Menuju konten utama
Wabah Virus Corona

Jor-joran Stimulus Hadapi Corona, Seberapa Kuat Fiskal Pemerintah?

Peneliti CORE Yusuf Rendy Manilet menilai kehadiran stimulus wajar diberikan demi perekonomian berjalan lancar, hanya saja ia mengingatkan kondisi APBN saat ini sudah cukup tertekan.

Jor-joran Stimulus Hadapi Corona, Seberapa Kuat Fiskal Pemerintah?
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri) berbincang dengan Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kiri) disela-sela penandatanganan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama Koordinasi Percepatan dan Perluasan Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (13/2/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Gerak wabah virus Corona atau COVID-19 membuat pemerintah segera mengantisipasi dampaknya pada perekonomian. Sejumlah stimulus mulai direncanakan dan sebagian sudah digelontorkan. Namun di saat yang sama ABPN dibayangi risiko karena penerimaan negara dari pajak sedang dalam tren menurun.

Baru-baru ini, pemerintah berwacana untuk memangkas bea masuk impor karena ingin meringankan beban industri yang kesulitan mencari bahan baku usai Corona membuat aktivitas produksi Cina anjlok.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang bahkan meminta, “Kalau kita bisa dihapus sama sekali itu akan baik.”

Tidak hanya bea masuk, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga sedang menggodok stimulus ekonomi jilid II yang katanya bakal lebih berfokus dengan arus barang. Intinya impor akan dipermudah dengan penyederhanaan izin sekaligus ekspornya.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga sudah lebih dulu memberikan stimulus di bidang pariwisata dengan nilai total Rp10 triliun. Sekitar Rp3,3 triliunnya adalah talangan untuk pembebasan pajak hotel dan restoran di sejumlah daerah.

Lainnya, pemerintah punya paket stimulus ekonomi lewat pemotongan pajak seperti tax holiday, super deduction tax buat vokasi yang sudah lebih dulu ada sejak 2019.

Peneliti fiskal dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai kehadiran stimulus ini memang wajar diberikan demi perekonomian bisa berjalan lancar. Di Singapura saja ada stimulus 4,02 miliar dolar AS untuk menggenjot konsumsi dan denyut pelaku usaha. Di Cina juga ada anggaran 3,94 miliar dolar AS hanya untuk memerangi epidemi.

Rencana pemberian stimulus buat impor, kata Yusuf, bisa dimengerti karena sekitar 60 persen impor Indonesia adalah bahan baku. Sementara itu, industri manufaktur menyumbang 20 persen atau 19,70 persen dari struktur Produk Domestik Bruto (PDB) selama 2019.

Pemberian stimulus untuk kartu sembako menurutnya juga bisa dipahami karena bersentuhan langsung dengan konsumsi yang menyumbang 58 persen dari PDB 2019.

Kalau kebetuhan tahun 2020 ini akan ada banyak stimulus, kata dia, secara teoritis APBN tentu sanggup karena sesuai UU No. 17 tahun 2003, defisit anggaran boleh didorong sampai maksimal 3 persen dari PDB. Bahkan rasio utang ada batas 60 persen dari PDB.

APBN Sedang Tidak Baik-baik Saja

Hanya saja, ia mengingatkan kondisi APBN saat ini sudah cukup tertekan. Ia mencontohkan pertumbuhan penerimaan perpajakan Januari 2020 saja sudah dalam posisi minus 6 persen, padahal tahun 2019 masih tumbuh 9,1 persen.

Bea masuk dan bea keluar juga kompak mengalami kontraksi masing-masing di angka -9 persen dan -68,9 persen.

Saat penerimaan negara anjlok, pembiayaan utang, kata dia, tak terhindarkan. Belum lagi tanpa situasi global Corona ini, utang pemerintah juga sedang dalam tren meningkat.

“Saya kira tekanan ke APBN sudah mulai terasa dari awal Januari 2020,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/3/2020).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap mengatakan situasi ini memang perlu diwaspadai. Berdasarkan itung-itungan Indef, defisit anggaran 2020 diprediksi bakal menyentuh Rp350-400 triliun itu setara 2,8 persen dari PDB.

Defisit itu terjadi lantaran penerimaan pajak pada 2020 diprediksi akan anjlok sehingga menghasilkan shortfall Rp180-200 triliun. Penyebabnya penerimaan dari PPn dan PPh akan kurang maksimal di tengah perlambatan ini. Hal ini membuat keputusan stimulus yang menyebabkan penurunan penerimaan pajak menjadi terbatas.

“Ketimpangan belanja dan pendapatan akan signifikan. Pendapatan menurun tapi belanja tidak direm. Defisit akan melebar,” ucap Manap saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/3/2020).

Manap mengatakan pemberian stimulus harus benar-benar diperhatikan seberapa jauh dampak yang bisa dijanjikan buat ekonomi. Berkaca dari tahun 2019, ia mengingatkan jangan sampai ketika stimulus sudah diberikan nyatanya sektor itu tak juga bergeliat.

Terkhusus stimulus bea masuk, ia mengingatkan bila insentif ini gagal menggenjot ekspor, maka konsekuensinya defisit neraca perdagangan akan memburuk. Imbasnya dikhawatirkan akan memukul defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) yang akan membuat nilai tukar bisa melemah.

Belum lagi setiap stimulus tentu punya konsekuensi harus meningkatkan penerimaan pajak di kemudian hari. Jika sebaliknya, tentu stimulus itu dikhawatirkan gagal dan malah membahayakan APBN yang sudah tertekan.

Di luar itu, Manap menilai pemerintah juga perlu mendahulukan stimulus ekonomi domestik dalam paket stimulus jilid 2 ini. Sebab pada 2020 pemerintah sudah membebani masyarakat dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan cukai rokok.

Manap bilang di tengah perlambatan ekonomi dunia, permintaan dengan sendirinya akan berkurang sehingga menggenjot ekspor tak bisa jadi satu-satunya alternatif.

“Jangan hanya perdagangan dunia saja yang dikejar. Urusi juga domestik karena kontribusi konsumsi rumah tangga itu 58 persen PDB,” ucap Manap.

Sementara itu, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani belum memberi tanggapan. Kepada reporter Tirto, ia hanya menuliskan melalui pesan WhatsApp, “Wah panjang jawab dan jelaskannya."

Namun mengenai ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam beberapa kesempatan selalu menekankan kalau pemerintah memang akan menggunakan APBN untuk mendukung perekonomian yang melambat.

APBN, kata Sri Mulyani, tak harus ikut diperketat saat ekonomi melambat (procyclical). Alih-alih saat ekonomi melambat pemerintah bisa membuka ruang belanja dan stimulus sehingga bisa menghambat laju penurunannya (countercyclical).

"Dalam mengelola kebijakan, sikap kita harus countercyclical. Kalau ekonomi lemah, saya tidak boleh lemah. Saya justru bebaskan. Kalau saya procyclical, saya tidak jadi Menteri Keuangan, tapi cheerleader," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (26/2/2020).

Baca juga artikel terkait WABAH VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz