tirto.id - Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual meminta pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang dilakukan pemerintah dan DPR RI harus dilakukan secara hati-hati. Kehati-hatian diperlukan guna menghasilkan undang-undang yang solutif dan implementatif, terutama bagi korban kekerasan seksual.
“RUU TPKS harus memuat materi yang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual,” tulis mereka dalam rilisnya yang didapatkan Tirto pada Selasa (29/3/2022) malam.
“Jangan sampai ada korban yang didiskriminasikan karena RUU tidak menjangkau mereka akibat luput dalam pembahasan,” tambah mereka.
Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual juga mengapresiasi kerja pemerintah dan DPR yang memiliki semangat untuk segera mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang.
“Tentu semangat dan proses pembahasan dalam waktu singkat perlu tetap memperhatikan substansi RUU TPKS,” katanya.
Kemudian jaringan itu menerangkan bahwa RUU TPKS adalah hukum pidana khusus yang beban muatan hukum materil dan formilnya cukup banyak. Sehingga, pemerintah dan DPR harus memperhatikan tujuan dibentuknya UU, yakni mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama perempuan, anak dan disabilitas korban kekerasan seksual.
Dalam rumusan RUU TPKS tentang aborsi, Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual mengusulkan pemerintah dan DPR menghapus ketentuan aborsi sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual.
Sebagai gantinya, pemerintah dan DPR dapat memasukkan pemaksaan aborsi ke dalam RUU tersebut sebagai tindak pidana. Mereka menganggap pemaksaan aborsi juga sebagai bagian dari kekerasan seksual.
“Perempuan dengan kondisi tertentu berhak mengakses aborsi yang aman sebagaimana telah diatur dalam UU Kesehatan,” tulisnya.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Bayu Septianto