Menuju konten utama

Jatam: Pasal yang Sering Jadi Alat Kriminalisasi Penolak Tambang

Jatam menyebut setidaknya terdapat 10 pasal yang bermasalah dan kerap digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang melakukan penolakan tambang.

Jatam: Pasal yang Sering Jadi Alat Kriminalisasi Penolak Tambang
Peserta aksi protes JBIC (Japan Bank for International Coopertaion) dari JATAM menunjukan spanduk protes di Kedubes Jepang, Jakarta, Jumat (8/9). Protes ditujukan pada JBIC karena telah mensponsori perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Utara. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Manajer Kampanye Jatam Melky Nahar menilai setidaknya terdapat sejumlah pasal yang bermasalah dan kerap kali digunakan untuk melangsungkan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penolakan atas tambang.

"Jokowi sudah menunjukkan kepada publik bahwa dia berkuasa bukan untuk melayani rakyat, tapi melayani industri lewat investasi," ujar Melky dalam konferensi pers dan peluncuran catatan tahunan Jatam, di kawasan Jakarta Selatan, Senin (6/1/2020).

Ungkapan tersebut disampaikan Melky akibat sikap Jokowi yang terus mendorong permudahan bagi investor, sementara di sisi lain, warga atau aktivis yang menolak industri tambang justru dikriminalisasi.

Pasal yang kerap kali digunakan untuk kriminalisasi adalah Pasal 162 dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.

Pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP dan IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat (...) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta".

Dalam catatan Jatam, terdapat setidaknya 2 kasus di mana warga mendapatkan kriminalisasi dengan pasal tersebut, yakni seorang warga Berau, Kalimantan Timur, serta tiga warga pulau kecil Wawonii, Sulawesi Utara.

Selanjutnya, Pasal 170 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa secara terang-terangan dan secara bersama menggunakan kekerasan terhadap atau barang, diancam pidana penjara lima tahun enam bulan.”

Setidaknya, kata Melky, telah terdapat tiga kasus kriminalisasi dengan pasal tersebut.

Ketiga, kata Melky, adalah Pasal 263 ayat (1) KUHP. Pasal tersebut, berdasarkan catatan Jatam, telah mengkriminalisasi setidaknya Joko Prianto dan lima aktivis yang menolak tambang.

Keempat, Pasal 333 ayat (1) KUHP yang berbunyi, ”Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.”

“21 warga Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, dilaporkan dengan pasal ini oleh PT Gema Kreasi Perdana akibat melakukan penghadangan alat berat yang akan masuk ke pulau dan lahan pertanian warga pada 2019,” jelas Melky.

Selain itu, kata dia, adalah Pasal 335 ayat (1). Pasal tersebut telah digunakan untuk mengkriminalisasi setidaknya dalam dua kasus.

Keenam adalah Pasal 107 a UU No. 27/1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara .

Ketujuh, Pasal 19 huruf (a) UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dua petani Surokonto Wetan, Nur Azis dan Sutrisno Rusmin, dipolisikan oleh Perhutani karena mempertahankan lahannya yang dijadikan objek tukar guling lahan antara Perhutani dan PT Semen Indonesia di Rembang.

Kedelapan, Pasal 24 huruf (a) UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Tiga warga desa Mekarsari, Kabupaten lndramayu, ditangkap polisi dengan pasal tersebut saat melakukan aksi penolakan PLTU Indramayu 2.

Kesembilan, Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Terakhir atau kesepuluh adalah Pasal 45 a ayat (2) UU ITE.

Baca juga artikel terkait TAMBANG atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz