tirto.id - Otak manusia adalah salah satu organ paling kompleks yang pernah ada. Dengan miliaran neuron yang saling terhubung, otak memungkinkan manusia untuk berpikir, merasakan, dan bertindak.
Namun, manusia memiliki keterbatasan dalam berpikir, juga tak lepas dari kesalahan. Ketidaksempurnaan itu kemudian melahirkan mitos yang menyatakan bahwa manusia hanya menggunakan 10 persen dari kapasitas otaknya.
Mitos tersebut sering kali diulang dalam budaya populer, baik melalui buku, film, maupun percakapan sehari-hari. Namun, apakah klaim itu benar? Berdasarkan bukti ilmiah, jawabannya adalah tidak.
Asal Usul Mitos 10 Persen
Sebagai pusat kendali sistem saraf, otak manusia berperan krusial dalam mengatur berbagai fungsi tubuh, dari yang sederhana seperti bernapas dan bergerak, hingga yang lebih rumit seperti berpikir, belajar, dan berinteraksi.
Meskipun telah menggali banyak aspek fungsionalitas otak, manusia tetap tidak luput dari kesalahan. Guna menutupi kesalahan dan keluputannya, beberapa pihak pun menyebut bahwa manusia hanya memanfaatkan 10 persen kapasitas otaknya. Dengan asumsi itu, berarti masih ada 90 persen "kemampuan" yang terpendam dan bisa dimanfaatkan.
Mitos ini diyakini berasal dari pernyataan psikolog terkenal, William James, pada abad ke-19. Dalam salah satu bukunya, The Energies of Men (1907), James menyebut bahwa manusia hanya menggunakan sedikit dari sumber daya mental dan fisik yang ada.
“Kita hanya menggunakan sebagian kecil dari sumber daya mental dan fisik kita yang mungkin. [...] Secara umum, individu manusia biasanya hidup jauh di dalam batas-batasnya; ia memiliki berbagai macam kekuatan yang biasanya tidak ia gunakan. Ia mengeluarkan energi di bawah batas maksimalnya, dan ia berperilaku di bawah batas optimalnya,” tutur James dalam bukunya yang lain, Memories and Studies (2007).
Pernyataan James disalahartikan dan berkembang menjadi klaim bahwa manusia hanya menggunakan 10 persen dari otaknya. Padahal, ia tidak pernah memberikan data ilmiah untuk mendukung klaim tersebut. Ungkapan itu lebih merupakan dorongan motivasional agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal.
Albert Einstein juga sering dikaitkan dengan mitos ini, meskipun tidak ada bukti bahwa ia pernah menyatakan hal tersebut. Banyak kutipan yang salah atribusi disematkan kepadanya.
Mitos tersebut makin diperkuat oleh berbagai media populer. Buku-buku motivasi dan seminar sering menggunakan ide ini untuk menarik perhatian dan menjual produk atau layanan.
Film-film seperti Phenomenon (1996), Limitless (2011), dan Lucy (2014), menggambarkan seseorang dapat memperoleh kemampuan luar biasa dengan "mengaktifkan" bagian otak yang tidak digunakan. Meskipun menarik secara fiksi, konsep ini sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah.
Penelitian terus berkembang dalam bidang neurosains, dan itu menjanjikan banyak hal baru yang akan terus mengubah pemahaman kita tentang otak. Dengan segala kecanggihan dan efisiensi otak manusia, jelas bahwa kita sudah beruntung memiliki organ ini.
Dari percakapan sehari-hari hingga penciptaan inovasi dan seni, otak kita adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan bermakna.
Fakta Ilmiah Penggunaan Otak
Otak manusia mungkin tidak terlihat secantik jantung yang berdenyut atau sistem pernapasan yang menggerakkan udara ke dalam tubuh. Meski begitu, otak termasuk salah satu keajaiban terbesar dalam biologi.
Otak manusia terdiri dari sekitar 86 miliar neuron yang terhubung satu sama lain melalui triliunan sinapsis (sambungan antarsel saraf). Neuron-neuron ini tidak hanya bertanggung jawab atas pengiriman informasi, tetapi juga berperan vital dalam proses pembelajaran dan memori.
Setiap bagian otak memiliki fungsi yang berbeda tetapi saling berkaitan, menciptakan jaringan kompleks yang memungkinkan kita berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Korteks serebral yang ada di bagian atas otak, misalnya, berperan dalam fungsi kognitif untuk pemikiran, persepsi, dan pengambilan keputusan. Bagian ini sangat penting dalam proses berpikir analitis dan kreatif.
Selanjutnya, ada hippocampus yang berperan dalam pembentukan memori. Tanpa hippocampus, kita mungkin tidak akan bisa mengingat hal-hal penting dalam hidup.
Jangan lupakan amigdala, yang terlibat dalam respons emosional. Setiap bagian dari otak berkolaborasi dengan yang lainnya, baik saat sedang berbicara dengan teman, memainkan gitar, atau sekadar memikirkan makanan yang ingin kita santap siang nanti.
Beralih ke bagian lain dari otak, kita juga harus menyebutkan sistem limbik yang sering dikaitkan dengan emosi dan motivasi. Ia membantu kita merasakan cinta, kebahagiaan, bahkan rasa takut. Menariknya, sistem limbik tidak hanya berfungsi untuk kita sendiri, tetapi juga memengaruhi hubungan sosial dengan orang lain.
Ketika merasakan emosi tertentu, kita bisa memancarkan sinyal sosial yang memengaruhi orang di sekitar kita. Siapa yang tidak merasakan aura positif dari seseorang yang bahagia?
Bahkan, ketika kita berbicara tentang otak, kita tidak bisa melupakan otak kecil atau cerebellum yang terletak di bagian belakang otak dan bertanggung jawab untuk koordinasi dan keseimbangan. Tanpanya, aktivitas sehari-hari, seperti berjalan dan berlari, akan menjadi sangat sulit.
Sains juga menunjukkan, saat kita melakukan berbagai aktivitas, sinapsis akan terhubung dan berkomunikasi satu sama lain. Aktivitas yang berbeda memicu pola yang berbeda di dalam jaringan saraf.
Ketika belajar hal baru, sel-sel otak kita beradaptasi dan mendukung proses pembelajaran tersebut. Dalam jangka panjang, perilaku itu akan mengarah pada peningkatan kapasitas otak dalam beberapa bidang, seperti memori dan keterampilan motorik.
Meluruskan Sesat Pikir tentang Medium Berpikir
Setiap bagian otak bekerja secara sinergis untuk memastikan tubuh dan pikiran manusia berfungsi dengan baik. Jika benar manusia hanya menggunakan 10 persen dari otaknya, kerusakan pada 90 persen sisanya tidak akan berdampak signifikan.
Barry Beyerstein dalam buku Mind Myths: Exploring Popular Assumptions About the Mind and Brain (1999) menyanggah mitos tersebut. Ia mengatakan bahwa sel-sel otak yang tidak lagi berfungsi akan merosot seiring waktu.
Jika 90 persen sel otak tidak berguna, tubuh kita akan terus-menerus menunjukkan degenerasi neurologis dalam skala besar. Padahal, setitik saja kerusakan pada bagian kecil otak dapat menyebabkan gangguan serius pada kemampuan motorik, bahasa, atau fungsi lainnya. Kita bisa memperkirakan sendiri gangguan yang terjadi jika skala nirfungsi otak kita mencapai 90 persen.
Penelitian neurologi modern menunjukkan, manusia menggunakan seluruh bagian otaknya, meskipun tidak semuanya aktif pada saat bersamaan. Aktivitas otak bervariasi bergantung pada tugas yang dilakukan.
Studi neuroimaging, yang memanfaatkan teknologi canggih seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan PET (Positron Emission Tomography), menunjukkan bahwa sebagian besar bagian otak aktif bahkan ketika kita sedang tidak melakukan aktivitas kognitif yang intens.
Ketika beristirahat, otak menghasilkan gelombang aktivitas yang teratur, mencerminkan aktivitas listrik yang terus berjalan di berbagai area otak. Ini menunjukkan bahwa otak manusia tidaklah statis, melainkan selalu aktif dengan tingkat efisiensi tinggi.
Ketika kita belajar bahasa baru, misalnya, otak secara aktif menyusun dan menyesuaikan jaringan saraf untuk memahami dan mengingat kosa kata serta tata bahasa. Itulah yang membuat kita mampu berkomunikasi secara lebih baik.
Begitu juga saat seseorang membaca, area otak yang terkait dengan pemrosesan bahasa akan lebih aktif. Namun, ini tidak berarti bahwa bagian otak lainnya "tidur" atau tidak berfungsi.
Beberapa bagian otak dapat berfungsi lebih aktif pada aktivitas tertentu. Misalnya, ketika kita melakukan aktivitas fisik, area di otak yang bertanggung jawab untuk motorik akan lebih aktif. Ketika bermain musik, bagian otak yang berkaitan dengan pendengaran dan koordinasi motorik juga akan bekerja lebih keras. Dengan kata lain, otak berfungsi secara dinamis, beradaptasi dengan kebutuhan kita sepanjang waktu.
Otak manusia jelas berbeda dengan teknologi yang kita ciptakan seperti komputer. Otak manusia tidak hanya sekadar perangkat yang menyimpan informasi, tetapi juga mampu berpikir secara kritis, merasakan emosi, dan menciptakan ide-ide baru.
Komputer mungkin bisa menghitung angka dengan cepat, tetapi ia tidak bisa merasakan, mengalami cinta, atau memiliki imajinasi. Kebanyakan teknologi saat ini malah terinspirasi dari cara otak manusia berfungsi.
Mengapa Mitos Ini Bertahan?
Otak manusia membutuhkan banyak energi. Ia menyerap sekitar 20 persen dari total energi tubuh. Secara evolusi, tidak masuk akal jika 90 persen otak tidak memiliki fungsi.
Mitos bahwa manusia hanya menggunakan sebagian kecil kapasitas otaknya, tidak hanya menggoda tetapi juga berpotensi berbahaya. Klaim tersebut dapat memengaruhi pandangan kita tentang pengembangan diri sehingga tanpa sengaja menurunkan keyakinan akan kemampuan untuk belajar dan tumbuh.
Dalam ranah pendidikan dan pengembangan diri, pemahaman yang salah terkait penggunaan otak dapat mengarah pada pendekatan yang tidak efektif. Istilah ini dikenal dengan neuromitos.
Jika individu percaya bahwa mereka tidak memanfaatkan kapasitas otaknya secara penuh, mereka mungkin tidak akan mengoptimalkan metode belajarnya, atau bahkan berhenti mencari cara untuk mengembangkan keterampilan intelektualnya dengan efektif.
Dalam sebuah penelitian berjudul “Neuromyths in education: Prevalence and predictors of misconceptions among teachers” (2012), disebutkan bahwa sebanyak 49 persen guru di Inggris dan Belanda percaya pada neuromitos. Mereka setuju dengan pernyataan yang mendukung mitos.
Kebanyakan mitos tentang otak sebagaimana dimaksud di penelitian tersebut berkelindan seputar gaya belajar, dominasi otak kiri/kanan, dan latihan Brain Gym—tidak ada bukti permainan otak mampu meningkatkan kecerdasan umum atau fungsi kognitif secara keseluruhan..
Barry Gordon, ahli saraf di AS, mengatakan bahwa ketahanan mitos tersebut berasal dari konsepsi orang-orang tentang otak mereka sendiri: mereka melihat kekurangan sendiri sebagai bukti keberadaan materi abu-abu yang belum dimanfaatkan.
Ada beberapa alasan mengapa mitos ini terus dipercaya oleh banyak orang. Pertama, gagasan bahwa manusia memiliki potensi tersembunyi yang belum dimanfaatkan sangat menarik secara psikologis. Kedua, mitos ini sering kali digunakan dalam konteks motivasi untuk mendorong orang agar bekerja lebih keras atau berpikir lebih kreatif.
Namun, penting untuk memahami bahwa potensi manusia tidak bergantung pada "aktivasi" bagian otak yang tidak digunakan. Selain itu, pentingnya kesehatan fisik dan mental tidak dapat diabaikan. Nutrisi yang baik, olahraga teratur, dan cukup tidur, merupakan faktor-faktor yang mendukung fungsi otak secara optimal.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin