tirto.id - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta baru saja merampungkan draf peraturan gubernur (pergub) tentang pembatasan kantong plastik. Menurut Kepala Seksi Pengelola Sampah DLH Provinsi DKI Jakarta, Rahmawati, draf peraturan itu akan mewajibkan penggunaan kantong plastik ramah lingkungan dan bisa didaur ulang.
Apa saja bahannya? Kain, tanaman seperti daun kering, bahan rumput laut, atau pun bahan daur ulang. “Kewajiban itu berlaku untuk pusat perbelanjaan, toko modern sama pasar tradisional,” ungkap Rahmawati.
Namun, rancangan aturan itu belum membatasi jumlah plastik dari warung makan dan toko kelontong. “Sementara [yang] ini dulu. Kalau ini beres, mungkin [akan mengatur semuanya],” ujar Rahmawati.
Menurut Rahmawati, biaya penyediaan kantong belanja ramah lingkungan itu nantinya tak dibebankan kepada pengusaha, melainkan konsumen. Namun kata dia, pihak pengelola pasar/ ritel harus menjual kantong ramah lingkungan.
Pihak DLH DKI Jakarta hanya melarang penggunaan kantong kresek. “Kalau dia menyediakan plastik, dia menyediakan bukan kresek, [tetapi kertas. Kantong kemasan kiloan yang buat buah itu, atau buat gula itu boleh. Bukan kresek,” kata Rahmawati.
Menurut Rahmawati, selain wajib menyuplai kantong ramah lingkungan, pengelola pasar harus memberi edukasi kepada pedagang dan masyarakat yang menjadi konsumen.
Dalam draf pergub tersebut, pemerintah DKI Jakarta akan memberikan teguran dan sanksi denda bertahap jika ada peritel yang membandel. Denda yang ditetapkan oleh mereka mulai dari Rp5 juta, Rp10 juta, dan Rp25 juta.
“Kalau [denda] Rp25 juta ternyata mereka masih melanggar, maka mereka kena pembekuan izin usahanya. Kalau masih melanggar juga, maka kena pencabutan izin atas dinas terkait,” ungkap Rahmawati.
Tanggapan Pengusaha Ritel
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, mengaku keberatan dengan isi draf peraturan gubernur tersebut. Menurutnya, aturan tersebut tidak rasional, sebab pemerintah hanya mengatur sebagian kecil dari rantai keluaran plastik.
“Tetap saja yang pakai banyak, di luar kami kan pakai. Yang pakai siapa? [Peraturan] politiknya sih sudah selesai, [tapi] di lapangan masih bisa. [Kita hanya] kuasain market sebagian kecil, tapi yang besar enggak dipaksa juga,” kata Tutum dengan nada kesal.
Meski bersedia melaksanakan aturan itu, pemilik ritel Pojok Busana ini berpendapat bahwa aturan pemerintah itu akan memberatkan konsumen karena harganya yang mahal. Apalagi, menurutnya, ketersediaan kantong plastik ramah lingkungan di Indonesia tidak banyak.
“Kalau kami, sih, intinya mau ngikutin apa pun [aturan yang ditetapkan]. [Kalau] enggak boleh pakai, misalnya [diminta] pakai daun pisang, ya sediakan daun pisang yang banyak," kata Tutum. "Pemerintah ini, latahnya, enggak mengerti apa yang mereka mau urus gitu."
Tutum juga mewanti-wanti agar pemerintah juga turut bertanggung jawab atas kesediaan kantong alternatif, selain mengedukasi masyarakat agar bijak dalam menggunakan kantong plastik.
“Mau kita nolkan sampai enggak boleh pakai plastik juga boleh, tapi negara harus memberikan alternatif teknologinya. Ada enggak pemerintah mikirin teknologinya? Enggak ada,” kata Tutum. “Lebih baik pabrik plastiknya ditutup, selesai produksinya, kami enggak pakai. Ngapain ngatur kami, tapi pabrik plastiknya boleh produksi?”
Menurut Tutum, cara yang paling masuk akal saat ini adalah membatasi penggunaan plastik dengan memberlakukan plastik berbayar. “Penurunannya cukup drastis, minimal 30 persen,” ungkap Tutum.
Salah satu peritel yang telah menerapkan sistem plastik berbayar adalah Alfamart. General Manager Corporate Communication PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, Nur Rachman, mengatakan mereka menjual kantong plastik seharga Rp200.
“Namun konsumen juga diarahkan menggunakan tas belanja sendiri atau tas belanja pakai ulang yang kita sediakan dengan harga Rp3.500” kata Nur.
Nur pun mengaku Alfamart tak keberatan jika pemerintah mewajibkan ketersediaan plastik ramah lingkungan. Ia mengklaim saat ini tokonya telah menggunakan bahan plastik oxo biodegradeable, sehingga kantong yang mereka sediakan itu bisa terurai.
“Pada dasarnya, Alfamart mengikuti setiap peraturan baik dari pemerintah. Termasuk apabila ada perda yang meminta peritel menyediakan plastik ramah lingkungan, tentunya Alfamart akan menjalankan,” tuturnya.
Banyak Aturan, Implementasi Keteteran
Januari 2019 lalu, Peneliti Pencemaran Laut Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Reza Cordova pernah menyampaikan bahwa konsumsi plastik di Indonesia berada di bawah Singapura.
“Konsumsi plastik di Indonesia jauh lebih rendah daripada negara tetangga seperti Singapura. Tapi, ketika bicara terkait pengelolaan kalah dengan Singapura, mereka memiliki regulasi dan benar-benar dilaksanakan. Di kita baru bicara regulasi, tapi implementasi belum 100 persen,” ungkap Reza kala itu.
Sebagai contoh, pada Januari 2019, fotografer Tirto menemukan banyak sampah plastik memenuhi bibir pantai di kawasan Cilincing, Jakarta. Artinya, kesadaran masyarakat untuk tak membuang sampah ke sungai atau laut pun masih rendah.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, tak menyangkal bahwa plastik masih dibutuhkan di berbagai sektor seperti manufaktur, ritel, pasar tradisional, dan industri makanan. Pihaknya pun meminta peran industri untuk mengolah sampah plastik.
“Bicara pengurangan itu gimana agar sampah plastik tidak terbuang ke TPA. Bagaimana agar semua tidak dibuang ke lingkungan,” ucap Vivi.
Belum lagi adanya tegangan antara bahaya lingkungan hidup dengan kepentingan industri plastik. Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto pernah mengutarakan keberatan soal wacana pengurangan volume plastik dalam negeri karena bisa mengganggu industri plastik. Airlangga menanggapi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan pemerintah akan memangkas penggunaan plastik hingga 70 persen pada 2025.
Sebagai alternatif, Kementerian Perindustrian berjanji akan mendorong industri daur ulang sampah—berdasarkan data Asosiasi Industri Plastik Indonesia, tingkat daur ulang plastik saat ini baru mencapai 14 persen.
Editor: Maulida Sri Handayani