Menuju konten utama

Jangan Masuk Angin, DPR Berhak Selidiki Isu Parcok di Pilkada

Dugaan cawe-cawe polisi di Pilkada 2024 bisa menjadi pintu masuk bagi DPR menggunakan hak interpelasi.

Jangan Masuk Angin, DPR Berhak Selidiki Isu Parcok di Pilkada
Suasana Sidang Etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (3/12/2024). Tirto.id/Rahma Dwi Safitri

tirto.id - Pelaksanaan Pilkada 2024 menyisakan bara yang hangat. Polemik dugaan keterlibatan instansi kepolisian–atau disebut sebagai “partai cokelat” alias “parcok”–mengemuka menjadi diskursus publik. Polemik ini bergulir dari kasak-kusuk warung kopi hingga Senayan. Bahkan, ia sampai membuat seorang anggota dewan dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Adalah Yulius Setiarto, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, yang diadukan ke MKD usai mempertanyakan netralitas kepolisian atau parcok di Pilkada 2024 lewat media sosial. Yulius sendiri mengaku bukan bermaksud memojokkan institusi berseragam cokelat itu. Dia menyatakan tidak melakukan fitnah atau tuduhan tanpa dasar, seraya yakin pernyataannya bukan merupakan pelanggaran etik.

Yulius dilaporkan politikus Partai Gerindra, Ali Hakim Lubis. Anggota DPRD DKI Jakarta itu juga sudah diperiksa MKD pada Senin (2/12/2024). Wakil Ketua MKD DPR, T.B. Hasanuddin, memastikan bahwa saat melaporkan Yulius, Ali berkapasitas sebagai warga negara biasa dari Bekasi, bukan mewakili pemerintah maupun mewakili institusi Polri.

Namun, T.B. Hasanuddin, yang juga kader PDIP turut menilai bahwa partainya pasti punya bukti kuat mengapa melemparkan polemik parcok di Pilkada 2024.

Memang, bara diskursus parcok di khalayak mulai dikipasi PDIP lewat tudingan soal dugaan keterlibatan instansi kepolisian dalam Pilkada 2024. Hal ini menyusul kekalahan jagoan PDIP di Pilkada Jateng dan Sumut menurut hasil hitung cepat. Presiden ke-7 RI, Joko Widodo atau Jokowi, ikut dituding sebagai sosok di belakang orkestrasi parcok.

Jokowi memang memberi dukungan kepada mantan Kapolda Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, yang unggul suara dalam Pilkada Jateng seperti dilansir beberapa hasil hitung cepat. Kendati begitu, seturut pemberitaan CNN Indonesia, Jokowi menepis bahwa dirinya menggerakkan polisi untuk cawe-cawe dalam Pilkada 2024.

Dilihat dari sudut pandang fungsi dan hak DPR, sejumlah pengamat hukum dan kepemiluan menilai dugaan instrumentasi parcok di Pilkada 2024 seharusnya menjadi momen bagi DPR untuk menyelidiki polemik ini.

DPR Harus Jalankan Fungsi Pengawasan

Melaporkan anggota DPR yang mengangkat polemik ini justru berpotensi menjadi bentuk ancaman terhadap suara oposisi. Bagaimanapun polemik parcok sudah menjadi diskursus publik, yang perlu menjadi tanggung jawab seluruh pihak membuat isu ini terang-benderang.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyatakan bahwa dugaan cawe-cawe polisi di Pilkada 2024 bisa menjadi pintu masuk bagi DPR menggunakan hak interpelasi. Hak interpelasi adalah hak DPR meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini, menyoal dugaan keterlibatan instansi kepolisian dalam Pilkada 2024 yang seharusnya menjadi arena demokrasi yang bersih dari seragam aparat.

Kalau kemudian asumsi-asumsi tentang parcok ditopang oleh fakta dan bukti memadai, kan bisa ditarik menjadi bahan pengajuan hak interpelasi kepada pemerintah,” ucap Castro, sapaan akrab Herdiansyah, kepada reporter Tirto, Selasa (3/2/2024).

Hak interpelasi dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah yang tidak mampu menjaga pasukan Korps Bhayangkara ikut campur dalam pesta demokrasi lokal. Ini seharusnya mampu membuat DPR menjalankan fungsinya sebagai pengawas eksekutif secara adekuat.

Kan yang mau disasar adalah siapa orang yang menggerakkan ini, kalaupun ada buktinya. Itu bisa jadi bahan interpelasi bagi pemerintah,” jelas Castro.

DPR memang mempunyai tiga fungsi utama: yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, DPR diberikan tiga hak oleh UUD 1945. Wakil rakyat di Senayan memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang diatur dalam Pasal 20A Ayat 2 UUD 1945.

Tiga hak DPR tersebut juga termaktub di dalam Pasal 79 Ayat 1 UU MD3. Hak-hak DPR ini dapat digunakan untuk memperkuat fungsi parlemen.

Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, memandang bahwa pelaporan anggota dewan yang mengungkit polemik parcok di Pilkada 2024 sebagai bentuk penekanan kebebasan berpendapat dan beroposisi.

Arif menilai bahwa fraksi atau anggota DPR yang kerap mengambil sikap oposisi sering kali mendapat tekanan berupa pelaporan ke MKD. Dalam konteks kasus pelaporan Yulius ke MKD sebab menyinggung polemik parcok di Pilkada 2024, Arif menilai tidak ada pelanggaran tata tertib dan etika yang dilanggar politisi PDIP tersebut.

Yang disuarakan [Yulius] itu ya bukan merugikan secara material untuk masyarakat, tapi ini untuk paling tidak supaya sesuatu atau hal yang belum jernih dalam hal pilkada [diselidiki],” kata Arif kepada reporter Tirto, Selasa.

Arif menilai bahwaposisi Fraksi PDIP di DPR sebagai pemenang Pileg 2024 sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk menggulirkan hak angket atau hak interpelasi dalam mengusut isu Parcok.

Namun, dia mengakui memang ada proses politik di tubuh parlemen sendiri yang membuat penggunaan hak-hak ini tidak terwujud dengan mudah. Kendati begitu, DPR punya instrumen hak angket yang amat pantas didorong agar polemik dapat diselesaikan secara konstitusional.

Jika perlu, kata Arif, DPR bisa membentuk suatu panitia kerja (panja) untuk mengevaluasi kinerja Polri. Usulan ini akan turut relevan dengan rencana revisi UU Polri yang sempat bergulir. Arif menilai bahwa adanya anggota dewan yang bersuara atau mengangkat kejanggalan dalam Pilkada 2024 justru bagus bagi jalannya demokrasi dan kepemiluan.

Gairah mengkritisi kinerja pemerintah atau lembaga eksekutif harus dijaga di tubuh jajaran penghuni Senayan.

Kalau memang [merasa] ada yang ditutup-tutupi ya, pemerintah terkait dengan keterlibatan polisi di pilkada, justru ayo bersama-sama DPR ataupun fraksi yang merasa berseberangan secara politik itu lakukanlah rapat RDP [terkait parcok],” tegas Arif.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai bahwa pelaporan anggota DPR ke MKD karena menyuarakan suatu polemik terlalu dipaksakan. Nuansa dipaksakan itu, kata dia, terlihat ketika pernyataan yang dijadikan materi aduan ke MKD adalah sesuatu yang tidak terkait dengan DPR.

Partai coklat alias parcok yang disebut anggota DPR itu justru menunjuk institusi lain, yakni kepolisian, dan bukan menyinggung kelembagaan DPR.

Parcok itu tampak ingin menunjuk institusi kepolisian yang merupakan mitra Komisi III,” ucap Lucius kepada reporter Tirto, Selasa.

Tidak ada yang salah bila anggota DPR, khususnya anggota Komisi III, mengomentari kinerja lembaga mitra mereka, dalam hal ini yakni Polri. Lucius menilai memang seperti itulah DPRmestinya bekerja dan menjalankan fungsi pengawasan. Komisi sebagai mitra lembaga pemerintah memang biasa dan berhak menyampaikan kritik terhadap mitra kerja masing-masing.

Maka MKD diharapkan dapat bekerja secara independen dalam polemik ini. MKD jangan menjadi agen kepentingan politik partai, fraksi, maupun agen pemerintah atau polisi. Perangkat MKD dibentuk untuk menjaga maruah DPR, bukan maruah lembaga lain.

Jangan sampai MKD jadi alat politik, sesuatu yang justru akan membuat kehormatan lembaga parlemen jadi tercoreng,” ungkap Lucius.

DPR Berhak Mengusut Polemik Parcok

Namun, DPR pun tampaknya terbelah suaranya terkait polemik parcok di Pilkada 2024. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, yang menuding isu soal keterlibatan polisi dan polemik parcok sebagai sebuah hoaks. Politisi Partai Gerindra itu menilai bahwa tudingan adanya cawe-cawe instansi kepolisian di Pilkada 2024 tak masuk akal.

Sementara itu, pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ikut menepis dugaan adanya keterlibatan polisi di Pilkada 2024. Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menilai tidak menemukan adanya keterlibatan polisi secara terstruktur dan sistematis dalam Pilkada 2024. Bima meminta agar tudingan soal parcok dibuktikan jika memang benar ada.

Harus dibuktikan dengan data dan ditindaklanjuti dengan proses hukum,” ujar Bima Arya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Peneliti dari Perludem, Usep Hasan Sadikin, memandang sikap pemerintah itu terlalu defensif. Usep menilai dalam tataran evaluasi proses pemilu, sikap semacam itu sangat disayangkan. Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya menuntut pembuktian terkait adanya keterlibatan polisi di Pilkada 2024 kepada publik atau masyarakat sipil.

Sebaliknya, justru pemerintah perlu menggandeng instansi terkait, seperti kepolisian, pengawas pemilu, dan DPR, untuk sama-sama mencari titik terang polemik parcok tersebut. DPR punya fungsi untuk menyelidiki dugaan penyelewengan undang-undang serta anggaran negara. Terlebih, isu soal dugaan keterlibatan polisi di Pilkada 2024 tentunya melanggar UU Pilkada.

Jadi, bukan menagih ke pihak lain. Karena ini masih dalam ranah tahapan Pilkada 2024, ini dikaitkan dengan fungsi pengawasan DPR. Jadi, ini terkait,” ucap Usep kepada reporter Tirto, Selasa.

Usep menilai bahwa polemik ini memang harus ditarik ke DPR. Sebab, Bawaslu sebagai bagian dari pemerintah yang mengawasi pilkada sudah gagal menjalankan tugasnya secara optimal. Apalagi, Bawaslu dan Kepolisian RI sama-sama berada di dalam satuan Gakkumdu Pilkada 2024. Kondisi ini membuat pengawasan Bawaslu semakin tidak memiliki taji terhadap polisi.

DPR mempunyai hak dan mampu menyelidiki polemik adanya parcok di kontestasi Pilkada 2024. Apalagi, ada kebutuhan di kala pihak kelembagaan lain dalam Gakkumdu Pilkada tidak berfungsi dengan baik,” terang Usep.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi