tirto.id - Putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, kini menjadi sorotan karena diprediksi bakal menjadi calon kuat dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta mendatang.
Sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang, mulai mencuat seiring dengan keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang syarat umur kepala daerah. Dukungan terhadap Kaesang terus mengalir, termasuk dari Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan.
Zulhas, begitu sapaan akrabnya, mengakui partai sangat membutuhkan sosok seperti Kaesang untuk memenangkan Pilgub DKI Jakarta. Pernyataan tersebut disampaikan Zulhas saat bertemu dengan Jokowi. Walaupun Jokowi enggan merestui Kaesang berlaga di Pilgub Jakarta.
"Saya lapor waktu itu kan, Pak Presiden, kalau Kaesang boleh nggak? Pak Presiden bilang jangan ya, tapi kan partai-partai perlu [untuk menang]," kata Zulhas.
Sementara itu, Jokowi hanya tersenyum saat ditanya soal restu untuk Kaesang. Dia tidak ingin berbicara terkait terkait hal tersebut.
Lalu Kaesang Pangarep mengaku tak perlu meminta izin dengan Jokowi untuk maju di Pilkada Jakarta 2024. Dia menjelaskan dirinya merupakan seorang ketua umum (ketum) partai politik yang juga memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta sehingga tak perlu meminta restu sang ayah untuk maju di pesta demokrasi.
"Ya memang saya perlu izin [Pak Jokowi untuk duet dengan Anies]? Saya ketua umum, saya ada kursi di sini, beda dong," kata Kaesang.
Dinamika politik Jakarta menjelang Pilkada semakin menarik dengan nama Kaesang yang mulai disandingkan dengan figur-figur besar lainnya seperti mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dan mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Kedua nama tersebut saat ini memiliki elektabilitas tertinggi di berbagai survei.
Lantas, apakah Kaesang bisa menjadi sosok kuat pemimpin atau sekadar meneruskan dinasti?
Analis dari PRP-BRIN, Wasisto Raharjo Jati, menilai Kaesang belum bisa menjadi sosok yang kuat dalam pemilihan gubernur Jakarta. Alasannya, nama Anies Baswedan dan Ridwan Kamil masih menjadi sosok paling diingat masyarakat dan sering muncul dalam survei.
"Sebenarnya, untuk saat ini variabel terbesar untuk popularitas pemilih Jakarta masih tertuju antara AB (Anies Baswedan) atau RK (Ridwan Kamil). Variabel Kaesang akan muncul setelah cagubnya telah positif," kata Wasisto.
Selain itu, masyarakat juga masih melihat figur calon gubernur sebagai pertimbangan utama untuk memilih. Wasisto menilai pernyataan Zulhas merupakan upaya mendorong Kaesang sebagai regenerasi kepemimpinan politik. Tetapi bisa juga melanggengkan adanya privilege politik.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, menilai bahwa Kaesang bisa menjadi kunci untuk memenangkan Pilgub DKI Jakarta. Namun, menurutnya, masyarakat tidak melihat sosok Kaesang secara langsung, melainkan pengaruh dari Jokowi sebagai ayahnya.
"Secara teknis itu bisa dibenarkan, sama halnya Gibran sebagai kunci kemenangan KIM di Pilpres tapi dari sisi substansi, itu bukan Kaesang secara langsung, juga bukan Gibran dalam hal Pilpres, melainkan karena Kaesang adalah putra Presiden Jokowi," kata Dedi.
Dedi menjelaskan rencana mendorong Kaesang merupakan upaya replikasi dalam menguasai Jakarta dengan Pilpres 2024. Seperti publik menyaksikan Gibran Rakabuming Raka menang Pilpres melalui jalur dramatis, mulai dari skandal Anwar Usman, lalu ketua KPU Hasyim Asyari, diakhiri dengan dissenting opinion hakim MK dalam memutuskan sengketa. Nuansa serupa sudah mulai muncul di Pilkada DKI Jakarta.
"Jadi, lebih tepat jika dikatakan Jokowi lah kunci kemenangan, bukan yang lain," kata Dedi.
Dedi menganggap wajar sikap Zulhas menilai Kaesang adalah kunci kemenangan. Hal ini tidak terlepas dari posisi PAN yang mengalami peningkatan perolehan kursi menjadi 48 kursi, bertambah dari 44 kursi pada Pileg 2019 lalu.
Perolehan suara PAN naik karena faktor endorsement dari Jokowi. Sementara itu, Dedi menilai partai politik (parpol) di Indonesia cenderung fokus pada satu tujuan utama yaitu kemenangan.
Kemenangan dalam pemilu menjadi prioritas utama sering kali mengesampingkan upaya pengkaderan yang berkelanjutan. Realitas ini mencerminkan situasi politik di Indonesia hanya segelintir partai yang mampu membangun sistem pengkaderan yang efektif.
"Sejak awal, parpol di Indonesia, mungkin di belahan dunia lain, memang hanya mengejar kemenangan, terbukti di Indonesia belum ada partai mungkin selain PDIP—yang punya pengkaderan cukup baik, PAN termasuk yang tidak memiliki skema pengkaderan untuk regenerasi kepemimpinan," kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin