Menuju konten utama

Jalan Sunyi Sang Jagoan Logan

Logan, sebagai penutup epos panjang Wolverine menjadi kisah yang amat penting bila harus dilewatkan.

Jalan Sunyi Sang Jagoan Logan
Hugh Jackman sebagai Wolverine disajikan secara heroik di film Logan.. FOTO/Twentieth Century Fox Films

tirto.id - Salah satu film superhero paling buruk yang dibuat oleh Marvel adalah kisah hidup Wolverine. Jalan cerita yang klise, penokohan yang lemah, sampai efek spesial yang buruk. Namun Logan, sebagai penutup epos panjang Wolverine menjadi kisah yang amat penting bila harus dilewatkan. Ia pamungkas, semacam ajian samber nyawa yang membuat seluruh kisah buruk yang ada menjadi termaafkan. Bila film-film Wolverine sebelumnya berantakan sebagai narasi cerita, menjadi demikian ajek dan solid dalam Logan.

Sebelum Logan, film-film yang menjadikan Wolverine sebagai tokoh utama nyaris jadi bahan cemooh, seperti X-Men Origins: Wolverine (2009) hanya mendapatkan rating dua bintang di Rotten Tomatoes dan Metacritic. The Wolverine (2013) sedikit lebih baik karena mendapatkan tiga bintang di Rotten Tomatoes dan Metacritic. Dalam X-Men Origins: Wolverine, kisah panjang Logan untuk menjadi mutan dan Weapon X dijelaskan terlalu pendek, sementara kemunculan Gambit nyaris jadi sekedar bumbu tak penting.

Hugh Jackman, pemeran Wolverine /Logan/James Howlett, sungguh memberikan yang terbaik dalam peran terakhirnya ini. Ia benar-benar menunjukkan karakter seorang mutan generasi awal yang kesepian saat orang-orang terdekatnya menjadi sakit dan meninggal. Ketakutan, kecemasan, kekecewaan, dan rasa bosan akan hidup yang terlalu lama membuat Logan menjadi pribadi yang egois dan selalu paranoid.

Seperti film-film superhero yang ada, Wolverine menghadirkan elemen manusia paripurna yang tak bisa kalah. Dengan kekuatan pemulihan diri yang luar biasa, nyaris dalam film X-Men atau film Wolverine sendiri ia menjadi tokoh utama.

Pada The Wolverine (2013), Logan menjadi tokoh baik hati yang berubah getir karena merasa hidup terlalu lama. Ia menyelamatkan serdadu Jepang saat perang dunia kedua, lantas ia bertemu lagi di masa depan untuk menyelesaikan utang. Di sini Logan nyaris ambivalen, ia tak ingin jadi pahlawan, tapi merasa harus terus menyelamatkan semua orang.

Logan menjadi penting karena premis awal film ini, tentang mutan paranoid egois yang ketakutan akan hari esok, nyaris terjaga dan konsisten hadir di sepanjang cerita. Logan benar-benar anti hero, egois, dan tak peduli apapun kecuali kepentingannya sendiri. Meski ia masih menyimpan beberapa hal baik seperti menjaga Dr. Charles Xavier (Patrick Stewart), yang mengalami gangguan otak dan sesekali sangat berbahaya karena kekuatan pikirannya mampu membunuh ratusan orang sekaligus. Logan juga masih menyimpan keinginan untuk membeli perahu dan pergi menyelamatkan diri bersama Charles Xavier.

Logan bukan film anak-anak, ini jelas, dan tolong jika Anda memang belum menonton film ini, jangan mengajak anak Anda yang berusia di bawah 17 tahun. Tentu bukan adegan seks yang membuat film ini menjadi konsumsi orang dewasa, melainkan adegan brutal, sadis, dan kejam. Seperti amputasi, pemenggalan anggota tubuh, darah, dan juga pembacokan yang digambarkan dengan vulgar. Tentu banyak film lain yang menampilkan adegan ini, tapi juga dilakukan oleh Laura atau X-23 yang diperankan oleh Dafne Keen dan dalam Logan, dikisahkan masih anak-anak.

INFOGRAFIK Hugh Jackman

Dalam film ini selama 25 tahun terakhir tak ada lagi mutan baru, mereka mati, atau habis terbunuh dalam sebuah insiden yang melibatkan Profesor X dan Wolverine. Hingga suatu hari datang seorang perempuan bernama Gabriela yang membawa anak perempuan bernama Laura. Sebuah perusahaan multi nasional memburu Laura dan Gabriela. Logan yang terjebak di tengah pertikaian itu menolak membantu, teror terhadap mutan dan perburuan manusia terhadap yang lain, membuat Logan membenci manusia dan menginginkan hidup yang terasing dari manusia kebanyakan.

