tirto.id - Jatam Sebut Banyak Masalah Tambang Selama Pemerintahan Jokowi-JK
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyampaikan bahwa tidak ada perbaikan persoalan tambang, dan banyaknya pembiaran masalah, selama pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Ia pun mengkhawatirkan, Pemilihan Presiden 2019 juga tidak akan berpengaruh banyak karena kedua calon tidak terlihat ada intensi untuk perbaikan masalah tambang.
"Persoalan tambang yang kian pelik di Indonesia nyatanya tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Justru yang terjadi empat tahun terakhir ini, proses masuknya investasi pertambangan begitu mudah, tanpa hambatan. Kebijakan pertambangan, berikut produk hukum yang dihasilkan pun tidak dibuat untuk menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan, tetapi lebih mengakomodasi kepentingan korporasi dan pemerintah itu sendiri," tertulis dalam Catatan Akhir Tahun Jatam, Minggu (30/12/2018).
Jatam juga menilai, sejumlah perundang-undangan yang dibuat, tidak diikuti langkah implementatif yang tegas.
Salah satunya adalah dalam kasus pertambangan di dalam kawasan konservasi yang jumlahnya mencapai 369 izin tambang.
Selain itu, juga di kawasan hutan lindung yang jumlah izinnya mencapai 1.710 IUP.
Hal tersebut juga terjadi di sejumlah pulau kecil. Dalam data milik Jatam, setidaknya sudah 154 konsesi tambang mineral dan batubara yang tengah mengobrak-abrik 52 pulau kecil di Indonesia.
Mulai dari Pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Mabuli di Provinsi Maluku Utara, Pulau Romang, Pulau Wetar, Taliabu di Provinsi Maluku, Pulau Bangka di Sulawesi Utara, Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, dan puluhan pulau kecil lainnya di Indonesia.
Menjelang Pemilihan Umum 2019, pihak Jatam pun melihat belum ada intensi untuk perbaikan dari keua belah pihak dalam persoalan tambang. Ditambah, kedua belah kubu ini justru "akrab" dengan industri tambang.
Di kubu Jokowi-Ma’ruf, misalnya, terdapat Luhut Binsar Pandjaitan dengan perusahaan Toba Bara Sejahtera, yang terlibat bisnis pertambangan batubara, migas, pembangkit tenaga listrik, kehutanan dan kelapa sawit, property, dan perindustrian.
Lalu ada Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam yang menempat posisi wakil bendahara di TKN Jokowi-Ma’ruf.
Haji Isam memiliki bisnis batubara melalui Jhonlin Baratama Group di Kalimantan Selatan.
Di kubu Prabowo-Sandi, keduanya justru merupakan bagian dari bisnis batubara. Prabowo Subianto, melalui Nusantara Group, berinvestasi di sektor tambang batubara, kelapa sawit, kehutanan, kertas dan bubur kertas, dan perusahaan jasa.
Sedangkan, Sandiaga Uno memiliki sejumlah bisnis tambang, mulai dari Saratoga Group yang sahamnya baru saja dijual kepada Perusahaan Milik Luhut Panjaitan, Toba Bara.
Sandiaga juga tercatat sebagai pemilik saham di salah satu perusahaan terbesar Batubara, yakni Adaro Group.
"Pemilu 2019 cenderung diselimuti kepentingan para elit politik dan pebisnis, yang tentu saja berkepentingan untuk mengamankan, sekaligus memperbesar bisnis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Sementara rakyat, tetap akan berjuang sendirian, menyelamatkan ruang hidup dari cengkeraman investasi pertambangan, yang semuanya menggunakan jubah pembangunan, tapi bukan untuk kemashlatan warga negara," tertulis dalam Catatan Tahunan Jatam.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Yandri Daniel Damaledo