tirto.id - Ilmu pengetahuan selalu berlaku revolusioner. Ia tidak bisa berhenti diam selama ada kehidupan dan peradaban yang dinamis. Ia tampak selalu mendobrak terhadap apa yang diyakini sebagai sebuah takdir dan titik maksimal. Dalam perjalanannya pula, orang-orang yang out of the box ini memberikan sumbangsih besar terhadap peradaban manusia.
Lalu, bagaimana dengan kehidupan abadi? Mungkinkah umur manusia dapat juga direvolusi sehingga tak mudah menua atau mati? Bisakah manusia dengan tunadaksa dapat dipindahkan ke tubuh yang lainnya? Atau dengan menjaga kemampuan otak untuk terus hidup dan berpikir? Pertanyaan itu tampak rumit dan mustahil, tetapi beberapa ternyata sudah lama diteliti hingga detik ini.
Lewat Transplantasi Kepala
Dunia transplantasi dalam dekade ini memang menunjukkan era kejayaan. Ditunjang, teknik bedah baru, berbagai obat yang mampu menghilangkan ancaman penolakan organ baru di tubuh menghasilkan sederet tindakan transplantasi seperti hati, ginjal, paru-paru, rahim, pita suara, lidah, organ vital, dan yang mengesankan adalah tangan dan wajah mengingat semua jaringan terkait dilibatkan.
Namun bagaimana dengan transplantasi kepala? Ini terdengar tidak masuk akal. Sebuah kepala dengan otak yang merupakan organ penting dalam kesatuan tubuh manusia hendak dipisahkan dan disambungkan ke tubuh yang lain. Tapi begitulah ambisi Sergio Canavero yang akan melakukan operasi transplantasi kepala pertama di dunia pada Desember 2017 mendatang.
Seperti dikutip dari Daily Mail, dokter Sergio Canavero yang dijuluki Dr Frankenstein mengklaim bahwa dirinya bisa melakukan transplantasi kepala pertama di dunia, di bawah satu jam. Dia juga mengklaim bahwa prosedur ini bisa membuat orang-orang kaya "hidup abadi".
Canavero tidak sendiri, ia bekerja sama dengan Xiaoping Ren, seorang ahli bedah saraf dari Harbin Medical University di Cina. Ren telah akrab dengan transplantasi kepala karena telah melakukannya pada 1.000 tikus yang berbeda. Dengan operasi yang berjalan selama 10 jam, tikus bisa bernafas, minum, bahkan melihat meskipun hanya bertahan dalam beberapa menit saja.
Seorang programer dari Rusia bernama Valery Spiridonov yang menderita penyakit saraf motorik langka berjuluk Werdnig-Hoffmann juga telah sangat bersedia menjadi relawan dalam proyek transplantasi kepala pertama. Ia akan menerima tubuh dari seorang pendonor asal Cina. Namun sampai saat ini terganjal masalah persetujuan etika, biologis, dan dana dari negaranya. Sedangkan di Cina, ada sekitar 10 orang lainnya yang telah mengajukan diri untuk menjadi pendonor transplantasi kepala pertama ini.
Detail dari proses operasi tersebut memang belum diumumkan secara pasti. Namun seperti dikutip dari National Geographic, Canavero telah memberikan garis besar bagaimana operasi itu berjalan.
Pasien akan menerima donor tubuh sehat yang berasal dari pasien mati otak. Kepala pasien akan didinginkan hingga suhu minus 15 derajat Celcius. Setelah itu, kepala pasien dan donor secara bersamaan akan dipisahkan dari saraf tulang belakang menggunakan pisau ultra tajam. Kepala pasien kemudian disambungkan ke tubuh donor menggunakan senyawa polietilen glikol untuk memadukan ujung saraf tulang belakang.
Pasien akan berada dalam kondisi koma selama sekitar sebulan untuk mencegah pergerakan apa pun, sementara tulang belakang akan dirangsang dengan elektroda untuk memperkuat koneksi saraf. Canavero memprediksi pasien akan dapat berjalan dalam waktu setahun pasca operasi.
Kendala terbesarnya adalah menyambungkan ke sumsum tulang belakang sehingga otak pasien dapat mengontrol tubuh barunya. Saraf luar sumsum tulang belakang harus menumbuh kembali, yang menjelaskan mengapa wajah cangkok dapat mengunyah dan tersenyum atau tangan hasil cangkok bisa menggerakan ibu jari. Dengan bahan kimia yang telah dikembangkan, sel-sel di dalam sumsum tulang belakang yang tidak dapat tumbuh kembali menjadi mungkin untuk berkembang dan menyambung lagi.
Dilansir dari The Atlantic, dua kasus manusia memberikan harapan tambahan. Seorang wanita Jerman yang mengalami kecelakaan ski dan seorang pria Polandia yang ditusuk dengan pisau. Keduanya lumpuh meskipun telah menjalani rehabilitasi. Keadaan mereka berubah ketika menjalani operasi eksperimental, belajar berjalan kembali dan sukses. Mereka membuktikan bahwa manusia dengan cedera tulang belakang yang parah dalam keadaan tertentu dapat belajar berjalan kembali.
Jauh sebelum rencana Canavero ini diumumkan, upaya transplantasi kepala yang dicoba kepada hewan memang telah dilakukan. Di Uni Soviet, Vladimir Demikhov bereksperimen dengan transplantasi kepala anjing pada 1950-an. Proses pencangkokan kepala ini menjadikan anjing tersebut memiliki dua kepala setelah transplantasi, namun akhirnya meninggal akibat reaksi kekebalan.
Terinspirasi dari Vladimir Demikhov, sekelompok ilmuwan dari Case Western Reserve University School of Medicine di Cleveland, Ohio yang dipimpin oleh ahli bedah saraf Robert J. White pada Maret 1970 silam juga melakukan transplantasi kepala monyet yang dipindahkan ke tubuh monyet lain. Prosedur ini sukses sampai batas tertentu, dengan hewan mampu mencium bau, rasa, mendengar, dan melihat dunia di sekitarnya. Monyet itu bahkan mencoba menggigit jari salah seorang dokter. Namun, monyet hasil transplantasi itu hanya dapat bertahan beberapa waktu setelah operasi.
Di Jepang, transplantasi kepala telah dicoba kepada tikus pada 2002 lalu. Proses ini dengan memindahkan kepala tikus ke paha orang dewasa. Dari hasil tersebut, para ilmuwan mengatakan bahwa kunci untuk transplantasi kepala sukses adalah menggunakan suhu rendah sehingga otak dari tikus tersebut mampu terus berkembang selama tiga minggu.
Mendapat Kritik
Kritik para ilmuwan lainnya mengenai rencana transplantasi kepala manusia bukannya tidak ada. Dokter White dan timnya ketika mengatakan kemungkinannya ke depan mengembangkan transplantasi kepala ke manusia pada waktu itu mengundang kritik dari dokter Stephen Rose dari Open University.
Ia mengatakan bahwa rencana itu adalah teknologi medis yang dikelola benar-benar gila dan tidak sebanding dengan apa yang dibutuhkan. Hasilnya diyakini tidak mengendalikan tubuh yang lain. Percobaan kepada kepala manusia dianggap sesuatu yang tidak etis dan tidak pantas untuk alasan apapun.
Proyek Canavero yang akan dilakukan dalam beberapa waktu ke depan ini juga tak luput dari kritikan. Implikasi etis masih harus dihadapi oleh Canavero dan timnya.
“Sikap kami sangat jelas, tema sentral dalam metode ilmiah menyatakan bahwa semua teknik baru harus berdasarkan pada uji eksperimen yang telah diajukan kepada komunitas ilmiah internasional sebelum diterapkan pada manusia. Sedangkan Canavero tak pernah berhasil membuktikan bahwa dia pernah berhasil melakukan transplantasi kepala pada hewan," kata Alberto Delitala, Presiden Italian Society of Neurosurgery, dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Xinhua.
Terlepas dari itu, ini adalah salah satu upaya manusia memperpanjang peluang hidup yang diinginkan atau bermaksud memberikan kesempatan bagi penyandang tunadaksa untuk tujuan yang lebih baik. Ilmuwan lainnya sampai saat ini juga mengembangkan apa yang dinamakan Mind Uploading yang memungkinkan pemindahan seluruh memori di otak termasuk kesadaran diri ke komputer.
Dengan menyimpan isi otak tersebut, peluang keabadian juga terbuka lebar karena tidak lagi terbatas oleh raga yang rapuh. Jika nantinya berbagai proyek tersebut berhasil, otak cerdas seperti Albert Einsten sampai Steve Jobs mungkin akan tetap hidup lebih panjang.
Penulis: Tony Firman
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti