tirto.id - Pada saat riuh suasana politik jelang Pilpres 2019, Yusril Ihza Mahendra membuat langkah yang menjadi sorotan orang ramai. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu memutuskan untuk menjadi kuasa hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 setelah mendapat tawaran dari Erick Thohir.
Langkah Yusril ini oleh sebagian kalangan dianggap mengejutkan, karena ia sebelumnya rajin mengkritisi kebijakan pemerintahan Jokowi, di antaranya terkait dengan Undang-undang Ormas dan pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
PBB yang dipimpinnya pun sebelumnya cenderung lebih dekat dengan koalisi PKS, PAN, dan Gerindra, yang mengusung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno sebagai saingan Jokowi-Ma’ruf Amin. Meski posisi Yusril di kubu Jokowi-Ma’ruf “hanya” sebagai kuasa hukum, tapi sebagai pimpinan partai politik langkah ini tentu saja bermuatan politik.
Keputusan yang diambil Yusril mulai terlihat saat PBB tak menyatakan dukungan kepada salah satu kandidat ketika kedua pasangan tersebut setelah ditetapkan sebagai kontestan Pilpres 2019. Yusril mengatakan partainya hanya akan fokus pada Pileg 2019. Ia meminta kepada semua kadernya untuk berjuang meraih suara agar PBB kembali hadir di DPR.
Kendati kini menjadi Kuasa Hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, tapi Yusril yang juga pengacara HTI dalam menggugat pemerintah atas pembubaran organisasi tersebut. Menurut mantan juru bicara HTI, Ismail Yusanto, sikap Yusril masih dianggap sejalan dengan sikap HTI.
“Sejauh ini beliau sangat profesional menangani seluruh gugatan hukum kami sejak PTUN, Pengadilan Tinggi, sampai kasasi ini. Kami enggak ada pergantian kuasa hukum,” ujarnya.
Pernyataan Ismail Yusanto sejalan dengan yang dikatakan Yusril. Menurutnya, ia hanya menjadi kuasa hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, bukan tim suksesnya.
Meski membantah bahwa keputusannya bukan merupakan sikap politik, tapi rekam jejak Yusril dalam lingkungan politik, khususnya di masa Orde Baru sampai awal reformasi, menunjukkan bahwa ia kerap melenting lewat pelbagai manuver yang dianggap kontroversial.
Penulis Pidato Soeharto Hingga Kunci Poros Tengah
Menurut penuturan Yusril, ia banyak belajar politik kepada Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang kerap berseberangan dengan Presiden Sukarno. Saat Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Baharuddin Harahap mendirikan lembaga Islam untuk penelitian dan pengembangan masyarakat pada 1978, Yusril aktif di lembaga tersebut sebagai peneliti selama 12 tahun.
Selama kuliah di Universitas Indonesia, ia kerap berseberangan dengan pemerintahan Soeharto. Ia juga mengaku sangat dekat dengan tokoh-tokoh Petisi 50 yang terbit pada 1980, yang isinya memprotes penggunaan filsafat Pancasila yang digunakan Soeharto kepada lawan-lawan politiknya.
Dua hal itu menunjukkan bahwa Yusril tak sejalan dengan Soeharto. Namun, pada 1994, ia tiba-tiba membuat kejutan dengan menerima tawaran untuk bekerja di Sekretariat Negara yang tugasnya menyiapkan naskah-naskah presiden, seperti korespondensi presiden, pidato-pidato presiden, dan mencatat hasil sidang kabinet.
Baginya, tawaran tersebut cukup mengherankan, sebab ia merasa sebagai salah seorang yang rajin mengkritisi Soeharto. Hal ini ia utarakan kepada Mensesneg Moerdiono kala itu, ia orang bebas yang kerap mengkritisi pemerintah. Yusril bertanya kepada Moerdiono, apakah bila ia menerima pekerjaan itu, dirinya akan kehilangan kebebasannya?
Setelah menerima penjelasan dari menteri yang irit bicara itu, ia akhirnya menerima tawaran tersebut dengan jabatan Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara.
“Pak Moerdiono waktu itu masuk ke Bina Graha, ke kantor Presiden Soeharto, mungkin beliau bicara dengan Presiden Soeharto. Tidak lama kemudian beliau keluar, dan mengatakan ‘Saudara meski bekerja di sini, tapi di luar saudara orang bebas. Silakan saja saudara berbicara menurut keyakinan saudara sesuatu yang benar’,” ucapnya.
Keputusan Yusril untuk bekerja di Sekretariat Negara sontak membikin cemas kawan-kawannya, dan menuai cibiran dari lawan-lawan politiknya. Namun, Yusril beralasan keputusannya itu merupakan bagian dari perjuangan politik.
“Kalau kemudian saya bekerja di Setneg dan tiba-tiba saya disebut pengikut Soeharto itu bagaimana ceritanya?” ujarnya kepada Tempo.
Selain kerap berseberangan dengan pemerintah, Yusril yang sempat dianggap sebagai cendikiawan Muslim yang bersinar pernah menuding para pegiat HAM termasuk di Indonesia sebagai kepanjangan kepentingan pihak-pihak yang mendanai para pegiat HAM.
