusi perkampungan.
"Bahkan kampung tidak tersentuh, malah (DPRKP) lebih banyak ngurusin rusunawa karena dianggap aset pemprov sehingga menjadi tanggungjawab pengelolaan di DPRKP. Memang betul, tapi sebenarnya tidak sebatas rusunawa yang diurus sama DPRKP," tegas Gugun.
Sementara itu, Elisa dari Rujak Center for Urban Studies menuturkan penataan kampung kumuh harus diperkuat dengan pembentukan peraturan daerah (perda) DKI Jakarta agar kebijakan itu berlanjut untuk perkampungan lainnya. Jika tidak ada perda, pihaknya tidak meninggalkan warisan dan tidak meninggalkan praktik baik untuk kampung berikutnya.
Menurutnya, bila diterbitkan perda maka ada satu lembaga yang ditunjuk untuk mengurusi penataan kampung berbasis masyarakat, lalu ada standar baku, dan mekanisme pembiayaan. Saat ini, penataan kampung hanya berdasarkan kasus per kasus sehingga tak ada standar baku dalam proses penyelesaiannya. Hal itu terlihat pada Kampung Akuarium dan Kampung Bayam.
Rujak selaku pendamping Warga Kampung Akuarium mendorong pemerintah DKI membentuk suatu lembaga seperti The Community Organizations Development Institute (CODI) dari Thailand. CODI merupakan lembaga pemerintah yang berfokus pada penataan permukiman kumuh berbasis masyarakat di Thailand selama 20 tahun terakhir. Sumber dana CODI berasal dari pemerintah dan sekaligus memfasilitasi dana bergulir.
CODI memberikan pinjaman kepada koperasi masyarakat dan jaringan komunitas untuk melakukan berbagai inisiatif pembangunan yang mereka rencanakan dan implementasikan sendiri. Inisiatif-inisiatif ini termasuk perumahan, pembelian tanah, mata pencaharian, usaha masyarakat dan banyak lainnya.
Elisa mengatakan Pemprov DKI Jakarta memiliki sumber pendanaan yang besar dibandingkan provinsi lain, diantaranya APBD, Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L), Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dan kompensasi koefisien lantai bangunan (KLB). Kondisi itu memungkinkan Jakarta membentuk lembaga khusus terkait penataan kampung. Akan tetapi, ia hanya mengusulkan dan keputusan ditangan pemerintah DKI maupun pemerintah pusat.
"Kami bukan pemerintah, hanya beri usul itu. Kita ingin Indonesia punya program serupa (CODI)," kata Elisa berharap.
Gugun menambahkan pihaknya pernah mengusulkan lembaga khusus yang mengelola perkampungan kumuh dalam bentuk badan layanan umum daerah (BLUD) kepada Biro Organisasi dan Reformasi Birokrasi DKI Jakarta, akan tetapi belum disetujui.
“Saya enggak tahu persis alasannya apa, yang jelas belum disetujui,” kata Gugun.
Menanggapi rencana membangun pondasi yang lebih kuat terkait kolaborasi pemerintah dengan warga, Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Angga Putra Fidrian mengatakan, sebelum pandemi COVID-19 pihaknya pernah mengusulkan perda perumahan dan permukiman sebagai turunan dari Undang-Undang 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Akan tetapi, proses berhenti begitu pandemi datang di awal 2020.
"Nah sekarang kita lagi bikin pergub peta jalan penataan kampung, sebagai jembatan menuju perda kalau situasi lebih kondusif," klaimnya.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Adi Renaldi