tirto.id - Razan al-Najar adalah satu dari sekian perawat yang pertama kali merespon peringatan Hari Nakba setiap tanggal 15 Mei oleh rakyat Palestina di Jalur Gaza. Ia konsisten menolong korban luka, termasuk saat tentara Israel mulai menembaki massa aksi yang berada di dekat perbatasan dua negara. Belakangan, situasi di Jalur Gaza berubah jadi krisis kemanusiaan.
Khuzaa adalah desa kecil di wilayah Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, tempat Razan lahir dan tinggal. Ia pernah mendapatkan pelatihan formal di rumah sakit Nasser. Selain berprofesi sebagai petugas medis, ia juga aktif di organisasi kesehatan non-pemerintah Palestinian Medical Relief Society (PMRS).
Razan selalu mengenakan jaket putih dan rompi khas yang mudah diidentifikasi oleh siapa saja, termasuk tentara Israel, bahwa ia seorang petugas medis.
Pokok keempat Konvensi Jenewa jelas menyatakan bahwa menembaki petugas medis termasuk kejahatan perang. Dilarang keras pula menyerang rumah sakit, klinik, atau ambulans. Aturan yang sama ditegaskan kembali pada 2016 lewat Resolusi Dewan Keamanan PBB 2286 yang disponsori lebih dari 80 negara, termasuk Israel.
Gulf News melaporkan pada Jumat, 1 Juni 2018, Razan melihat seorang warga Palestina yang kesakitan usai dihantam tabung gas air mata. Ia mengangkat tangan tinggi-tinggi sebagai tanda tak menyandang senjata, kemudian berlari ke arah korban.
Razan membalut luka korban di lokasi yang berjarak hanya kurang 90 meter dari perbatasan kedua negara. Tak lama berselang, ambulans datang untuk membawa korban ke klinik terdekat. Petugas medis lain beralih fokus untuk merawat Razan yang tersiksa akibat kena efek gas air mata.
Suara tembakan tiba-tiba terdengar beberapa kali. Razan ambruk. Timah panas yang dimuntahkan penembak jitu dari satuan militer Israel mengoyak dadanya, hingga tembus ke punggung.
Nyawanya tak dapat diselamatkan meski sudah mendapat perawatan maksimal dari petugas rumah sakit European Gaza Hospital. Ia meninggal di ruang operasi, di usia yang masih belia—21 tahun.
Keesokan harinya, dengan tubuh terbungkus bendera Palestina, pemakaman Razan dihadiri oleh ribuan warga Jalur Gaza. Ratusan di antaranya adalah rekan petugas medis. Salah dua di antaranya adalah ayah Razan yang membawa jaket medis bernoda darah, dan kekasihnya Izzar Shabat yang sebenarnya akan melamar Razan di penghujung bulan Ramadan.
Kasus Razan mendapat reaksi marah dan sedih yang mendalam dari komunitas internasional, sekaligus menunjukkan resiko besar yang dihadapi para pekerja kemanusiaan di Palestina.
Data yang dikompilasi oleh Medical Aid for Palestinians (MAP) pada Oktober 2017 menunjukkan sejak 2008 ada 145 petugas medis di Jalur Gaza yang terluka atau terbunuh oleh serangan militer Israel. Kebanyakan di antaranya berstatus sebagai supir mobil ambulans.
MAP juga mencatat sejak 2008 serangan militer Israel telah merusak 147 rumah sakit dan klinik serta 80 mobil ambulans. Serangan terbesar yang melahirkan malapetaka tersebut terjadi pada serangan selama 51 hari yang terjadi antara bulan Juli hingga Agustus 2015.
“Sejauh ini belum ada investigasi yang kredibel dan independen terhadap insiden-insiden tersebut, atau penuntutan atas dasar pelanggaran hukum internasional. Impunitas untuk serangan terhadap fasilitas medis dan personelnya membuat serangan berulang lebih mungkin terjadi,” tulis MAP.
Petugas dan fasilitas medis di Tepi Barat juga tak luput dari agresivitas tentara Israel. Selama puncak eskalasi kekerasan antara bulan Oktober dan Desember 2015, muncul delapan kasus penyerbuan bersenjata ke rumah sakit. The Palestine Red Crescent Society juga mencatat 92 perusakan ambulans dan 147 petugas medis yang terluka saat menjalankan tugasnya.
Buntut dari ini semua adalah pelanggaran atas hak untuk sehat bagi warga Palestina. Studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 yang diunggah di The Lancet menunjukkan akar persoalannya adalah blokade Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Rumah sakit di Tepi Barat dan di Gaza kadang tidak dilengkapi dengan perlengkapan medis yang memadai untuk menangani masalah pelik si pasien atau demi prosedur medis yang rumit. Dalam banyak kasus, dokter harus merujuk pasien ke pusat perawatan yang lebih canggih di Israel. Proses itu pun kerap mengalami penundaan akibat proses birokrasi bertele-tele di bawah pemerintah Israel.
Ambulans yang membawa pasien kritis dari wilayah Palestina ke rumah sakit di Jerusalem timur sering mengalami penundaan atau bahkan penolakan saat melalui pos pemeriksaan keamanan yang dijaga ketat oleh tentara Israel, imbuh laporan lain yang disusun WHO.
Di Tepi Barat mobilitas warganya juga terbatas karena penduduk harus melewati pos-pos pemeriksaan Israel, meski hanya untuk perjalanan lokal alias masih di dalam teritori Tepi Barat. Proses ini dialami oleh mereka yang berniat menuju klinik atau rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis, baik di Tepi Barat maupun kota-kota terdekat.
“Mobilitas terbatas memiliki konsekuensi yang lebih serius dalam situasi darurat di mana ambulans bepergian di antara kota-kota Tepi Barat harus mengalami penundaan,” catat WHO.
WHO mencatat situasi di Gaza lebih memprihatinkan lagi sebab kelompok pengontrol wilayah tersebut, Hamas, selalu punya hubungan yang tegang dengan Israel. Hamas menuduh blokade Israel membuat arus barang ke Jalur Gaza terhambat. Termasuk di dalamnya impor peralatan medis dan obat-obatan.
Dalam beberapa tahun terakhir pertempuran periodik antara militan Hamas dan militer Israel telah mengakibatkan banyak kerusakan pada infrastruktur medis (rumah sakit, klinik, ambulans) di Jalur Gaza. Efek kerusakan ini tidak dapat dengan mudah diperbaiki karena keterbatasan jumlah bahan konstruksi yang dapat diimpor ke wilayah tersebut.
Emma Keelan adalah seorang dokter yang bekerja di satu LSM dengan Razan, Palestinian Medical Relief Sociaety. Pada Januari 2016, ia membagikan pengalamannya bekerja di Palestina, terutama Tepi Barat, di Jurnal Ulster Medical Society via NCBI.
Ia menyoroti betapa kurangnya staf, fasilitas medis, serta obat-obatan hingga terbatasnya pergerakan pasien maupun petugas akibat blokade Israel. Satu hal menarik yang ia perhatikan adalah fenomena tingginya tingkat stres warga di Tepi Barat. Pemicunya, lagi-lagi, adalah blokade plus konflik yang tak kunjung reda.
“Orang dewasa sering melaporkan keluhan seperti sakit kepala atau palpitasi. Anak-anak didera tingkat insomnia dan sering mengompol. Selain itu saya telah menyaksikan peningkatan laporan medis di mana seseorang menilai stres sebagai faktor munculnya sindrom iritasi usus besar, migrain dan gastritis,” kata Keelan.
Di akhir tulisan, Keelan mengungkap pengalaman berharga, baik secara kultural maupun emosional, selama bekerja di klinik keliling di Palestina. Proses yang dijalankan cenderung sulit, dan ia sendiri kerap frustasi karena merasa tidak dapat memberikan kontribusi yang diperlukan.
“Ketahanan dokter Palestina yang bekerja dalam situasi yang menantang seperti itu benar-benar menakjubkan. Jelas, bahwa pada akhirnya tantangan utama dari perbaikan dan keberlanjutan jangka panjang untuk sistem kesehatan Palestina bak konflik yang sedang berlangsung itu sendiri.”
Editor: Akhmad Muawal Hasan