Logan berlatar di El Paso pada 2029, ia menjadi gambaran politik Amerika kontemporer yang menggambarkan relasi imigran Meksiko dengan pemerintah Amerika. Stereotip gangster laki-laki Meksiko, masyarakat yang miskin, terbelakang, sekilas tergambar melalui interaksi Logan dan banyak penjahat. Meski stereotipe ini kemudian berganti dengan kemunculan perawat Gabriela yang menjadi pendamping Laura. Karakter Laura yang penyayang, pelindung, manusiawi, dan heroik membuat manusia-manusia Meksiko dalam film ini menjadi ambivalen, di satu sisi mereka jahat, di sisi lain mereka baik, ini menjadi penting untuk memutus stereotipe imigran yang dianggap pembawa masalah.

Sejauh ini enam film X-Men yang ada tidak mampu membuat Hugh Jackman total dalam menjadi Wolverine. Sebagai mutan dengan cakar besi, rating penonton remaja membuatnya mesti tertahan untuk memotong, membacok, menikam, dan membunuh orang dengan kejam. Nyaris di sepanjang film Logan, batasan itu dihilangkan, hasilnya film drama dengan adegan perkelahian brutal yang menyenangkan. Tangan terpotong, kepala terpancung, hingga darah yang muncrat seperti saus tomat yang dikocok dari botol.

Logan tidak hanya berlatar di satu tempat, ia nyaris seperti Children of Men (2006) atau Lone Wolf and Cub (1972), kisah tentang orang dewasa yang bertemu dengan anak-anak lantas kemudian hidup masing-masing berubah karena interaksi sepanjang perjalanan. Ini klise tentu, Waterworld (1995) menghadirkan ramuan serupa, dunia di masa depan dengan nuansa distopia nyaris kiamat, seorang pria dewasa berusaha menyelamatkan anak-anak dari ancaman sekumpulan penjahat keji. Tapi hei, jika masih laku kenapa tak dipakai ulang?

Logan mengembalikan kembali nostalgia Hugh Jackman bersama Sutradara The Wolverine, James Mangold yang pernah menyutradarai Copland dan 3:10 to Yuma. Keputusan untuk membuat film ini menjadi dewasa patut diacungi jempol, bukan hanya menghadirkan adegan keji dan brutal, tapi juga menyasar penonton dewasa non pembaca komik yang penasaran dengan jalan cerita Logan. Film ini tidak punya tendensi menghibur seperti Deadpool atau Avengers, tapi kembali membuat film superhero dengan tema rumit dan dalam seperti The Dark Knight (2008).

Elemen lain yang membuat Logan istimewa adalah pembacaan bahwa penonton film superhero kini makin dewasa. Jika pada 2009 penonton Wolverine berusia 13 tahun, maka mereka kini 21 tahun, tentu mereka bukan anak-anak lagi. Mereka menjadi orang dewasa yang akan bosan dengan jalan cerita yang begitu saja, maka perlu hadir film superhero yang hadir dengan tema rumit, kontekstual dengan kondisi kehidupan saat ini, dan yang penting ditulis/digambarkan dengan tepat. Logan menghadirkan itu semua.

Tidak ada kostum, tidak ada pesawat canggih, tidak ada kekuatan kosmik dan sihir dari makhluk luar angkasa. Logan adalah mutan tua yang kelelahan, ia mesti lari dari kejaran pemerintah dan masyarakat yang paranoid. Sementara masa depan tak lagi cerah, seperti yang dibayangkan dalam komik. Laura, sebagai Weapon-23, hadir sebagai harapan, generasi baru mutan yang akan menggantikan Charles Xavier dan X-Men yang telah punah. Kelam, muram, dan nyaris tanpa harapan adalah genre superhero yang biasanya digarap DC, kini dibuat dengan lebih matang oleh Marvel.

Tentu ada film seperti Guardians of the Galaxy, Ant-Man, Doctor Strange, dan Deadpool yang menghadirkan elemen jenaka ketimbang film superhero, tapi mereka tak bisa terus menerus menjual jalan cerita yang klise tentang penjahat yang hendak menghancurkan bumi/galaksi, tapi juga mempertanyakan hal-hal yang substansial, dekat, dan dialami para penontonnya.

Logan hadir sebagai respons Trump, distopia, dan masa depan suram di bawah diktator. Meski tidak secara eksplisit digambarkan, tapi fragmen pria muda berteriak “USA-USA” dengan patroli perbatasan yang ketat, menggambarkan lanskap xenofobia yang ada saat ini.

Baca juga artikel terkait SUPERHERO atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Film
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra