tirto.id - “Ismaʿ al-Haqq mimman qalahu!” Artinya: “Simaklah Kebenaran dari siapapun yang mengucapkannya.”
Kata-kata Maimonides itu terpatri indah dengan terjemahan tiga bahasa—Ibrani, Inggris, dan Jerman—di dinding W. Michael Blumenthal Akademie des Jüdischen Museum, bagian dari kompleks Museum Yahudi di Berlin. Kalimat perintah itu sebetulnya lahir dari rahim filsafat seorang pemikir besar Yahudi di abad ke-12 yang akrab dipanggil Rambam, penggalan dari Rabbeinu Mosheh ben Maimon.
Di Andalusia, Maimonides menggali ilmu pengetahuan dari lingkungan Islam yang cemerlang. Ia sangat menghormati para filsuf Muslim yang berjasa besar dalam mendidik dirinya. Apa yang ingin disampaikan Maimonides dalam penggalan kalimat di atas adalah jika kebenaran dilontarkan, tak penting siapa yang melontarkannya; tak peduli Kristen, Muslim, Yahudi, atau latar belakang lainnya.
Tentu makna al-Haqq di atas bisa juga terkait dengan nama Allah. Antara kebenaran dan Sang Kebenaran seperti saling bertalian. Jika Anda berbicara tentang kesetaraan, keadilan, dan kemaslahatan, di situlah Allah berada. Anda tak harus bertanya tentang agama ketika menuntun si tua renta yang hendak menyeberang jalan, bukan?
Rahmat atau Laknat?
Implikasi kalimat Maimonides besar. Kemanusiaan adalah ruh tertinggi dari keberagamaan. Ini yang diajarkan Islam pada figur Yahudi semacam Maimonides. Di Indonesia, kita bersyukur punya sosok semacam Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang tak lelah berbicara atas nama manusia. Gus Dur menganjurkan untuk kembali pada langgam Islam yang kosmopolitan bagi sebuah keindonesiaan yang menaungi semua, termasuk minoritas yang jumlahnya secuil. Keindonesiaan merupakan sebuah wisma perdamaian (dar al-salam) yang merekah di dalamnya bunga-bunga yang berwarna-warni.
Itu mengapa Gus Dur tak menyoal untuk berdialog dengan kaum Yahudi. Ia adalah salah satu yang berada dalam garis terdepan sebagai antitesis atas anti-Yahudi. Di negeri kita, anti-Israel sama dengan anti-Yahudi. Meski sudah banyak diungkapkan penjelasan untuk menetralkannya di sana-sini, kebanyakan orang masih mengidentikkan umat Yahudi sebagai kaum yang terlaknat di muka bumi. Sentimen anti-Semitisme sebagai anti-Yahudi menyeruak dalam kerumunan dan lorong-lorong kehidupan kita. Sejak awal Reformasi, nasyid-nasyid bertema anti-Yahudi luas menggema. “Ketika Yahudi-Yahudi membunuhmu...”—salah satu bunyi nasyid itu yang menggambarkan betapa kebencian kepada Yahudi memang nyata.
Padahal, sudah saatnya kita mafhum akan asal-muasal anti-Yahudiisme ini. Beberapa sejarawan terkemuka sudah menjelaskan bahwa sentimen itu diimpor dari Eropa ke dunia Muslim. Bahkan filsuf Perancis terkemuka, Jean-Luc Nancy, dalam esai filsafat terbarunya Exclu le juif en nous (2018), ikut mengamininya. Berbeda dari dunia Kristen, Nancy mengakui penelitian sejarah mutakhir di dunia Islam tak mengenal anti-semitisme hingga akhir abad ke-19 dan 20. Sejumlah kaum progresif di akhir masa Imperium Usmani mengimpor ide itu dari Barat. Di mana-mana, termasuk di Nusantara, sama situasinya.
Pengaruh ini sudah berurat berakar ke mana-mana. Hingga apapun konflik yang terjadi di dunia ini, selalu dikaitkan dengan peranan Yahudi. Laknat mudah ditemukan di mana-mana. Di kawasan yang dinamis Prenzlauer Berg, Berlin, beberapa masa yang lalu, seorang imigran Arab bereaksi keras pada seorang warga Israel keturunan Arab yang bereksperimen dengan memakai kippah menyerupai seorang Yahudi. Ini menyulut reaksi yang ramai di publik Jerman.
Kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Yerusalem bulan Juni ini pun ditanggapi dengan beragam umpatan, hinaan, dan pelaknatan; tak hanya atas Yahudi, tetapi juga diri petinggi Nahdlatul Ulama ini. Coba periksa pula ke toko buku di sekitar anda, masih banyakkah buku-buku yang menyanjung Hitler dan menghinadinakan Yahudi?
Jika masalahnya ada pada kitab suci Alquran, mengapa selama lebih dari satu milenium kaum Yahudi tenteram di bawah politik Islam? Mengapa lahir para pujangga, pemikir, dan tokoh sosial-politik Yahudi terkemuka selama Islam klasik berjaya? Mengapa Konstantinopel di bawah Imperium Usmani menerima imigran Yahudi dari Andalusia? Dan mengapa umat Yahudi dulu lebih merasa nyaman dan aman di bawah kekuasaan Islam ketimbang Kristen?
Pertanyaan “mengapa” lainnya dan “ribuan lembar jawaban” bisa mengagetkan sebagian Anda yang terbiasa melaknat umat Yahudi ini. Terlebih, di saat geliat Islam politik saat ini yang semakin menggelembung, sentimen itu akan terus menguat. Walaupun ada yang berusaha ilmiah, biasanya selalu kembali pada jargon yang mengunggulkan Islam dan umat Muslim: bahwa mereka lebih mulia daripada agama dan umat yang lain. Keakuan superlatif ini menyiratkan kesombongan dan berbanding terbalik dengan semangat keislaman untuk terus-menerus menyebarkan ajarannya sebagai rahmat.
Meninggalkan "Quietisme" demi Kemanusiaan
Imperatif yang dilontarkan Maimonides itu hakikatnya sama dengan pesan-pesan kemanusiaan dalam Kitab Suci. Pepatah Arab pun sudah sering kita dengar, misalnya yang terkenal unzur ma qala wa la tanzur man qala. Lihatlah perkataannya, bukan siapa yang mengatakannya. Lihatlah inti persoalan, bukan siapa yang mengucapkannya.
Konsekuensinya, siapapun yang terzalimi akan dibela, di tanah air maupun di Palestina, atau negeri lainnya. Ukurannya hanya satu, yakni “manusia” dan “alam lingkungannya”. Bukan selalu membela Palestina, tetapi luput pada soal minoritas dan soal lainnya di tanah air.
Para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) sudah mencontohkan imperatif universal itu dengan baik. Tetapi perlu ada pemosisian yang lebih jelas dari mode Islam moderat atau Islam wasatiyyah itu. Dalam artikel “Mencetak ‘Kiai Global’” (Kompas, 17 Mei 2016) saya menegaskan NU sebaiknya berfokus untuk memperdalam lagi prinsip tasamuh, tawasut, dan iktidal. Organisasi Islam terbesar ini juga mesti mendudukkan keadilan di atas berbagai tindakan kezaliman dalam ruang lokal dan global yang mampu menjadikan “Islam moderat” menjadi timbangan yang penuh arti.
Kritik dari generasi terkini sarjana Barat yang memahami tradisi Islam dengan gamblang menuding para ulama neo-tradisionalis, terutama dalam jaringan Universitas al-Azhar, Kairo, tidak peka pada persoalan keadilan ini. Hal ini mungkin akan mengagetkan para penggiat Islam moderat yang kerap selalu memosisikan diri sebagai titik penengah antara berbagai ideologi ekstrem. Tetapi sebetulnya, jika mau dimengerti, kritik tersebut adalah masukan terbaik yang sesuai dengan semangat zaman.
Kritik mereka kurang lebih begini: para tokoh jaringan al-Azhar kerap terkungkung dalam “quietisme”—sikap tenang, toleran, di tengah-tengah—di hadapan rezim diktator karena mendahulukan ketertiban dan keamanan ketimbang kekerasan. Kecenderungan ini termasuk perkembangan Musim Semi Arab sejak 2011 hingga kini, terutama di Mesir dan Suriah. Kendati demikian, kritik tersebut tidak sedang memosisikan gerakan puritan macam Ikhwanul Muslimin sebagai solusi terbaik.
Mohammad Fadel, seorang profesor hukum Islam di Kanada, misalnya, menggali posisi tengah dari Sunisme itu berdasarkan pada kesetiaan yang tegas pada prinsip-prinsip moral tertentu. Prinsip ini termasuk menolak pemberontakan bersenjata diiringi dengan menangkal untuk mengakui tindakan-tindakan ilegal dari penguasa sebagai perilaku absah. Selain itu, kesediaan untuk mengawasi cacat moral para memimpin masyarakat sekaligus tetap bersikukuh menjunjung tinggi hukum.
Pada urutannya, teologi politik Sunnisme itu terpusat pada kedaulatan hukum dan menghargai otoritas dalam suatu wilayah. Fadel mengakui relasi kuasa Sunisme klasik ini sudah tak berlaku lagi, dan bahkan tak akan kembali. Karena itu, ia menyerukan teologi politik baru yang bisa menyerap saripati prinsip-prinsip Sunni klasik dalam ruang demokratis saat ini.
Telaah atas problematika ini pada hakikatnya ingin menolak argumen siapa pun yang berkuasa, wajib didukung Sunni aswaja. Jika ini yang diberlakukan, maka konsekuensinya bisa sangat getir: kelompok Daesh atau ISIS yang berkuasa, misalnya, wajib dijunjung tinggi.
Untungnya, dalam konteks Indonesia, posisi NU kerap dipinggirkan. Zaman Soeharto, Gus Dur menaikkan pamor NU bukan dengan melegitimasinya, melainkan dengan mendorong gerakan alternatif demokratis dari bawah. Jika dulu ada selentingan “NU sering dipinggirkan”, kenyataannya memang demikian. Dalam ruang keindonesiaan, NU sudah tepat memberikan teologi politik untuk rezim demokratis, kendati kepresidenan Gus Dur menjadi korban pertama dari sengkarut politik tingkat elite.
Hanya saja, di masa ketika sorotan atas kekejaman dan kelaliman berbondong-bondong menyerbu kehidupan kita, di era digital yang juga melipatgandakan kebencian menjadi kekejaman bentuk lain, teologi politik keislaman moderat itu perlu diperluas dalam pergaulan antarbangsa atau apa yang diistilahkan Sukarno sebagai internasionalisme. Menghadiri forum dialog antaragama di berbagai negara Barat amatlah mulia. Tetapi sifatnya yang repetitif perlu dipertimbangkan ulang.
Memang ini bisa menjadi bagian dari diplomasi tingkat tinggi hingga didengarkan mereka yang mendukung esksistensi Israel supaya bisa menghentikan berbagai bentuk penindasan. Ketika Donald Trump dan Benjamin Netanyahu berkuasa di atas wacana peminggiran atas Islam, maka di sinilah prinsip quietisme itu perlu dihilangkan segera: menolak hadir dalam forum ketika Razan al-Najar serta ratusan orang-orang Palestina lainnya meregang nyawa.
Pada saat bersamaan, teologi politik Sunnisme di Indonesia justru bisa menjadi penawar dengan resep “Islam kosmopolitanisme” alias “Islam Nusantara” yang dicita-citakan Gus Dur, yakni dengan pencerdasan publik bahwa berteman dan berkongsi dengan umat Yahudi itu tidak bermasalah dunia-akhirat. Di sinilah hikmat itu berada.
Siapa tahu setelah Ngaji Ihya, Ulil Abshar Abdalla juga bisa menyelenggarakan Ngaji Dalalat al-Haʿirin karya Maimonides yang menyajikan prinsip penafsiran alegoris atas kitab suci. Dan kalangan NU serta Muslim berkemajuan lainnya berdikari dalam ikut serta menyelesaikan konflik kemanusiaan secara umum, termasuk hak-hak kemerdekaan Palestina. Cita-cita, bagaimanapun, harus digantung setinggi langit.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.