Menuju konten utama

Jerat Kriminalisasi di Kebun Sawit Kapa

Diajak melihat bukti kepemilikan tanah HGU, pemimpin masyarakat adat Kapa justru berakhir di penjara.

Jerat Kriminalisasi di Kebun Sawit Kapa
Lahan ulayat masyarakat Kapa yang akan ditanami ulang oleh perusahaan. Foto/Putra Nandito

tirto.id - "Saya merasa dijebak," kata Syafiruddin mengingat hari saat dia bersama tiga rekannya dibawa ke Polres Pasaman Barat pada awal Agustus 2021.

Syafiruddin, biasa dipanggil Pudin, adalah salah satu pentolan masyarakat adat Nagari Kapa, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Dia memimpin aksi reclaiming lahan perkebunan sawit yang dikelola PT. Permata Hijau Pasaman I (PHP I), seluas 650 hektar.

Hari itu, Kamis 5 Agustus 2021, setelah satu tahun melakukan aksi reclaiming lahan, utusan perusahaan mendatangi warga yang mengawasi tanaman jagung mereka di lahan itu. Perusahaan mempertanyakan kehendak warga.

“Kami meragukan HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan ini. Kalau ada tolong tunjukkan,” kata Pudin. Pihak perusahaan menyanggupi permintaan masyarakat.

Namun hanya beberapa perwakilan masyarakat yang diizinkan melihat dokumen HGU itu. Setelah berembuk, warga sepakat mendelegasikan Syafiruddin, Alamsyah, Irwanto, dan Syafril.

Mereka berempat melangkah mantap, naik ke atas mobil bak terbuka milik perusahaan. Pudin mengira akan dibawa ke kantor perusahaan, 300 meter dari lokasi penjemputan.

Ternyata yang diharapkan Pudin tak demikian. Diam-diam, utusan perusahaan hari itu membawa mereka ke kantor Polres Pasaman Barat (Pasbar), 40 menit perjalanan dari lokasi penjemputan.

Tiba di kantor polisi, mereka diarahkan menuju salah satu ruangan. Di sana polisi dan staf perusahaan lain sudah menunggu. "Mana HGU itu, Pak? Tidak akan susah-susah menghalau kami. Kalau ada, kami siap keluar dari lahan," kata Pudin.

Pudin mengatakan saat itu polisi juga mempertanyakan apa yang dilakukan warga di lahan perkebunan. Mereka menjawab sebisanya. Beberapa jam di sana, Pudin dkk mendapat sejumlah pertanyaan. Salah satunya soal alasan warga menduduki lahan.

"Pembahasan sudah sampai ke mana-mana. Kami digiring seolah-olah melakukan tindakan kriminal," kata Pudin, Senin (2/10).

Pudin tetap pada permintaan awal soal keberadaan dokumen HGU di atas tanah ulayat mereka yang dikelola perusahaan. Polisi lalu mengeluarkan sejumlah kertas yang diklaim sebagai dokumen HGU.

"Kertas itu dilihatkan sekilas, saya tak tahu apa isinya," katanya.

Kemudian mereka berempat ditinggalkan begitu saja. Hari itu mereka tak didampingi kuasa hukum. “Kami hanya ingin melihat HGU, tapi malah dibawa ke kantor polisi,” kata Pudin.

Satu jam kemudian, polisi kembali menghampiri mereka. Mereka diarahkan naik ke mobil. Malam itu juga, polisi membawa mereka ke markas Kepolisian Daerah Sumatera Barat di Kota Padang, 137 kilometer dari rumah Pudin di Pasaman Barat.

“Saya kira akan diantarkan pulang,” katanya. "Ternyata kami diangkut ke Mapolda di Padang." Mereka dipenjara.

Besoknya warga Kapa baru menerima surat penangkapan empat rekannya. Seminggu kemudian, mereka ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan melakukan tindak pidana menduduki perkebunan secara ilegal.

Sejak hari itu, Pudin mendekam di tahanan Polda Sumbar selama 2 bulan. Mereka kemudian dipindahkan ke tahanan Polres Pasaman Barat dan juga ditahan selama 2 bulan.

Jaksa menuntut mereka masing-masing 7 bulan penjara. Jaksa mendakwa mereka atas pelanggaran Pasal 55 juncto Pasal 107 UU Perkebunan karena menduduki lahan secara tidak sah.

Majelis hakim kemudian menghukum Pudin dkk. 6 bulan penjara, dikurangi dengan masa tahanan. Karena tidak didampingi pengacara, Pudin mengatakan, kasus yang dialaminya telah direncanakan.

Syafiruddin

Syafiruddin, salah satu ninik mamak masyarakat adat Kapa yang dikriminalisasi. Foto/Putra Nandito

Ketika di Polda Sumbar, Pudin mengatakan mereka dituduh melakukan pengancaman dan menggunakan senjata tajam. “Kami masyarakat Kapa sepakat ketika melakukan aksi reclaiming lahan tidak ada yang membawa senjata,” kata Pudin.

"Mengapa kami dituduh melakukan pengancaman. Sementara vonis yang dijatuhkan karena pendudukan lahan?"

Saat dikonfirmasi tentang proses hukum Pudin cs, Kapolres Pasaman Barat, AKBP Aries Purwanto menolak memberi keterangan dan mengarahkan untuk bertanya ke Kasatreskrim Polres.

Kasat Reskrim Polres Pasbar saat itu dijabat AKP Fetrizal. Namun dia tidak merespons permintaan wawancara dan hanya membalas, “saya sekarang sudah pindah ke Bukittinggi.”

Serupa dengan polisi, pihak Kejaksaan Negeri Pasaman Barat juga tak merespons permintaan wawancara.

Apa yang dialami Pudin, Alamsyah, Syafril, dan Irwanto, kini dijadikan pelajaran oleh ratusan warga Nagari Kapa. Mereka semakin menaruh kecurigaan bahwa perusahaan tidak punya HGU di atas tanah ulayat mereka.

Sampai hari ini, dokumen HGU yang dipertanyakan warga Nagari Kapa tak kunjung pernah mereka ketahui. “Sejak kejadian itu kami tidak percaya lagi kalau diajak melihat dokumen HGU itu. Nanti dipenjara lagi,” kata Pudin.

Sampai saat ini, Divisi Manager PT. PHP I Marihot Sitompul, saat dihubungi melalui pesan singkat, juga belum menanggapi permintaan wawancara.

Kemelut di Lahan Sawit

Mengutip Tempo (18/3/2018), Pemuka adat Nagari Kapa Alman Gampo Alam mengatakan PHP I, anak perusahaan Wilmar, mencaplok tanah ulayat mereka saat membuka kebun sawit di Nagari Sasak pada 1992 yang bersisian dengan Nagari Kapa.

Perusahaan baru mengajukan izin pada 1996 di atas lahan yang dicaplok. Pada 1997, kepala adat menyerahkan pengolahan lahan seluas 1.600 hektar yang merupakan tanah ulayat masyarakat adat Kapa.

Penyerahan lahan oleh kepala adat pada 1997 itulah yang oleh Pudin dan masyarakat Nagari Kapa hari ini dinilai tidak sah. “Itu hanya melibatkan sebagian ninik mamak saja, sementara kami tidak diberi tahu,” katanya, Senin (2/10).

Pudin mengatakan setengah dari lahan yang diserahkan itu rencananya akan dijadikan kebun plasma. Namun perusahaan menyepakati plasma hanya 30 persen dari lahan yang dikelola atau seluas 480 hektar.

Pada 2000, konflik meletus saat PHP I tidak menyepakati perjanjian awal bahwa kebun plasma diserahkan 4 tahun setelah sawit ditanam. Ketika itu banyak anggota masyarakat yang dikriminalisasi. Perusahaan baru melakukan pengukuran sepihak untuk pembuatan HGU pada Maret 2014.

Alman Gampo Alam mengatakan, kesepakatan pada 1997 itu hanya penyerahan lahan untuk masa 30 tahun, tidak sampai ke HGU. Meski ditolak, HGU tetap terbit pada 2014.

“Anehnya, HGU tersebut tak mencantumkan keterangan batas wilayah,” katanya.

Sejumlah penelitian juga menguatkan adanya dugaan pelanggaran atas tanah ulayat di Nagari Kapa oleh perusahaan.

Geogrus Sahdan dalam Petani Buntung di Negeri Sawit menulis, temuan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) menguatkan bahwa perusahaan mengambil alih sebagian lahan di Nagari Kapa. Perusahaan juga membuka perkebunan sawit tanpa izin warga.

Dalam surat resmi (RSPO) tertanggal 1 Februari 2017, kepada General Manager Group Sustainability Wilmar International Ltd, Simon Siburat, menyatakan penyerahan lahan dari masyarakat seluas 1.600 hektar pada 1997 tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pembuat akta tanah.

RSPO merupakan organisasi yang berdiri sejak 2004, yang terdiri atas pemangku kepentingan industri sawit–perusahaan sawit, perbankan, investor hingga organisasi masyarakat–untuk menjadikan industri itu sebagai bisnis yang berkelanjutan.

Berdasarkan temuan itu, RSPO memutuskan, tanah sengketa harus diukur melalui pemetaan partisipatif, melibatkan masyarakat Nagari Kapa dan pemukiman sekitar, pelapor dan otoritas lokal.

Mengutip CNN Indonesia, Iris Chan, Corporate Communications Wilmar International, ketika itu mengatakan pihaknya menghormati keputusan RSPO dan mematuhinya. Dia mengatakan Wilmar selalu mengikuti proses RSPO serta bersikap kooperatif dalam investigasi terkait dengan PHP I.

“Ini termasuk pertemuan, konsultasi dan keterlibatan dengan pihak pengadu dan Forest Peoples Program sejak kasus itu muncul pada 2014,” kata Chan.

Ia mengatakan Wilmar juga berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan RSPO maupun pihak-pihak terkait guna menyelesaikan permasalah tersebut secara transparan.

Namun seperti diberitakan Tempo, Kepala Perwakilan Wilmar Indonesia Hendri Saksti mengklaim prosedur perolehan tanah di Nagari Kapa sudah jelas. “Lahan diserahkan ke pemerintah daerah, kemudian diserahkan ke kami untuk dibangun kebun plasma.”

Lima tahun setelah komitmen tersebut, gejolak konflik antara warga Nagari Kapa dan PT PHP I masih berlanjut.

Saat dimintai keterangan tentang konflik lahan di Kapa, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbar, Saiful, tidak menanggapi permintaan wawancara.

Head of Investor Relations & Corp Communications at Wilmar International, Li Chuen Lim juga tidak merespon surel yang dikirimkan pada Jumat (8/10).

Kriminalisasi Subur di Lahan Sawit

Riset tim peneliti yang tergabung dalam Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI), menemukan berbagai persoalan dalam penyelesaian konflik yang timbul karena ekspansi perkebunan sawit.

Laporan yang diinisiasi peneliti dari Universitas Andalas dan KITLV Leiden itu menyebutkan konflik sawit umumnya disebabkan karena rasa ketidakadilan yang ditimbulkan dari cara perusahaan memperoleh lahan.

Tidak sesuainya hasil dari penggunaan lahan bagi warga yang lahannya dikelola perusahaan turut menyulut konflik. Lemahnya penegakan hukum yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat juga memperlarut konflik.

"Akibatnya, masyarakat pedesaan yang berhadapan dengan perusahaan-perusahaan kelapa sawit, yang datang relatif baru, tidak memiliki hak, dalam artian perlindungan hak-hak warga negara sebagian besar tidak efektif," tulis laporan tersebut.

Masyarakat menyuarakan keluhan mereka dengan cara damai, seperti demonstrasi dan audiensi dengan pemerintah setempat. Alih-alih mengakomodasi keluhan-keluhan itu, pemimpin protes malah dikriminalisasi oleh polisi dan manajemen perusahaan.

Dari 150 kasus konflik yang diteliti–tersebar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Barat–kriminalisasi terhadap warga terjadi di 62 kasus. Dari situ, setidaknya ada 789 penangkapan, 243 warga terluka dan 19 orang tewas.

Penyelesaian konflik lewat jalur pengadilan dan RSPO jarang digunakan (dari 150, hanya 37 kasus yang dibawa ke pengadilan dan 17 kasus ke RSPO).

Alasannya karena proses hukum yang rumit, biaya yang mahal, rendahnya kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan kompleksitas prosedur, membikin masyarakat enggan menempuh mekanisme di RSPO.

Masih menurut laporan POCAJI, dari 37 kasus yang dibawa ke pengadilan, 9 kasus dimenangkan warga. Itupun hanya 4 kasus saja yang putusannya dilaksanakan. Sementara dari 17 kasus yang dibawa warga ke RSPO, hanya 3 kasus yang diselesaikan.

Artinya, sejauh ini persentase keberhasilan masyarakat di ranah hukum sangat kecil. Secara keseluruhan, 68% atau 102 kasus (dari 150 konflik), tidak berujung penyelesaian atas keluhan masyarakat. Hanya 32% yang mendapat penyelesaian.

Penyelesaian konflik sawit lewat jalur mediasi memiliki proporsi cukup banyak, yakni 73% dari 150 kasus. Namun hasilnya kerap tidak menemui titik terang. Kesepakatan tercapai lewat mediasi hanya terjadi pada 22 kasus.

Lemahnya penyelesaian konflik dinilai karena mediator tidak netral dan independen saat memfasilitasi mediasi.

Afrizal, peneliti dari Universitas Andalas yang tergabung dalam riset ini mengatakan kondisi di atas kian diperkeruh ketika pejabat lokal memiliki relasi politik-ekonomi dengan perusahaan sawit.

Konflik akibat ekspansi lahan sawit, ujar Afrizal, semakin diperburuk ketika warga yang menuntut haknya dikriminalisasi. Relasi politik-ekonomi pejabat lokal kian memperkelam jalan penyelesaian konflik.

Pengadilan Abaikan Bukti Kepemilikan Adat

Ketidakefektifan penyelesaian konflik lewat pengadilan sebagian besar disebabkan bukti-bukti administrasi kepemilikan lahan yang dimiliki masyarakat adat lemah dan tidak diakui di pengadilan.

Inilah yang secara sistematis melemahkan posisi tawar masyarakat. Rentannya masyarakat adat mengalami diskriminasi juga berhubungan dengan lemahnya pengakuan kepemilikan adat ini.

Wendra Yunaldi, Pengajar Hukum Adat Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) menilai kondisi itu terjadi karena pengadilan tak mengakui bukti kepemilikan secara adat. Hakim selalu melihat bukti penguasaan tanah berdasarkan dokumen resmi.

“Saya melihat di beberapa putusan menyangkut tanah ulayat, terkadang hakim tidak memahami konteks sejarah dan sosiologi masyarakat adat,” kata Wendra (13/10).

Menurut dia, pengakuan atas hak masyarakat adat yang termaktub dalam Pasal 18 UUD 1954 selama ini tidak pernah dijalankan secara serius. “Harusnya titik tolak dari putusan-putusan pengadilan harus melihat sejarah dan sosiologis serta keberadaan tanah ulayat di masyarakat hukum adat, itu yang paling penting,” ujarnya.

Selain bersitegang dengan korporasi, Wendra melihat di beberapa konflik, masyarakat adat juga berhadapan dengan negara. Sebab tanah ulayat masyarakat adat sering tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung.

“Masalah ini masih belum menemui penyelesaian yang jelas. Sehingga ketika berhadapan dengan konsesi atau HGU, tanah ulayat ini tidak mendapat legitimasi dari negara,” ucapnya.

Kondisi seperti inilah yang membuat Pudin dkk bisa dihukum karena tuduhan menduduki lahan secara ilegal.

Wendra menambahkan cara perolehan konsesi di atas tanah ulayat hanya mengedepankan hukum negara. Ini adalah masalah yang sudah terjadi sejak era Orde Baru.

“Secara hukum adat, khusus di Sumatera Barat, peralihan tanah ulayat itu harus disetujui oleh seluruh anggota kaum. Ini yang tidak dilakukan dan problem ini hampir terjadi di banyak konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat,” katanya.

Kini, setelah 22 tahun bersitegang dengan perusahaan, masyarakat adat Kapa menolak kalah.

Walau negara tak hadir, atau pura-pura tidak melihat masalah di Kapa–demikian pengakuan masyarakat yang entah berapa kali bertemu pejabat lokal dan anggota dewan tapi tak kunjung ada solusi, perjuangan harus dilanjutkan.

Masyarakat adat Kapa masih menduduki tanah ulayat mereka yang rencananya akan ditanami sawit lagi oleh perusahaan. Tepat di tengah tanah ulayat tersebut, secara gotong royong masyarakat membangun balai adat sebagai simbol kepemilikan cum perjuangan.

Seperti dikatakan Pudin, ini adalah bentuk perjuangan mereka atas tanah ulayat. "Dan perjuangan ini akan diteruskan oleh anak-anak muda kami.”

Baca juga artikel terkait KRIMINALISASI atau tulisan lainnya dari Nandito Putra

tirto.id - Indepth
Reporter: Nandito Putra
Penulis: Nandito Putra
Editor: Adi Renaldi