Pada 11 Desember 1996, saat menghadiri acara yang diadakan oleh Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Yusril menuding pihak Barat tak adil dalam merespons peristiwa yang terjadi di Myanmar. Ia mengatakan negara-negara Barat hanya gencar mengecam tindakan represif Pemerintah Myanmar terhadap tokoh oposisi Aung San Suu Kyi, tanpa memperhatikan penindasan terhadap Muslim Rohingya.
Sementara itu, di Indonesia ia mencontohkan timpangnya pembelaan pegiat HAM terhadap pelbagai peristiwa berdarah yang beberapa kali terjadi. Ia menilai aktivis HAM hanya rajin mempermasalahkan peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 dan membela rakyat Timor Timur yang merasa ditindas. Sementara itu, terhadap umat Islam, Yusril merasa pembelaan tersebut sangat minim, contohnya terhadap peristiwa Tanjung Priok 1984 yang banyak memakan korban jiwa.
“Itu disebabkan sejumlah organisasi non-pemerintah yang bergerak di negara ini telah menjadi alat perpanjangan tangan kelompok-kelompok ideologi dan keagamaan yang ada di negara-negara lain,” ucapnya kepada Gatra.
Pernyataan Yusril ini selain disesalkan para pegiat HAM dan organisasi non-pemerintah lainnya, juga secara tidak langsung menyerang pemerintah dengan mengungkit peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu tindakan brutal militer terhadap umat Islam Indonesia.
Sementara itu, pada 1997, saat krisis moneter mencekik rakyat dan mulai menimbulkan sejumlah kerusuhan, Yusril lagi-lagi membuat manuver. Mula-mula ia cenderung mendukung pemerintah saat sejumlah organisasi sosial politik (orsospol) mempermasalahkan rencana dihidupkannya lagi Tap MPR Nomor VI Tahun 1988 tentang pelimpahan tugas dan wewenang kepada presiden dalam rangka penyuksesan pembangunan nasional.
Tap MPR tersebut dinilai oleh sejumlah orsospol sebagai celah untuk memperkuat kekuasaan pemerintah dan rentan dijadikan alat untuk berlaku sewenang-wenang.
Namun, Yusril berpendapat lain. Menurutnya, Tap MPR itu memberikan batas-batas pelimpahan wewenang kepada presiden yang mengharuskan presiden memperhatikan hak-hak warga negara dan hukum yang berlaku dalam menjalankan wewenangnya.
“Kita jangan apriori seperti itu. Lagi pula, sejak adanya Tap itu, sampai sekarang belum pernah digunakan. Menurut saya, tak usah mengkhawatirkan terjadinya tindakan inskonstitusional,” ungkapnya.
Selang beberapa bulan kemudian, saat pemerintah meminta bantuan kepada IMF, sikap Yusril justru berbalik. Ia mengusulkan kepada DPR agar meratifikasi 50 butir perjanjian antara Soeharto dengan IMF. Usulannya agar langkah keuangan yang ditempuh presiden harus lewat persetujuan DPR adalah karena dampak dari perjanjian tersebut akan berdampak luas terhadap masyarakat.
“Sebab dampak politik dan ekonominya sangat luas dan bisa membebani seluruh rakyat,” ucapnya.
Pada 21 Mei 1998 Soeharto akhirnya mengundurkan diri, dan reformasi pun bergulir. Dua bulan setelah penguasa Orde Baru tumbang, Yusril dan kawan-kawannya mendirikan PBB pada 17 Juli 1998. Setahun kemudian saat pemilihan presiden pertama kali pasca Soeharto lengser dilakukan, ia kembali membuat langkah yang mengejutkan.
Pemilu 1999 menghasilkan dua poros utama yang menguasai kursi legislatif, yakni PDI Perjuangan (153 kursi) dan Partai Golkar (120 kursi). Sementara partai-partai Islam dan yang berbasis pendukung Islam tercecer dengan raihan kursi bervariasi, yang kemudian membentuk Poros Tengah sebagai kekuatan ketiga.
Setelah melewati sejumlah komunikasi alot yang dilakukan oleh para elite politik, akhirnya muncul tiga nama calon presiden yang akan dipilih anggota dewan, yakni Gus Dur, Megawati, dan Yusril Ihza Mahendra.
Munculnya nama Yusril—Partai Bulan Bintang hanya meraih 13 suara—dalam pencalonan presiden, menurut A.M. Fatwa dalam Dari Cipinang ke Senayan (2003) karena di kalangan Poros Tengah timbul kekhawatiran jika saat seleksi calon presiden, Gus Dur mengundurkan diri. Jadi, Yusril dipersiapkan sebagai pengganti.
Maka saat Gus Dur tetap maju sebagai calon presiden, Yusril segera mengundurkan diri. Gus Dur akhirnya terpilih sebagai Presiden RI ke-4 lewat voting di MPR setelah meraih suara sebanyak 373, mengungguli Megawati yang hanya mendulang 313 suara.
Poros Tengah berhasil menjadi kekuatan yang memenangkan pertarungan politik kala itu, dan peran Yusril menjadi catatan tersendiri. Liku politik ahli hukum tata negara kelahiran Belitung itu belum usai, termasuk hingga kini.
Editor: Suhendra