Menuju konten utama
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Iuran BPJS Naik, Gaji Direksi Perlu Diturunkan sebab Kinerja Buruk

Pemerintah dinilai tidak adil dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan sementara situasi nasional tidak menentu di tengah krisis pandemi COVID-19.

Iuran BPJS Naik, Gaji Direksi Perlu Diturunkan sebab Kinerja Buruk
Sejumlah pegawai melakukan aktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Dumai di Dumai, Riau, Rabu (15/4/2020). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid.

tirto.id - Kenaikan iuran BPJS Kesehatan melalui penerbitan Perpres 64 Tahun 2020 telah menuai kritik dari sejumlah kalangan. Pasalnya, pemerintah dinilai tidak adil dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan sementara situasi nasional tidak menentu di tengah krisis pandemi COVID-19.

Pengamat politik Hendri Satrio menyatakan agar ada keadilan maka gaji pejabat BPJS Kesehatan harus dikurangi di tengah kenaikan iuran.

"Kalau BPJS-nya dinaikkan ya, ada juga lah pengorbanan dari atau pengertian dari pejabat BPJS misalnya diturunkan gajinya sehingga ada pengertian rasa di negeri ini," kata Hendri kepada Tirto, Rabu (13/5/2020).

Hendri berpendapat, gagasan pengurangan gaji Direksi maupun Dewan Pengawas BPJS Kesehatan sudah tepat. Sebab, kinerja Dewan Pengawas maupun Direksi BPJS Kesehatan masih belum optimal dan masih menimbulkan kerugian bagi perusahaan meski gaji mereka besar.

"Sekarang BPJS Kesehatan dinaikin tujuannya apa? Untuk mengurangi defisit tapi pelayanan kesehatan gimana, kemudian manajemen BPJS Kesehatan gimana? Nggak tau juga," kata Hendri.

Alasan lain, kata Hendri, kinerja yang buruk juga harus diikuti dengan pemberian hukuman kepada jajaran direksi dan dewan pengawas. Salah satu bentuk hukuman tepat adalah pengurangan gaji.

"Jadi sebaiknya ada punishment juga buat mereka dengan pengurangan gaji," Kata Hendri.

Hendri menilai kenaikan iuran ini sebagai salah satu bentuk kebijakan yang sporadis. Sebab, presiden terlihat mengambil kebijakan tanpa menunjukkan gambaran besar kebijakannya, termasuk dalam menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Pria yang juga pendiri lembaga riset KedaiKopi ini khawatir ada segelintir pihak yang memanfaatkan momentum tersebut. Sebab, citra Presiden bisa terganggu dan menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah, apalagi iuran BPJS Kesehatan fluktuatif naik-turun dalam waktu kurang dari 6 bulan.

Ia berharap, kesalahan kenaikan iuran hanya akibat masalah komunikasi Presiden Jokowi dengan jajaran sehingga bisa segera diperbaiki.

"Ya mudah-mudahan ini permasalahannya seputar komunikasi aja. Jadi bukan tentang plan yang tidak ada dan kebijakan diambil keputusannya secara sporadis kalau hanya komunikasi kan mudah diperbaikinya," kata Hendri.

Sebagai informasi, besaran gaji Direksi maupun Dewan Pengawas BPJS Kesehatan diatur dalam pasal 44 UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kemudian, ketentuan penggajian diatur lebih lanjut lewat Perpres Nomor 110 tahun 2013.

Direksi maupun Dewan Pengawas BPJS, baik kesehatan maupun ketenagakerjaan mendapatkan gaji atau upah, manfaat tambahan lain serta insentif. Besaran gaji pokok diatur berkaitan dengan beban kerja dan kinerja BPJS. Selain itu, gaji juga diberikan dengan formula Gaji atau Upah Dasar x Faktor Penyesuaian inflasi x Faktor jabatan sesuai dengan pasal 5 Perpres 110 tahun 2013.

Namun, Perpres tersebut menyatakan ada perbedaan besaran gaji yang diterima direksi dan dewas. Direktur utama mendapatkan 100 persen dari rumus upah sementara anggota direksi mendapatkan 90 persen dari total penghitungan.

Khusus untuk Dewas, gaji Ketua Dewas sebesar 60 persen dari Direktur Utama sementara anggota Dewas sebesar 54 persen dari Direktur Utama.

Beberapa waktu lalu, BPJS Watch sempat menyebut kalau angka gaji Dirut BPJS mencapai Rp150 juta hingga Rp200 juta. Angka tersebut berdasarkan kalkulasi dari BPJS Watch sendiri.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri