Menuju konten utama

Kala Sineas Lokal Harus Hadapi Pembajakan di Negeri Sendiri

Pembajakan terhadap karya sineas lokal masih kerap terjadi, pelakunya mulai dari kelompok sindikat hingga pemerintah--yang seharusnya melindungi hak cipta.

Kala Sineas Lokal Harus Hadapi Pembajakan di Negeri Sendiri
Film Story of Kale. FOTO/instragam/@storyofkale

tirto.id - Jagad maya twitter kembali ramai membahas pembajakan film. Angga Dwimas Sasongko, sutradara film Story of Kale: When Someone's in Love, geram ketika mengetahui film buatannya dibajak.

"Film saya dibajak seorang web developer lalu disebar. Orangnya bisa saya cari dan laporkan. Tapi di tempat lain ada @ucu_agustin, pembuat film yang hak ciptanya dicederai institusi besar dan sebuah TV Publik. Pelanggaran hak cipta ini sistemik," tulis Angga dalam twitnya, Selasa (27/10/2020).

Dalam wawancara dengan reporter Tirto, Angga berbicara soal kekesalan proses pembajakan. Menurut Angga, langkah para pembajak sudah keterlaluan lantaran membajak produk hasil kreasi yang susah payah dibuat di masa pandemi.

"Kita berusaha buat survive dengan mengandalkan bikin platform digital karena bioskop tutup. Sudah kayak begitu masih dibajak; dengan harga yang murah masih dibajak; risikonya dibajak ada, tapi dengan cara semasif ini, ini adalah sebuah (tanda) bahwa pembajak ngajakin perang sekarang. Kalau mereka mau jual, saya beli," tegas Angga kepada reporter Tirto, Rabu (28/10/2020).

Angga menuturkan, satu pun orang tidak ada yang dipidana akibat pembajakan. Ia menargetkan satu-dua orang untuk diproses secara hukum. Sebab, kata Angga, polisi sudah merespons laporannya tentang pembajakan film ini. Kini, Angga pun "harus bolak-balik bikin BAP, saya harus punya tim lawyer yang fokus tangani kasus ini".

Sepengetahuan Angga, para pembajak berbentuk sindikat. Sindikat ini mencari uang dari luar negeri yakni dari situs pornografi dan judi online. Selain itu, laman-laman bajakan menggunakan kuota dalam jumlah besar. Oleh karena itu, Angga membuat laman bioskop daring bernama bioskoponline untuk mencegah pembajakan.

"Jadi sebenarnya yang nonton pembajakan itu rugi dibanding nonton di Bioskoponline," kata Angga.

Menurut Angga, penanganan selama ini pun hanya berfokus pada penghentian laman di Kemenkominfo. Namun, para pembajak memindahkan laman mereka ke alamat lain sehingga kasus tidak selesai.

"Tangkap tikus (pembajak) memang perlu effort karena di Indonesia pelanggaran hak cipta itu memang delik aduan, jadi harus ngadu dulu sama pidana khusus. Penyidikannya lebih kompleks," kata Angga.

Angga pun tidak bisa menyalahkan seluruhnya kepada penegak hukum lantaran mereka bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, opsi yang bisa diambil pemerintah adalah dengan memperbaiki regulasi.

Dibajak Pemerintah

Bila Angga berang hingga membawa polisi untuk memburu pelaku, Sutradara film Sejauh Kumelangkah Ucu Agustin, justru berhadapan dengan pemerintah Indonesia dalam melawan pembajakan.

Ucu mensomasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, TVRI dan Usee TV milik PT Telkom Indonesia karena menayangkan, memutilasi dan memodifikasi video Sejauh Kumelangkah.

Dalam akun media sosial Twitter Ucu, @ucu_agustin, Ucu mensomasi ketiga instansi negara tersebut karena dianggap melanggar Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Kemendikbud pun akhirnya menggelar mediasi dengan pihak Ucu. Informasi terkini, kuasa hukum Ucu, Alghiffari Aqsha mengatakan pihak Ucu sudah bertemu dengan Inspektorat Kemendikbud dalam rangka menyelesaikan masalah somasi pada 13 Oktober 2020. Mereka kini menunggu sikap Kemendikbud yang bersedia memenuhi tuntutan atau tidak.

Alghif pun mengatakan, pihak Telkom maupun TVRI belum menunjukkan respons somasi Ucu. Mereka pun menunggu itikad baik BUMN maupun perusahaan penyiaran publik milik negara itu.

Problem Multidimensi

Menurut Alghif, kasus Ucu merupakan satu dari sejumlah kasus yang serupa. "Hal ini sudah dilaporkan ke Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai bukti bahwa kasus pelanggaran hak cipta dalam program BDR tidak hanya dialami oleh saudari Ucu Agustin, namun juga para pembuat film lain," kata Alghif.

Alghif pun mengatakan, permasalahan Ucu dan sineas terjadi karena belum ada perbaikan di sejumlah sektor. Pertama, keterbukaan anggaran di badan publik. Kemudian adalah penerapan good governance dalam bentuk kontrak hitam di atas putih serta penggalakan urgensi hak cipta.

"Keempat, pemberian sanksi yg keras kepada aktor dan instansi yg melanggar dan kelima pemulihan dan saluran pemulihan hak korban pelanggaran hak cipta," kata Alghif.

Pemerhati film sekaligus Editor in Chief Cinema Poetica Adrian Jonathan Pasaribu mengatakan, permasalahan pembajakan bersifat multidimensi. Menurut Adrian, pembajakan film berawal dari ketimpangan akses hiburan berbentuk film di Indonesia. Ketimpangan tersebut lantas memicu sekelompok orang membajak demi bisa mengakses hiburan tersebut.

"Akses ini macam-macam ya. Bisa kita bicara akses bioskopnya dalam arti ruangnya ada atau nggak, memang tidak merata. Yang kedua akses harga yang dari dulu identik dengan kelas menengah perfilman itu," kata Adrian kepada reporter Tirto, Rabu.

Ketimpangan tersebut, dalam pandangan Adrian, berlangsung dalam 3 dekade terakhir. Dalam 3 dekade tersebut, publik pun akhirnya menjadi memaklumi keberadaan bajakan. "Awalnya mungkin masalah akses, sekarang cuma ini sudah masalah kultural juga itu," kata Adrian.

Pembajakan pun semakin kuat setelah dunia memasuki pandemi COVID-19. Awalnya, Adrian menduga, pembajakan terjadi karena masalah harga yang sulit dijangkau penonton. Akan tetapi, dugaan tersebut meleset karena kelas menengah-atas ikut menikmati bajakan.

Dalam pandangan Adrian, opsi terbaik dalam melawan pembajakan adalah melawan secara hukum. Akan tetapi, sepengetahuan Adrian, belum ada satu pun kasus berkaitan pembajakan yang naik ke meja hijau.

Permasalahan lebih kompleks karena mereka belum mengetahui undang-undang yang tepat untuk menjerat pembajak, baik UU Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) atau UU Perfilman. Kalau pun dijerat dengan UU Hak Kekayaan Intelektual, para sineas kesulitan untuk melapor.

"Jadi ibaratnya kayak siapa sih yang berperan sebagai "polisi" dalam kasus kekayaan intelektual. Kayak kamu dapat larangan di undang-undang, di regulasi, kamu dapat dendanya. Ada tertulis di dendanya berapa segala macam kalau kamu melanggar, tapi siapa sih yang jadi juri dan eksekutornya?" kata Adrian.

Oleh karena itu, Adrian menyarankan beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencegah pembajakan. Pertama, para pembuat film fokus dalam membuat karya yang baik kemudian membuat kampanye soal anti-pembajakan. Salah satu metode yang tepat adalah kampanye pendidikan tentang pembajakan.

Kemudian, para eksebitor mandiri seperti komunitas film perlu mengajari tata cara penayangan film. Komunitas tersebut perlu membangun rasa urgensi hak cipta dan segala macam.

"Menurutku dua hal itu yang paling bisa dilakukan saat ini. karena di sisi lain jadinya kita perlu bicara regulasi yang lebih tinggi dan di detik ini pemerintah perlu dituntut," pungkas Adrian.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher & Mohammad Bernie

tirto.id - Current issue
Reporter: Andrian Pratama Taher & Mohammad Bernie
Penulis: Andrian Pratama Taher & Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri