tirto.id - “Kami bahagia bersama Julen Lopetegui dan akan bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik,” ucap Raphael Varane usai Real Madrid dipermalukan Deportivo Alaves dalam lanjutan kompetisi La Liga Spanyol pekan ke-8 pada Sabtu (6/10/2018), seperti dikutip Marca.
Tak ada yang tahu, bek andalan Real Madrid asal Perancis itu memang berkata jujur atau hanya ingin menjaga kehamornisan tim. Yang jelas, sebagian besar fans Los Blancos tentunya tidak bahagia dengan kekalahan 0-1 dari lawan sekelas Alaves. Terlebih lagi, Varane dan kawan-kawan mencatatkan deretan hasil buruk dalam beberapa laga terakhir.
Lopetegui bukanlah nama asing bagi publik Santiago Bernabeu. Namun, entah mengapa, mantan kiper ini tampaknya memang susah berjodoh dengan El Real, baik semasa masih bermain, lalu sempat membesut Real Madrid B atau Castilla, hingga saat ini sebagai ketika kembali ke ibu kota sebagai pelatih skuad utama Los Blancos.
Karier Suram di Ibukota
Meskipun bukan pemain asli didikan Real Madrid, Lopetegui mengawali karier profesionalnya di lingkungan klub ibu kota bertabur bintang itu. Pada 1985, ia bergabung dengan Castilla, tim kedua El Real, di usia 19, setelah menjalani masa junior di Akademi Real Sociedad.
Selama tiga musim di Castilla, ia mencatatkan jumlah penampilan yang lumayan, 61 kali. Capaian ini membuat pelatih tim utama Madrid kala itu, Leo Beenhakker, tertarik dan memberinya kesempatan naik kelas.
Namun, Lopetegui nyaris tak terpakai selama musim pertamanya di level tertinggi La Liga. Peruntungan lelaki kelahiran 28 Agustus 1966 berubah drastis Real Madrid meminjamkannya ke Las Palmas pada musim 1988/1989. Lopetegui mencatatkan 31 penampilan.
Kembali ke Madrid semusim berikutnya, Lopetegui kembali jadi “pengangguran”. Ia lebih sering termenung di bangku cadangan sebagai ban serep bagi penjaga gawang utama El Real periode itu, Francisco Buyo. Kendati timnya meraih trofi La Liga 1989/1990 dan dua kali juara Piala Super Spanyol (1989 dan 1990), namun Lopetegui seolah-olah hanya sebagai penggembira.
Lopetegui akhirnya benar-benar hengkang dari ibu kota pada 1991, lalu pindah ke sesama klub divisi utama, Logrones. Dasar memang tidak berjodoh dengan Madrid, karier Lopetegui langsung melonjak di klub barunya itu. Ia berandil penting membawa Logrones menempati jajaran 10 besar serta mencapai perempatfinal Copa del Rey di dua musim perdananya secara beruntun.
Tiga musim di Logrones, Lopetegui tampil dalam 107 laga La Liga, belum termasuk ajang-ajang lainnya. Jelang musim 1994/1995, Barcelona berminat. Lopetegui menerima tawaran itu kendati harus menyandang cap pembelot macam Luis Enrique, Samuel Eto’o, atau Ronaldo Luis Nazario de Lima. Lagi-lagi ia jarang dimainkan di klub seteru abadi Real Madrid tersebut.
Lopetegui hanya tampil 5 kali selama membela Barca hingga 1997. Selanjutnya, ia pindah ke Rayo Vallecano hingga gantung sarung tangan pada 2002 dengan mengoleksi 112 pertandingan. Usai pensiun, Lopetegui langsung menatap karier baru sebagai calon pelatih.
Tak Berjodoh dengan Madrid
Sempat menjadi asisten pelatih tim nasional Spanyol U17 kemudian membesut Rayo Vallecano pada 2003, Lopetegui kembali ke klub profesional pertamanya, Real Madrid, jelang musim 2008/2009. Kali ini, ia dipercaya menukangi Castilla yang dulu pernah diperkuatnya selama tiga musim pada dua dekade silam.
Skuad Real Madrid B asuhan Lopetegui kala itu diperkuat oleh sejumlah nama yang kini cukup familiar, termasuk Alberto Bueno, Antonio Adan, Daniel Parejo, Adam Szalai, hingga Denis Cheryshev, dan berlaga di kompetisi divisi tiga Spanyol atau Segunda B.
Namun, Lopetegui lagi-lagi mendapati dirinya memang susah berkembang di Madrid, seperti dahulu saat masih menjadi pemain. Menangani calon-calon bintang masa depan di level kompetisi yang berjarak tipis dengan kompetisi amatir, kinerja Lopetegui tidak memuaskan.
Castilla besutannya hanya mampu finish di peringkat 6 Grup 2 sehingga gagal melaju ke fase berikutnya untuk memperebutkan tiket promosi ke divisi dua. Segunda B diikuti oleh total 40 klub yang dibagi dalam 4 grup. Masing-masing grup dihuni 20 klub.
Dari 38 laga di musim 2008/2009 itu, Daniel Parejo dan kawan-kawan hanya menang 18 kali, 9 kali imbang, dan kalah 11 kali. Catatan kemenangan skuad Lopetegui cuma menyentuh angka 47 (37 persen). Alhasil, Lopetegui hanya bertahan semusim di Real Madrid B.
Terdepak dari ibu kota, Lopetegui merasakan lagi bahwa ia memang bukan jodoh Real Madrid. Selama empat tahun berikutnya, Lopetegui ditunjuk menangani tim nasional Spanyol usia muda, dari level U19, U20, hingga U21, dan ia mengukir prestasi mengagumkan sebagai pelatih dalam periode ini.
Bersama Spanyol U19, Lopetegui merengkuh juara Piala Eropa U19 2012. Dari 11 laga resmi, 8 di antaranya dimenangkan, 3 kali imbang, tanpa pernah kalah. Persentase kemenangannya mencapai 72,73 persen.
Saat melatih Spanyol U20, Lopetegui juga mencatatkan performa menawan. Anak-anak asuhnya cuma kalah 1 kali, imbang 2 kali, dan mengamankan kemenangan 7 kali dari total 10 pertandingan.
Tak hanya itu, Lopetegui melanjutkan prestasi pelatih Spanyol U21 sebelumnya, Luis Milla Aspas, yang sukses menyabet gelar juara Piala Eropa U21 2013. Prestasi serupa diraih di bawah didikan Milla pada edisi 2011. Selama mengarsiteki Spanyol U21, skuad Lopetegui mengukir kesempurnaan: selalu menang dalam 11 laga.
Era emas Lopetegui berlanjut di negeri tetangga. Ditunjuk sebagai pelatih Porto FC sejak 1 Juli 2014, ia membawa Ricardo Quaresma dan kawan-kawan bersaing ketat dengan Benfica untuk memperebutkan predikat klub terbaik di Portugal.
Kendati akhirnya Porto gagal juara dengan selisih 3 poin dari Benfica, namun Lopetegui bekerja dengan amat baik. Porto menorehkan 53 kemenangan, 15 hasil imbang, dan hanya 9 kali kalah, dalam 77 pertandingan selama 2 musim di bawah asuhan Lopetegui.
Lopetegui menunjukkan bahwa ia juga bisa gahar kala melatih klub—sesuatu yang belum bisa ia lakukan di Real Madrid sejauh ini. Dan akhirnya, puncak kebanggaan Lopetegui sebagai pelatih tiba manakala ia ditunjuk untuk membesut Spanyol yang akan tampil di Piala Dunia 2018.
Kutukan Berulang Lagi?
Sehari sebelum pembukaan putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia, terdengar kabar mengejutkan. Lopetegui dipecat dari posisinya sebagai pelatih tim nasional Spanyol. Usut punya usut, ia sebelumnya ternyata telah bersepakat dengan Real Madrid yang baru saja mendepak Zinedine Zidane.
Lopetegui memilih melepaskan tugas negara dan kembali ke rumah yang sebenarnya tidak pernah ramah terhadap kariernya, Real Madrid. Dua kali gagal di Madrid sebagai pemain maupun pelatih, Lopetegui rupanya masih penasaran. Dan, kali ini datang kesempatan langka: membesut skuad utama Los Blancos.
Di laga-laga awal musim 2018/2019, kinerja Lopetegui masih cukup baik. Kehilangan Cristiano Ronaldo yang hengkang ke Juventus semula terasa biasa saja dan tidak terlalu memengaruhi performa El Real.
Kendati sempat kalah dari Atletico Madrid dengan skor 2-4 di Piala Super Eropa, namun Gareth Bale dan kawan-kawan meraih tiga kemenangan beruntun di permulaan musim La Liga, yakni atas Getafe (2-0), Girona (4-1), dan Leganes (4-1).
Namun, jelang akhir September 2018, penampilan Real Madrid menukik drastis. Dimulai dengan kekalahan 0-3 di kandang Sevilla lalu ditahan tanpa gol di Santiago Bernabeu oleh Atletico, skuad Lopetegui menelan dua kekalahan beruntun, yakni dari CSKA Moskow di Liga Champions dan Alaves di La Liga, masing-masing dengan skor 0-1.
Bahkan, dalam 5 pertandingan terbarunya, termasuk saat dibekuk Alaves, Real Madrid tidak mampu mencetak satu gol pun. Kerinduan akan sosok Cristiano Ronaldo yang kini mulai menemukan keharmonisan di Juventus pun mulai menyeruak.
Sebelum dipecundangi Alaves, Real Madrid telah mencatatkan rekor terburuk dalam dua dasawarsa terakhir. Skuad Lopetegui hanya menang 5 kali, imbang 2 kali, dan kalah 3 kali, dalam 10 pertandingan di semua ajang.
Torehan ini bahkan lebih buruk dari apa yang dihasilkan John Toschak saat menukangi Real Madrid pada 1999/2000. Memang, kala itu Los Blancos hanya menang 4 kali dalam 10 laga. Namun, jumlah kekalahannya lebih sedikit, cuma 1 kali, ditambah 5 hasil seri.
Meskipun Real Madrid saat ini masih berada di jalur persaingan juara La Liga dengan duduk di posisi ke-4 hingga pekan ke-8, mengumpulkan 14 poin dan hanya terpaut 2 poin dari Sevilla di puncak klasemen, spekulasi nasib Lopetegui sudah menyeruak.
Jangan-jangan, Lopetegui memang pembawa sial bagi El Real. Catatan sejarah telah menunjukkan bahwa ia nyaris tidak pernah berhasil setiap kali berkiprah di Real Madrid.
Lopetegui harus segera membuktikan diri. Duel El Classico kontra Barcelona—klub rival yang juga pernah diperkuat Lopetegui—pada 28 Oktober 2018 mendatang tampaknya bakal menjadi pertaruhan baginya, apakah ia masih tetap lanjut di Real Madrid atau justru mitos kutukan itu memang benar-benar nyata.
Editor: Ivan Aulia Ahsan