Menuju konten utama

Islam dan Proxy War: Amunisi Gatot Nurmantyo Menghadapi Pilpres

Gatot Nurmantyo kian terus terang tentang pencalonannya sebagai presiden pada 2019. Ia masih menggunakan jualan lama soal proxy war dan mendekati kalangan Islam.

Islam dan Proxy War: Amunisi Gatot Nurmantyo Menghadapi Pilpres
Mantan Panglima Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (ke tiga kiri) berjalan bersama sejumlah tokoh masyarakat saat melakukan kunjungan ke Pondok Pesantren Alhamidy Banyuanyar, Pamekasan, Jawa Timur, Rabu (14/3/2018). ANTARA FOTO/Saiful Bahri

tirto.id - Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tidak lagi berdalih, "Saya masih prajurit TNI," saat ditanya rencana mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Setelah resmi pensiun sebagai tentara per 31 Maret 2018, Gatot kini terdengar lebih lepas saat memberikan pernyataan. Kepada Andini Effendi, pembawa acara Metro Pagi Primetime, laki-laki yang sempat menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu berkata, "Capres!" saat diberi pertanyaan "Capres atau cawapres?"

Melalui keterangan tertulis yang disampaikan pada Minggu (1/4/2018), Gatot pun menegaskan bahwa kini dia adalah warga sipil yang memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.

"Mulai hari ini saya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai anak bangsa, anggota masyarakat sipil dan warga negara RI lainnya, termasuk untuk memiliki hak memilih, juga hak dipilih saat pemilu mendatang,” ujar Gatot.

Sebelumnya, sulit menemukan pernyataan lepas seperti itu muncul dari Gatot. Dia amat berhati-hati bahkan terkesan menutup mulut soal ambisinya menjadi capres.

Dalam program Mata Najwa, Najwa Shihab bertanya, "Berani jadi presiden?"

Jawaban Gatot, "Sekarang saya masih sebagai seorang prajurit. Tetapi, tetapi loh ya, apabila kelak memang rakyat menginginkan. Apapun jabatan, itu menjadi panggilan tugas dan tanggung jawab."

Namun, di balik kemisteriusan jawaban itu, Gatot kian rajin memoles citranya lewat akun Twitter dan Instagram @nurmantyo_gatot yang dia bikin pada 1 Januari 2018. Dia pun mengubah tampilan, yang semula berseragam resmi kini berjas atau berbaju koko necis.

Pada saat itu pula, laki-laki kelahiran Tegal, Jawa Tengah itu gemar menyambangi pesantren-pesantren dari ujung barat Jawa hingga Nusa Tenggara Barat (NTB). Isu proxy war yang dicetuskannya sejak jadi Panglima Kostrad pun menjadi salah satu amunisinya menuju Pilpres 2019.

Upaya Merangkul Eksponen Masyumi dan Nahdlatul Ulama

Melalui penelusuran berita media daring, Gatot tercatat mengunjungi 4 pesantren selama menjabat Panglima TNI, Juli 2015 hingga Desember 2017. Pertama kali, Gatot mengunjungi Pesantren Buntet, di Cirebon, Jawa Barat bersama sejumlah jajaran menteri Kabinet Kerja Jokowi pada Juli 2015.

Kunjungan tersebut berlangsung tidak lama setelah peristiwa pembakaran masjid di Tolikara, Papua. Pesantren ini pula yang selama dua tahun berikutnya kembali dikunjungi Gatot, yakni pada Maret 2016 dan April 2017.

Pesantren lain yang dikunjungi Gatot lebih dari dua kali adalah Pesantren Tebuireng di Jawa Timur. Bersama para kepala staf TNI, Gatot secara khusus berkunjung ke sana pada September 2016 dan 2017 dalam rangka memperingati HUT TNI. Pesantren ini istimewa karena dibangun oleh Kiai Haji Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

Sedangkan dua pesantren lainnya, Qamarul Huda Bagu di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat dan An-Nur 2 Bululawang di Malang dikunjungi Gatot masing-masing pada April 2016 dan Juli 2017.

Setelah tidak lagi menjadi Panglima TNI, kunjungan Gatot ke pesantren tampak lebih intensif. Dari Januari hingga Maret 2018, Gatot bertandang ke 6 pesantren yang tersebar di pulau Jawa dan Madura.

Pada 21 Januari 2018, Gatot berkunjung ke Pesantren Daar el-Qolam, Gintung, Banten. Saat itu, pesantren tersebut tengah menyelenggarakan Sarasehan Kiai Pimpinan Pesantren Alumni Gontor dan peringatan 50 tahun kelahiran Daar el-Qolam.

Lima hari kemudian, Gatot pergi ke Kabupaten Bekasi. Di sana, dia mengunjungi Pondok Pesantren Attaqwa yang tengah menyelenggarakan haul Haji Anwar bin Haji Layu dan Kiai Haji Noer Ali.

Baik pendiri Daar el-Qolam, Kyai Haji Qashad Mansyur, dan pendiri Attaqwa, Kiai Haji Noer Ali, merupakan pegiat Masyumi—partai yang dibekukan Sukarno pada 1960. Resmi menjadi partai pada November 1945, Masyumi berasas Islam dan berusaha mengintegrasikan kekuatan politik masyarakat Islam di Indonesia semasa awal kemerdekaan.

Perjalanan gerilya Gatot ke pesantren di Jawa Barat pun berlanjut. Pada 27 Januari 2018, Gatot mengunjungi Pondok Pesantren Sirnarasa di Kabupaten Ciamis. Sedangkan pada 9 Februari 2018, Gatot bertandang ke Pesantren Ma'had Al-Zaitun di Indramayu.

Setelah Jawa Barat, Gatot pergi ke Jawa Timur. Pada 14 Maret 2018, Gatot hadir dalam dialog kebangsaan di salah satu pesantren terbesar di Madura, LPI Al-Hamidy Banyuanyar. Sementara pada 15 Maret 2018, Gatot berkunjung ke pesantren putri Tahfidzul Qur’an, Kediri. Tahfidzul Qur’an didirikan Ahmad Idris Marzuki, kiai terpandang di kalangan nahdliyin dan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo.

Di Balik Pidato Gatot

Gatot tentunya tidak diam saja kala berkunjung ke pesantren tersebut. Dia selalu diberi tempat untuk berpidato.

Peran Hasyim Asy'ari selalu disanjung Gatot saat berkunjung di Tebuireng. Tidak hanya sebagai ulama, tapi juga sebagai pengorganisasi milisi pendukung kemerdekaan Indonesia. Selain Kyai Hasyim, Soedirman juga menjadi tokoh yang kerap diceritakan Gatot. Tak hanya sebagai Panglima Besar yang bergerilya melawan penjajah, tetapi juga sebagai seorang santri sekaligus guru pesantren.

Selain itu, Gatot juga kerap menyitir bahwa "TNI dilahirkan dari ulama". Di Tahfidzul Qur’an, misalnya, Gatot mengatakan, "Suatu kebahagiaan bisa ada di sini, rasanya adem, bersama para ulama. Karena dari segi sejarah, TNI dilahirkan dari para ulama. Karena yang berjuang menyatukan bangsa ini adalah para ulama.”

Tak melulu soal kisah-kisah tokoh, dalam kunjungan ke pesantren-pesantren Gatot juga menyatakan negara-negara lain tengah bersaing memperebutkan Indonesia.

"Akan terjadi persaingan antara negara, dan indonesia menjadi perebutan semua negara. Siapa yang bisa menguasai Indonesia, negara itu akan nyaman dan tenteram karena akan memperoleh sumber energi yang luar biasa," kata Gatot di Pesantren Daar el-Qolam.

Dalam hal ini, Gatot tampak berusaha meletakkan tentara dan santri sebagai elemen dwitunggal yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Disebut dwitunggal karena keduanya mewujud dalam satu tokoh, antara Hasyim Asy'ari dan Soedirman.

Pernyataan soal ancaman Indonesia diperebutkan negara lain juga bukan perkataan anyar Gatot. Sejak Maret 2014, ancaman yang dikategorikan Gatot sebagai proxy war tersebut telah disampaikannya secara rutin saat memberikan kuliah umum di sejumlah universitas di Indonesia.

Menurut Gatot, energi fosil akan habis dan digantikan dengan bioenergi pada 2043. Namun, populasi penduduk dunia tumbuh pesat dan tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, air bersih, dan energi. Melihat kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia berpotensi dijadikan sasaran rebutan negara lain.

Infografik Gatot nurmantyo

Penciptaan wacana tersebut dapat dilihat sebagai cara Gatot meraih simpati para pemimpin pesantren. Para kiai memang memiliki posisi strategis dalam dinamika politik di Indonesia. Endang Turmudi dalam Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004) mengatakan, pesantren adalah lembaga penting tempat kiai menjalankan kekuasaannya.

“Lebih dari itu, pengaruh yang lebih luas dan pola kepemimpinan kiai yang lintas desa memudahkannya berhubungan dengan pihak-pihak pemerintah dan swasta. Kiai kadang-kadang juga memainkan peran perantara dalam mentransmisikan pesan-pesan pemerintah tentang pembangunan kepada masyarakat, dan masyarakat dapat lebih mudah menerima program pemerintah bila itu dikemukakan oleh seorang kiai,” tulis Endang (hlm. 31-32).

Jika ditafsirkan lebih jauh, pernyataan Gatot menyiratkan bahwa pemimpin yang memiliki kualifikasi dwitunggal tak lain adalah dirinya. Dengan kata lain, Gatot ingin mengkampanyekan dirinya adalah sosok yang tepat untuk menjaga Indonesia agar tidak hancur di masa depan.

Modal Cekak Jenderal

Pendaftaran capres dan cawapres bakal digelar sekitar 4 bulan lagi. Untuk melaju sebagai kandidat presiden, salah satu modal yang mesti dimiliki Gatot adalah elektabilitas. Untuk saat ini, persentase elektabilitas Gatot masih sangat jomplang dibanding Joko Widodo atau Prabowo Subianto, seniornya di Angkatan Darat.

Hasil survei top of mind Populi Center menyebutkan elektabilitas Gatot sebesar 0,9 persen. Sedangkan Poltracking Indonesia menyatakan elektabilitas Gatot sebesar 0,3 persen. Sementara itu, Alvara Research Center menyatakan Gatot memiliki elektabilitas 1,4 persen.

Selain itu, hingga saat ini, belum ada partai yang secara resmi mengusung Gatot. Lima parpol sudah menyatakan dukungannya kepada Jokowi untuk menjadi capres, yakni PDIP, Hanura, Golkar, Nasdem, dan PPP. Sedangkan Gerindra cenderung ingin mengusung Prabowo, meski masih terbuka banyak kemungkinan di masa datang.

Meski demikian, sejumlah kelompok masyarakat telah mengorganisasikan diri untuk membentuk tim relawan pemenangan Gatot. Misalnya Relawan Selendang Putih Nusantara, Front Eksponen '98, dan Gen '98.

Gatot mungkin bisa menempuh jalan lain, yakni menjadi kandidat cawapres, baik sebagai pendamping Jokowi atau Prabowo. Ini tentu bukan hal mudah bagi Gatot, yang berambisi menjadi presiden.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan