tirto.id - Sebagian masyarakat Jabodetabek mengawali bulan suci Ramadhan, di awal Maret, dengan rumah yang tergenang air. Banjir kembali datang usai hujan deras mengguyur wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, hingga Bekasi. Alhasil, banjir terjadi di sejumlah daerah di Kabupaten Bogor. Bahkan, area Puncak ikut diterpa banjir bandang pada Minggu malam, 2 Maret 2025 lalu.
Kemudian, sejumlah wilayah di Daerah Khusus Jakarta serta Kabupaten dan Kota Bekasi, juga ikut digempur banjir sejak Selasa (3/3/2025). Dari data banjir Jakarta, genangan terparah terjadi hari Selasa, dengan jumlah RT yang terendam hingga 122, dan ketinggian air lebih dari 3 meter. Sementara itu, di Kota Bekasi, banjir melanda 10 dari 12 kecamatan. Di Kota Bekasi, wilayah terdampak paling parah di antaranya Pondok Gede Permai, Villa Nusa Indah, hingga kompleks Grand Galaxy Park serta Mega Mall Bekasi. Sampai Kamis (6/3/2025), sedikitnya ada 8 kecamatan yang tergenang banjir.
Kabupaten Bekasi juga turut dilanda banjir parah, hingga harus menetapkan status tanggap darurat, sejak Rabu (5/3/2025). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi mencatat, sekitar 61.648 jiwa terdampak banjir. Ada 16 kecamatan yang terendam banjir di Kabupaten Bekasi, termasuk Babelan, Sukawangi, Tambun Utara, Cibitung, dan belasan lainnya. Sebagai respon dari bencana ini, 14 titik pengungsian telah didirikan di Kabupaten Bekasi.
Memang, untuk wilayah Jakarta, hingga Kamis (6/3/2025) pagi, semua titik genangan air dipastikan telah surut. Hal ini dikonfirmasi Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BPBD Jakarta, Mohamad Yohan.
Banjir di Jakarta ditengarai diakibatkan oleh hujan berintensitas tinggi yang melanda wilayah Jakarta. Hal itu juga mengakibatkan luapan sungai, seperti Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, serta meningkatnya tinggi muka air (TMA) di sejumlah pintu air sekitaran Jakarta.
Banjir di wilayah Jabodetabek, khususnya wilayah Jakarta dan sekitarnya, merupakan cerita lama yang berulang tanpa henti. Musim penghujan yang berlangsung sejak Desember hingga awal tahun, menjelma momok menakutkan bagi masyarakat daerah metropolitan. Keberulangan banjir Jakarta diduga dipantik oleh masalah yang itu-itu saja dan belum terselesaikan hingga kini.
Tentu, perubahan iklim dan amuk alam adalah hal yang di luar kendali manusia. Fenomena ini juga menyumbang andil dalam bencana air bah berulang di Jakarta dan sekitarnya. Tapi, aneh rasanya kejadian yang berulang-ulang itu tidak membuat pemangku kebijakan belajar. Manusia sejatinya bukan mahluk yang pandir. Idealnya kita mampu mentaksir, mengambil ancang-ancang, dan memitigasi datangnya ancaman bencana.
Namun yang terjadi sebaliknya. Aktivitas manusia-manusia di megahnya metropolitan justru mempercepat – bahkan mengundang – datangnya bencana. Tak diragukan lagi, banjir justru hari ini tak bisa semata-mata dipandang sebagai imbas dari hujan deras semalam suntuk.
Pengamat Tata Kota, M Azis Muslim, menyebut, setidaknya ada dua faktor umum penyebab banjir. Pertama faktor alamiah, kedua faktor antropogenik alias tabiat manusia. Maka hal ini pula yang menyumbang banjir yang terjadi di Jakarta dan Bekasi awal Maret ini.
Azis mengungkap, curah hujan memang sudah diprediksi akan deras di awal Maret. Bahkan, ia menyebutnya sebagai curah hujan yang ‘ekstrem’. Hujan deras memang terjadi di wilayah Jabodetabek pada awal Maret, bahkan di sejumlah wilayah intensitasnya berjam-jam.
Curah hujan tinggi itu disambut dengan muka daerah yang tak siap menampung muntahan air. Apalagi, ada pembangunan besar-besaran di Jakarta dan sekitarnya. Hal ini juga terjadi di daerah hulu, seperti di daerah Puncak, dengan maraknya alih fungsi lahan untuk perumahan dan destinasi wisata.
“Sehingga yang terjadi adalah air hujan tidak dapat terserap dengan baik gitu ya. Itulah yang sebenarnya terjadi,” ucap Azis kepada wartawan Tirto, Kamis (6/3/2025).
Jakarta sendiri tidak didukung dengan infrastruktur andal dalam mengantisipasi luapan debit air sungai. Padahal, wilayah yang di zaman kolonial dikenal sebagai Batavia ini, dikelilingi oleh 13 sungai. Hal tersebut diperparah dengan perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan ke sungai.
Azis menilai, aliran air dari hulu ke hilir pasti selalu membawa tumpukan sampah. Ini mengindikasikan minimnya kesadaran bersama dalam menjaga lingkungan. Dampak menumpuknya sampah membuat air kiriman dari wilayah hulu justru memperparah peluang banjir di Jakarta.
“Sehingga yang menjadi concern, yang menjadi perhatian adalah bahwa ya mengelola banjir itu ya (artinya) juga harus mengelola wilayah-wilayah di sekitar Jakarta,” terang Azis.
Sementara itu, Greenpeace Indonesia menilai perubahan fungsi lahan yang serampangan, dilengkapi lambatnya respons pemerintah daerah terhadap peringatan dini cuaca ekstrem, menjadi penyebab utama bencana banjir di Jabodetabek.
Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan, area terbangun di tahun 2022 mencakup 42 persen dari total luas daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi, yang melalui daerah-daerah seperti Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, dan Sentul, serta kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Kabupaten Bogor.
Jumlah ini meningkat drastis dari proporsi 5,1 persen area terbangun di tahun 1990. Perubahan fungsi lahan ini mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpahan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya, dan kemudian mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi, yang berada di lokasi yang lebih rendah. Menurut catatan Greenpeace Indonesia, kini, lahan hutan di wilayah DAS Kali Bekasi hanya tersisa sekitar 1.700 hektar atau kurang dari 2 persen luas wilayah DAS.
Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, mengatakan bahwa eksploitasi alam dan pembangunan yang serampangan di wilayah DAS Kali Bekasi seharusnya bisa dicegah jika pemerintah daerah melakukan pembatasan izin. Selain itu, pemerintah daerah harus lebih sigap merespons peringatan cuaca dini yang diberikan oleh BMKG, sebagai upaya mitigasi bencana.
Jeanny mendorong pemerintah daerah Jabodetabek meningkatkan mitigasi dan adaptasi krisis iklim dibanding mengeluarkan solusi palsu seperti modifikasi cuaca yang hanya akan bertahan sementara. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya fokus untuk merancang kota yang tahan iklim, serta mempersiapkan warga dalam menghadapi dampak krisis iklim.
“Pemerintah daerah pun harus memastikan upaya mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan penuh negara, terutama bagi komunitas terdampak seperti rakyat miskin kota, masyarakat di wilayah pedesaan, warga pesisir dan pulau-pulau kecil,” ujar Jeanny lewat keterangan tertulis, Kamis.
Upaya Serius Bersama
Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Pramono Anung, menyebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta akan melakukan pembebasan lahan di sekitar Sungai Ciliwung untuk mempercepat proyek normalisasi sungai.
Pramono mengatakan, pembebasan lahan berfokus di sejumlah wilayah yang terdampak banjir akibat luapan Sungai Ciliwung awal Maret 2025, yakni wilayah Pengadegan, Cawang, dan Bidara Cina. Pembebasan lahan tersebut, disebut Pramono, akan berlangsung dengan cara-cara yang humanis.
Ia akan menyosialisasikan wacana ini kepada warga yang tinggal di sekitar sungai, agar permasalahan banjir dapat segera ditangani. Setelah melakukan pembebasan lahan, nantinya warga yang terdampak diharapkan dapat direlokasi ke rumah susun.
“Pendekatannya harus lebih humanis, manusiawi. Karena kita juga harus bisa menyadarkan kepada penduduk yang ada di lokasi yang perlu dilakukan normalisasi, bahwa kalau mereka tetap tinggal di sana, kapanpun pasti dampak dari banjir itu ada,” tuturnya usai meninjau titik banjir melalui helikopter di Lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Di sisi lain, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan bahwa Pemprov Jawa Barat juga menyusun program penanggulangan bencana banjir di sejumlah wilayahnya. Dedi bilang akan mengerahkan seluruh sumber daya mengatasi persoalan bencana, yang seringkali terjadi di berbagai daerah sekitar Jawa Barat.
Dedi mengakui bahwa lenyapnya ruang terbuka hijau, kawasan hutan, hingga lahan sawah, menjadi penyebab utama banjir di wilayah Jawa Barat. Atas hal tersebut, pihaknya akan mengevaluasi tata ruang di wilayah Jawa Barat.
“Selasa depan kita rapat koordinasi bupati/wali kota se-Jabar bersama Menteri ATR/BPN untuk evaluasi tata ruang di Jabar. Termasuk hilangnya daerah resapan air, daerah hijau, dan daerah persawahan yang paling besar ada di Jabar,” kata Dedi di Karawang, Selasa (4/3/2025), seperti dilansir Antara.
Direktur Eksekutif RUJAK Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, memandang banjir di wilayah Bekasi memang jauh lebih parah ketimbang di Jakarta. Kalau melihat hujan jatuh di hulu, kata Elisa, sebagian besar air lari ke Bogor, Depok dan Jakarta. Elisa menduga, banjir di hulu keburu merusak wilayah Bogor, sehingga daya rusak air saat masuk ke Depok dan Jakarta sudah menurun.
“Banjir di Bekasi mengingatkan saya pada banjir di Jakarta 2013. Hujan lokal, kiriman dan tanggul-tanggul gagal menjadi satu,” ucap Elisa kepada wartawan Tirto, Kamis (6/3/2025).
Elisa heran, pemerintah pusat menelurkan UU DKJ dengan wilayah aglomerasi di dalamnya, namun belum terlihat upaya kolaboratif untuk menangani banjir yang dilakukan. Wilayah sekitar Jakarta masih terus melakukan alih fungsi lahan besar-besaran hingga hari ini. Alih-alih menyasar akar masalah, pemerintah pusat malah mendorong solusi malas dengan teknologi modifikasi cuaca.
Ia sendiri tengah mengecek kali Cipinang Timur yang banyak diisi embung, situ, dan waduk yang dibangun oleh Pemprov Jakarta. Elisa menyayangkan kegiatan evaluasi kinerja kali ini justru dilakukan oleh pihak masyarakat sipil dan akademisi, bukan oleh pemerintah provinsi.
Juru kampanye WALHI Jakarta, Muhammad Aminullah, menilai upaya teknologi modifikasi cuaca berpotensi melahirkan masalah baru. Air hujan memang seharusnya jatuh ke tanah, yang kemudian diserap menjadi air tanah. Air tanah akhirnya dimanfaatkan mahluk hidup, itu memang siklus alaminya.
“Kalau hujannya dicegah, justru mengancam ketersediaan air tanah di masa mendatang,” ucap Aminullah kepada wartawan Tirto, Kamis (6/3/2025).
Kondisi meluapnya air hujan menandakan adanya persoalan di permukaan. Kalau dilihat, kata Aminullah, di Jakarta, 90 persen permukaannya telah mengalami perkerasan menjadi beton, aspal, dan bangunan. Hal ini menyebabkan air tidak terserap dengan baik ke tanah.
Di hulu juga ada deforestasi hutan. Kawasan Puncak, misalnya, sudah mengalami alih fungsi kawasan hutan. Akhirnya tangkapan air berkurang sehingga menyebabkan air dalam jumlah besar mengalir ke wilayah hilir. Karena itu, ia mendorong agar dibuat solusi multisektoral di seluruh wilayah Jabotabek untuk mengurangi alih fungsi lahan dan memperbaiki permukaan kota.
“Jakarta akan selalu kebanjiran, paling tidak ada upaya adaptasi untuk menekan kerusakan dan kerugian akibat banjir,” tutur Aminullah.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty