tirto.id - Sebanyak 220 Pekerja Seni dari 40 kota mendukung Sutradara Film "Sejauh Ku Melangkah" Ucu Agustin untuk menuntut perlindungan hak cipta serta transparansi program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Kemendikbud memang telah memenuhi satu tuntutan, yaitu meminta maaf secara publik atas penayangan film tanpa izin di TVRI dalam program Belajar dari Rumah (BDR).
Namun, hal yang mereka sayangkan Kemendikbud tidak menyebutkan telah mengubah isi dan bentuk—hingga pesan karya banyak yang hilang—tanpa sepengetahuan pembuat dan pemilik film. Selain itu, film tersebut juga ditayangkan ulang di UseeTV, sebuah platform penyiaran daring komersil milik Telkom.
"Kami tahu pelanggaran hak cipta serta apa yang terjadi pada teman kami Ucu Agustin, bisa terjadi juga kepada kami," kata salah satu pekerja Seni, Ika Wulandari melalui keterangan tertulisnya, Selasa (20/10/2020).
Hal yang membuat para pekerja seni itu kecewa, pelanggaran hak cipta ini dilakukan oleh institusi negara yang dihidupkan melalui uang rakyat, di mana seharusnya berpijak pada kepentingan publik.
Kata Ika, hal yang mengenaskan ketika pihak Kemendikbud, dalam pernyataan publiknya, berdalih bahwa penayangan dilakukan dalam rangka “pendidikan”, seolah itikad baik cukup untuk memaklumkan tindak pelanggaran yang telah dilakukan.
Padahal, perkara pemanfaatan publik atas karya seni sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
"Negara sepantasnya menjadi pihak terdepan dalam menjamin perlindungan karya seni serta hak-hak pekerjanya, alih-alih mengeksploitasinya," tegas Ika.
Dirinya menjelaskan, kasus pelanggaran hak cipta oleh institusi negara seperti ini bukanlah pertama kali, dan bukan hanya terjadi pada karya film. Tetapi juga karya seni yang lain.
Sayangnya, dikarenakan keterbatasan dana dan sumber daya, pembuat atau pemilik karya seringnya tidak sampai menempuh jalur hukum. Akibatnya, tidak ada contoh kasus yang membuktikan bahwa perjuangan atas keadilan hak cipta bisa mendapat solusi memuaskan.
Nyatanya, penyelesaian atas pelanggaran hak cipta hampir selalu terbentur ketimpangan kuasa, yang kian membesar ketika pihak negara yang menjadi pelaku pelanggaran.
"Ucu Agustin adalah kami, para pekerja seni sekaligus pihak yang rentan dalam kasus pelanggaran hak cipta. Karena itulah kami memberikan dukungan moral kepada Ucu Agustin sampai haknya terpenuhi. Surat ini adalah tuntutan kami atas tanggungjawab," tegas dia.
Sejumlah pekerja seni itu menyatakan dukungan supaya kasus ini bisa diselesaikan sesuai dengan tuntutan dari pihak Ucu yang disampaikan melalui kuasa hukumnya.
Para penandatangan surat dukungan ini berasal dari berbagai disiplin ilmu dan tradisi berkesenian berbeda. Di antara mereka adalah Joko Anwar, Dwimas Angga Sasongko, Sammaria Sari Simajuntak (sutradara film), Nia Dinata dan Muhammad Zaidy (produser film), Cholil Mahmud dan Bonita (musisi), FX Harsono (seni rupa), Gratiagusti Chananya Rompas (penyair), Intan Paramaditha (penulis), Alia Swastika (kurator seni), Dandhy Dwi Laksono (videographer), Shalahuddin Siregar (pembuat film dokumenter), dan sebagainya.
Dukungan juga dinyatakan oleh berbagai para pelaku profesi di dunia film dan kesenian seperti sinematografer, sound designer, make up artist, visual effect artist, peneliti, pengelola ruang kesenian, pengelola festival dan lain-lain.
Dukungan yang diberikan oleh 220 orang pekerja seni ini menujukkan keprihatinan yang luas terhadap masih rendahnya budaya mengakui hak kekayaan intelektual, dan masih lemahnya prosedur dalam lembaga negara untuk menjamin hak kekayaan intelektual seseorang bisa terpenuhi dengan baik.
"Untuk itu, dukungan ini diperlukan guna memberi tekanan lebih kuat kepada lembaga negara untuk turut serta secara aktif dalam menghargai dan melindungi hak kekayaan intelektual yang melekat dalam satu karya," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri