tirto.id - Kita mungkin akan semakin sering melihat para kandidat mengunjungi lembaga pendidikan seperti pesantren selama masa kampanye. Dua pasangan yang bertanding, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sama-sama sudah melakukan itu.
Tim riset Tirto menemukan dua kandidat ini setidaknya telah mengunjungi pesantren sebanyak 26 kali sejak September 2018.
Ma'ruf Amin lebih sering berkunjung ketimbang Jokowi. Sudah ada 10 pesantren yang ia kunjungi. Sementara Jokowi baru dua. Prabowo-Sandiaga sudah 14 kali. Prabowo enam pesantren dan Sandiaga delapan.
Tidak bisa tidak, kunjungan para politikus ini pasti disangkutpautkan dengan pemilu 2019. Kedua pasangan boleh jadi menampik. Ma'ruf misalnya, ia kerap beralasan silaturahmi, pengkajian kitab, dan memperingati hari ulang tahun. Alasan serupa juga kerap digunakan Prabowo-Sandiaga.
Masalahnya, peraturan tak mengizinkan lembaga pendidikan jadi tempat kampanye.
Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren, juga fasilitas pemerintah dan tempat ibadah, tidak boleh jadi tempat kampanye—yang menurut Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 artinya aktivitas meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri.
Imbauan tak berkampanye di lembaga pendidikan juga sudah berulang kali disampaikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Terakhir, larangan ditegaskan anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja, Rabu (10/10/2018) malam.
"Ya enggak boleh lah, itu jelas. Yang berhak memperbolehkan atau tidak kan Undang-Undang, baca saja Undang-Undangnya," ujar Bagja.
Meski begitu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo malah menyatakan sebaliknya.
"Enggak ada masalah ke sekolah, pondok pesantren, SMA. Saya kira sosialisasi pemilu, kampanye pemilu, semua lini masyarakat kita harus didatangi," kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/10/2018) kemarin.
Tjahjo kemudian meralat omongannya sendiri. Dilansir dari laman resmi Kemendagri, Tjahjo berpendapat bahwa sosialisasi pemilulah yang boleh dilakukan di lingkungan pendidikan. Sementara kampanye dilarang.
Akan tetapi, ralat Tjahjo tetap menyisakan sejumlah pertanyaan. Bukan tidak mungkin ke depannya ada kegiatan politik yang dilakukan para kandidat pemilu di sekolah atau pesantren dengan dalih sosialisasi pemilu.
Bawaslu Tidak Tegas
Bawaslu hingga kini mengaku belum mendapat laporan soal pelanggaran kampanye di lembaga pendidikan.
Alih-alih memberi sanksi, anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar justru menjelaskan kenapa mereka diam. Menurut Fritz, kandidat tak bisa dilarang sebab mereka diundang untuk mengisi acara non-politik.
"Saat seseorang hadir dan dia kunjungan biasa atau fungsi-fungsi lain yang tak berhubungan dengan kampanye, itu adalah kegiatan yang menurut kami tak melanggar," ujar Fritz di kantornya, Kamis (11/10/2018).
Ia memastikan semua kandidat pilpres tidak membawa atribut serta berkampanye.
Meski demikian, ia merasa wajar jika muncul anggapan kalau para kandidat sedang berkampanye. "Perspektif masyarakat yang melihat berbeda."
Sikap Bawaslu yang demikian dikritisi Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta.
"Kami nilai Bawaslu lambat dan abai dalam soal ini. Bawaslu punya kewenangan baik untuk laporan maupun temuan. Bahkan masih bisa mencegah. Ini yang tak dilakukan," ujar Kaka Suminta kepada Tirto, Kamis (11/10/2018).
Politik Identitas
Peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati punya pandangan seperti Suminta. Ia mengatakan Bawaslu harusnya lebih berani menegakkan aturan soal larangan kampanye di lembaga pendidikan, karena pasal soal itu pada UU Pemilu relatif jelas/tidak multitafsir.
Bukan semata menegakkan aturan, menurut Mada, melarang kampanye di lembaga pendidikan khususnya pesantren juga berguna untuk meminimalisir sentimen identitas keagamaan untuk meraup suara massa.
"Terkait dengan pesantren, kampanye di lembaga seperti ini cenderung mendorong kandidat untuk menggunakan strategi politik identitas," katanya kepada Tirto. Dan politik identitas jelas membawa masalah laten.
Dalam survei ahli yang melibatkan 145 ahli politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam pada April-Juli lalu, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) menemukan politisasi isu SARA dan identitas berpotensi menjadi pengganggu utama pemilu 2019. Gangguan yang berpotensi muncul di antaranya adalah intimidasi dan penggunaan kekerasan.
"Peran Bawaslu dan KPU sebenarnya sangat besar dalam menentukan sejauh mana politik identitas digunakan para calon sebagai instrumen mobilisasi melalui lembaga-lembaga seperti pesantren ini," kata Mada.
Kubu Prabowo-Sandi sama sekali tidak keberatan jika Bawaslu lebih tegas, misalnya dengan melarang sama sekali kandidat ke pesantren dan sekolah. Namun anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Habiburokhman, menyebut larangan itu juga harus berlaku kepada petahana.
"Kalau kami enggak boleh, Jokowi juga enggak boleh. Jangan kami enggak boleh, Jokowi karena dianggap presiden lalu boleh. Itu artinya membuat kami bertarung dengan tangan terikat," ujar Habiburokhman kepada Tirto, Kamis (11/10/2018).
Pendapat lain disampaikan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani. Menurut Arsul, kunjungan kandidat ke pesantren harusnya tidak dipermasalahkan selama memang tidak berkampanye.
"Kalau misalnya datang bersilaturahmi dan menerima masukan, keluhan, dan kemudian memberi konsep-konsep dan terjadi dialog, ya enggak apa-apa," kata Arsul di Kompleks Parlemen.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino