tirto.id - Lebih dari dua dekade telah berlalu sejak FIFA, lembaga administrasi sepak bola sejagat raya itu, menyatakan bakal "membatasi jumlah pertandingan yang boleh dijalani seorang pemain di setiap musimnya." Alasannya, ketika itu mereka "khawatir akan terus meningkatnya frekuensi cedera serta kelelahan yang dialami pemain."
Dalam sebuah artikel tua di The Guardian diceritakan, kepala medis FIFA kala itu, Profesor Jiri Dvorak, berencana mengeluarkan batasan jumlah pertandingan setelah melihat banyaknya problem fisik yang menimpa pemain pasca-Piala Dunia 2002. Dvorak secara khusus menyoroti bagaimana Zinedine Zidane, Robert Pires, dan David Beckham, tak bisa berbuat banyak dalam turnamen tersebut lantaran cedera atau kelelahan.
"Ada aturan soal berapa jam setiap harinya seseorang boleh mengemudikan truk, tetapi hal yang sama tidak bisa ditemukan dalam sepak bola. Jika ada pedoman tentang jumlah maksimum pertandingan yang boleh dijalani tiap pemain per musim, itu akan sangat membantu mereka tetap sehat dan bugar sepanjang waktu. Itu semua akan meningkatkan standar kualitas permainan yang bakal menyenangkan fans serta para pemilik hak siar," ujar Dvorak ketika itu.
Di saat yang hampir bersamaan, Patrick Vieira, yang ketika itu merupakan kapten Arsenal dan gelandang andalan Prancis, pun sempat mengeluh. "Saya capek sekali. Berdiri saja kadang-kadang saya kesulitan. Rasanya sakit semua," ucap sosok yang kini melatih Genoa di Serie A Italia itu. Padahal, pada masa itu Vieira "hanya" bermain sebanyak 66 kali sepanjang musim.
Jika dibandingkan dengan banyaknya laga yang dimainkan oleh pesepak bola masa kini, jumlah pertandingan yang membuat Vieira kesulitan berdiri itu masih jauh lebih sedikit. Pada musim 2020/21, Pedri yang masih berumur 18 tahun harus bermain sebanyak 73 kali untuk klub dan negaranya. Dampaknya, sampai Maret 2024 lalu, penggawa Barcelona itu sudah mengalami delapan kali cedera dan absen di 75 pertandingan.
Julian Alvarez, penyerang Argentina yang kini bermain untuk Atletico Madrid, musim lalu masuk skuad pertandingan sebanyak 83 kali. Dia memang tak selalu bermain, tetapi jumlah laga yang dia jalani mencapai angka 75. Dibandingkan dengan Vieira, Pedri dan Alvarez memainkan laga yang jauh lebih banyak dan masih berpotensi terus bertambah.
Syukurnya, hingga kini Alvarez masih belum mengalami apa yang Pedri rasakan. Fisik Alvarez sudah lebih kuat karena berada di usia yang lebih matang barangkali ikut membantu menjaga kebugarannya. Namun, tak ada yang tahu apa yang bakal terjadi nantinya. Sebab, dengan berubahnya format kompetisi Liga Champions dan diselenggarakannya Piala Dunia Antarklub dengan jumlah peserta yang banyak bakal membuat pemain-pemain kelas wahid macam Alvarez bisa bermain sampai 86 kali semusim!
Mengapa FIFA Berpaling dari Komitmen di Masa Lalu?
Sampai sini, kita mesti bertanya kembali kepada FIFA dan semua organisasi regional yang dibawahinya. Jika dulu, 22 tahun lalu, mereka sudah menyadari bahwa jumlah pertandingan yang terlalu banyak akan meningkatkan risiko cedera dan kelelahan sehingga kualitas kompetisi jadi menurun, mengapa kini mereka justru terus menambah jumlah kompetisi yang membuat pemain merumput hampir tanpa jeda?
Memang, tidak semua kompetisi baru yang diselenggarakan FIFA atau UEFA itu buruk. UEFA Conference League, misalnya, memberi kesempatan bagi klub-klub yang lebih kecil untuk merasakan kejayaan di Eropa. Nations League membuat pertandingan antarnegara selain kualifikasi Piala Dunia atau turnamen kontinental menjadi lebih punya arti. Akan tetapi, apa urgensi mengubah format Liga Champions dan menyelenggarakan Piala Dunia Antarklub dengan 32 peserta? Jangan lupakan pula bahwa Piala Dunia 2026 akan diikuti oleh 48 negara.
Jawaban mudahnya tentu saja karena uang. Format baru Liga Champions membuat setiap klub sedikitnya bakal bermain delapan kali, alih-alih enam kali seperti sebelumnya. Jumlah total pertandingan pun meningkat drastis dari 125 menjadi 189. Artinya, uang yang didapat UEFA sebagai penyelenggara turnamen pun bakal jauh lebih besar, terutama dari hak siar. Hal serupa berlaku untuk Piala Dunia Antarklub versi baru serta Piala Dunia 2026 dan seterusnya nanti.
Namun, satu hal yang sepertinya alpa dipikirkan adalah the law of diminishing return. Ketika input (jumlah pertandingan) terus dinaikkan, output (kualitas kompetisi) bakal terus menurun. Penyebab utamanya, tentu saja, adalah kondisi para pemain yang mustahil bisa terus-menerus melakoni lebih dari 70 pertandingan sepanjang musim.
Selain soal kualitas kompetisi, law of diminishing return juga berlaku untuk fan. Ketika input (jumlah pertandingan) ditingkatkan terus menerus, output (kenikmatan menyaksikan pertandingan) bakal menurun. Jangankan pemain atau pelatih, fan pun bisa muak terus-terusan dijejali konten sepak bola. Dampaknya, lama kelamaan tingkat konsumsi berisiko mengalami penurunan.
Menggerus Keindahan Sepak Bola
Selepas Piala Dunia 2022 lalu, FIFPro, asosiasi pesepak bola profesional sedunia, pernah melakukan survei terhadap sejumlah pemain yang ikut berlaga di turnamen tersebut. Hasilnya: 86 persen pemain butuh waktu persiapan sedikitnya dua pekan sebelum turnamen, 61 persen persen menyatakan butuh waktu dua pekan untuk recovery selepas turnamen, dan 53 persen mengalami cedera atau merasa bakal mengalami cedera lantaran jadwal yang kelewat padat.
Pemain bukan satu-satunya pihak yang memprotes semua ini. Para pelatih pun begitu, mulai dari Erik ten Hag, Carlo Ancelotti, Mikel Arteta, sampai Pep Guardiola. Pundit yang juga pernah menjadi pelatih, Thierry Henry, pun sudah menyerukan hal serupa. Dengan kata lain, semua pihak, kecuali para administrator rakus di federasi-federasi yang korup, ingin jumlah pertandingan dikurangi atau setidak-tidaknya dibatasi.
Terlebih lagi, persoalan cedera akibat terlalu banyak pertandingan yang mesti dijalani ini tidak cuma terjadi di sepak bola laki-laki. Sepak bola perempuan pun mengalami persoalan serupa. Parahnya lagi, perempuan lebih rentan mengalami cedera parah seperti ACL (anterior cruciate ligament) sehingga banyak dari pesepak bola perempuan top yang terpaksa absen lama. Yang kena imbasnya apa lagi kalau bukan kualitas kompetisi?
Sepak bola, rasa-rasanya, sudah mencapai titik jenuh. Makin banyak pertandingan justru membuat olahraga ini kehilangan magi dan daya tariknya. Para pemain diperlakukan layaknya robot dan para penggemar diperlakukan seperti sapi perah. Dengan situasi seperti sekarang, masih layakkah sepak bola menyandang julukan the beautiful game?
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin