tirto.id - Penemuan plastik mengubah kehidupan manusia secara radikal. Ia mendemokratisasi alat dan perkakas yang sebelumnya hanya dimiliki oleh kalangan elite karena tingkat kesulitan pembuatan dan pemerolehan bahannya. Bola biliar dan sisir, contohnya. Menurut Michael Ian Shamos dalam The New Illustrated Encyclopedia of Billiards,sebelum abad ke-19, bola biliar selalu terbuat dari gading gajah, menambah alasan bagi pembantaian keji terhadap hewan tersebut.
Terinspirasi tawaran hadiah seharga USD$10 ribu untuk orang-orang yang mampu menemukan bahan baku pengganti gading, John Wesley Hyatt memperkenalkan polimer sintetis pertama pada 1869. Pada 1878, Hyatt dianugerahi paten, satu dari banyak paten yang ia terima, untuk “penyempurnaan produksi sisir berbahan seluloid”, seperti disampaikan Ernie Smith dalam “A Brief History of the Unbreakable Comb” yang dipublikasikan Atlas Obscura.
Penemuan plastik adalah penemuan yang revolusioner, karena itu berarti produksi barang-barang kebutuhan manusia tidak lagi mesti bergantung pada sumber daya alam yang terbatas seperti gading gajah.
Laporan Wood Mackenzie menunjukkan bahwa plastik memiliki peran vital dalam berbagai industri. Pada industri otomotif, bobot ringan plastik memungkinkan efisiensi bahan bakar. Umumnya, 50% komposisi mobil modern berbahan plastik dengan berat total hanya 15% dari keseluruhan berat kendaraan. Pada industri medis, plastik digunakan untuk bermacam kebutuhan, mulai dari tabung jarum suntik sekali pakai hingga komponen utama tungkai prostetik.
Richard Gray, dalam artikelnya di BBC, mengatakan plastik diminati karena murah dan ringan. Menurutnya, ongkos produksi kemasan minuman berbahan kaca relatif tidak begitu mahal dibanding plastik, hanya selisih seperseratus dolar. Namun, kemasan plastik memungkinkan perusahaan berhemat dalam distribusi serta memperkecil dampak lingkungan lanjutan karena lebih ringan dan lebih mudah dipadatkan.
Berat kemasan plastik minuman bervolume 330 ml adalah 18 gram, sementara untuk kemasan bervolume sama, wadah gelas/kaca memiliki berat 190-250 gram. “Pengiriman minuman kemasan dengan wadah yang lebih berat menghabiskan energi 40% lebih banyak, memproduksi lebih banyak karbondioksida, dan meningkatkan biaya pengiriman lima kali lebih besar untuk setiap botol,” tulis Gray.
Kini ada alternatif bahan plastik untuk beberapa produk keseharian, misalnya sedotan berbahan logam, tas anyaman, dan botol minum kaca. Namun, ada baiknya kita tak tergesa-gesa. Sebuah riset tentang perbandingan kemasan berbahan plastik dan bahan alternatif di AS dan Kanada menunjukkan: penggunaan bahan-bahan pengganti plastik juga punya konsekuensi mengkhawatirkan. Dari segi dampak terhadap lingkungan, menurut riset tersebut, kemasan plastik masih merupakan yang paling efisien.
Inilah harga yang harus dibayarkan bila plastik dihilangkan: 1) Empat kali lebih besar untuk pemeliharaan lingkungan; 2) Lima kali lebih besar untuk perbaikan kesehatan dan ekosistem; 3) Tiga kali lebih besar untuk menanggulangi perubahan iklim dan; 4) Hampir dua kali lebih besar untuk perbaikan kerusakan laut.
Plastik di Indonesia
Industri plastik di Indonesia akan terus berkembang karena kebutuhan masyarakat yang tinggi. Hingga kini, industri plastik dalam negeri menjadi semacam tulang punggung bagi industri-industri hilir.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin), lewat siaran pers Maret 2015, menekankan pentingnya industri petrokimia nasional, termasuk industri plastik di dalamnya, sebagai indikator kemajuan sebuah negara. Pada Februari 2017, Kemenperin menambahkan bahwa industri kemasan plastik berperan penting dalam rantai pasok bagi sektor-sektor strategis seperti makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, serta elektronika.
Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), Kemenperin mencatat ada 925 perusahaan yang memproduksi berbagai macam produk plastik. Sektor ini menyerap 37.327 orang tenaga kerja dan memiliki kesanggupan produksi sebesar 4,68 juta ton per tahun.
Fakta itu digarisbawahi pula oleh IHS Markit, situs penyedia informasi global. Menurut data mereka, permintaan terhadap polietilena, bahan baku plastik, meningkat dua kali lipat dari 50 juta metrik ton pada 1999 menjadi 100 juta metrik ton pada 2018.
Menurut data Plastic Insight pada 2016, Indonesia merupakan negara pengguna plastik terendah di Asia, dengan jumlah 20 kilogram per kapita. Angka ini jauh lebih kecil dari rata-rata konsumsi plastik dunia yang mencapai 45 kilogram, atau negeri Asia lain seperti Jepang dengan 108 kilogram per kapita. Masalah Indonesia, yang kerap disalahpahami, bukanlah produksi atau penggunaan plastik, melainkan penanganan sampahnya.
Penanganan sampah plastik bukan kerja amal. Ia menjanjikan potensi ekonomis yang besar. Laporan Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia pada 2018 mengungkapkan: harga per kilogram sampah plastik seperti botol air mineral, sedotan dan kantong plastik, lebih tinggi daripada harga sampah berbahan kertas.
“Kita semua menginginkan dunia tanpa polusi plastik, tetapi kita tidak akan mau dunia tanpa plastik,” ujar Steve Russell dari American Chemistry Council. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?
Ekonomi Sirkular: Solusi Manajemen Sampah Plastik
Fokus sistem ekonomi sirkular (circular economy) adalah pemanfaatan barang-barang secara maksimum dan “resureksi” barang-barang bekas. Sistem ekonomi ramah lingkungan yang diadopsi dari Eropa ini berupaya mempertahankan nilai produk agar dapat digunakan berulang-ulang tanpa menghasilkan sampah (zero waste) melalui tiga cara: daur ulang (recycle), penggunaan kembali (reuse) dan produksi ulang (remanufacture).
“Ekonomi sirkular adalah sistem yang didesain restoratif dan regeneratif. Artinya, bahan-bahan yang digunakan tetap berputar dalam sebuah sistem lingkaran tertutup, bukan hanya digunakan sekali dan kemudian dibuang,” tulis Nicola Ledsham dalam “Creating a Circular Economy for Plastics” di SustainAbility. Dalam kasus benda-benda plastik, kata Ledsham, hal ini berarti menjaga nilai ekonomisnya.
Laporan Ellen MacArthur Foundation pada 2016 menunjukkan bahwa tanpa pemahaman ekonomi sirkular, 95% nilai ekonomis bahan kemasan plastik hilang sekali pakai, dan itu mengakibatkan kerugian setara USD80-120 miliar per tahun. Sebaliknya, dengan landasan ekonomi sirkular, 53% sampah plastik di Eropa bisa didaur ulang, menghasilkan uang, dan berdampak efektif bagi lingkungan. Menurut laporan lembaga yang sama pada 2013: pengelolaan sampah plastik dengan pendekatan ekonomi sirkular berpotensi menghasilkan pendapatan hingga USD706 miliar.
Di Indonesia, usaha daur ulang adalah salah satu wujud ekonomi sirkular terhadap sampah plastik secara bertanggung jawab. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menyatakan, daur ulang sampah plastik memiliki efek yang signifikan dalam menggerakan perekonomian masyarakat karena rantai produksinya melibatkan banyak pihak, milai dari pemulung, pelapak, hingga industri besar yang mendaur ulang sampah plastik.
Kerja besar ini dilakukan oleh, misalnya, Parongpong, perusahaan pengolah sampah yang didirikan pada 2017 dan berbasis di desa Parongpong, Jawa Barat. Salah satu kegiatan mereka adalah lokakarya “Plastic-to-Pouch”, yang mendaur ulang sampah plastik menjadi dompet atau tas yang nilai ekonomisnya lebih tinggi.
“Itu hanya salah satu lokakarya edukasi yang kami lakukan untuk meningkatkan awareness, terutama ke ibu-ibu dan anak-anak,” ujar Rendy Aditya Wahid, pendiriParongpong.
Parongpong juga memiliki program “Scrap to Crop”. Menurut Rendy, “Scrap to Crop” lebih besar dampaknya terhadap masyarakat. Melalui program ini, masyarakat dapat menukarkan sampah botol plastik dengan sayuran segar. Parongpong menjemput sampah-sampah plastik tersebut dari tangan pertama. Tutup botol plastik yang terkumpul dicacah dengan mesin, lalu dijadikan benang-benang filamen. Benang-benang filamen inilah yang dijadikan tinta 3D Printer, dan digunakan untuk mencetak berbagai benda tiga dimensi, dari gantungan kunci, action figure, hingga perabotan rumah tangga.
“Sekarang yang kami kerjakan baru tutup botol plastik, tapi ke depan kami pengin banget mengolah berbagai sampah plastik,” ujar Rendy.
Sistem ekonomi sirkular lain yang terbukti efektif ditunjukkan Bank Sampah. Pada September 2018, KLHK melaporkan kontribusi pendapatan Bank Sampah rata-rata sebesar Rp1,48 miliar. Selain itu, program dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) ini berkontribusi terhadap pengurangan sampah nasional sebesar 1,39 juta ton per tahun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Rosa Vivien Ratnawati, dalam siaran pers yang sama, mengungkapkan bahwa keberadaan Bank Sampah terbukti memberi dampak positif lingkungan, sosial, dan ekonomi. Vivie menuturkan bahwa pertumbuhan Bank Sampah mengalami peningkatan dari 1.172 unit pada 2015 menjadi 2.244 unit pada 2017. Bank-bank Sampah ini tersebar di 34 provinsi dan 219 kabupaten/kota di Indonesia. “Bank Sampah Induk di Jakarta Barat memiliki omset tahunan sebesar Rp4,5 miliar,” kata Vivien.