tirto.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di Jakarta mengatakan, perubahan pola hidup yang mengadaptasi gaya makan orang Eropa menjadi salah satu faktor penyebab munculnya daerah rawan bencana banjir.
"Hampir semua daerah yang rawan banjir itu berada di daerah yang bukitnya ditanami sayur-sayuran untuk daerah dingin. Pengaruh Eropa ini, kolonial, makan kentang, makan kol, dan sebagainya. Itu menyebabkan daerah di bawahnya jadi terbuka, daratannya terbuka, maka air tidak lagi sampai menetap di situ," kata JK di Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Akibatnya, kata dia, bukit-bukit yang ada di daerah dataran tinggi dijadikan lahan untuk menanam sayur-sayuran guna memenuhi tuntutan gaya hidup masyarakat tersebut.
"Dulu kita makan sayurnya itu kangkung, yang tumbuh di daerah rendah saja. Sekarang ini [makan] macam, ya kentang-lah, kol-lah, apalah. Itu terjadi di Garut, begitu juga di Dieng. Jadi karena pengaruh kebiasaan makan yang sekarang tentu sulit dihentikan," katanya menjelaskan.
Ia pun meminta keterbatasan lahan dataran tinggi yang semakin sedikit akibat penanaman masif itu ditanggulangi. Wapres berharap ada inovasi supaya jenis sayur-sayuran dataran tinggi tersebut dapat ditanam di dataran rendah.
"Jadi sekarang bagaimana kita mendorong teman-teman peneliti, untuk bagaimana membuat riset bahwa sayur-sayuran seperti itu juga bisa tumbuh di daerah rendah, bukan di daerah ketinggian saja," ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebelumnya mencatat daerah rawan banjir semakin meluas akibat ulah manusia.
"Daerah yang semula tidak pernah terjadi banjir tiba-tiba terjadi banjir besar. Faktor ulah manusia lebih dominan daripada faktor alam sebagai penyebab banjir," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta pada 2 Maret lalu.
Sutopo mengatakan laju kerusakan hutan yang tinggi, lahan kritis, kerusakan lingkungan, degradasi sungai, penerapan tata ruang yang lemah dan budaya sadar bencana yang masih rendah menyebabkan kerentanan meningkat.
Perlu upaya keras untuk memulihkan kembali kualitas lingkungan, jelas Sutopo. Pengurangan risiko bencana harus menjadi investasi pembangunan dan bagian dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
"Sayangnya pengurangan risiko bencana masih terpinggirkan dalam kehidupan kita sehari-hari," tuturnya.
Sepanjang Januari hingga Februari 2018, terdapat 513 kejadian bencana di tanah air yang menyebabkan kerugian dan kerusakan diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah.
Bencana tersebut terdiri atas puting beliung 182 kejadian, banjir 157 kejadian, longsor 137 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 15 kejadian, kombinasi banjir dan tanah longsor 10 kejadian, gelombang pasang dan abrasi tujuh kejadian, gempabumi merusak tiga kejadian, dan erupsi gunung api dua kejadian.
Penulis: antara
Editor: Yuliana Ratnasari