tirto.id - “Hari ini sepi, soalnya kantor kan libur”
Jawaban itu menjadi pembuka perbincangan saya dengan Parijan, pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, Sabtu (3/3/2018). Parijan, 46 tahun, sehari-hari berdagang minuman ringan dan rokok di kawasan ini sudah 10 tahun lamanya.
Namun, sepekan terakhir, kawasan tempatnya berjualan di Jalan Sunan Ampel dan Jalan Adityawarman I menjadi sorotan karena padat dengan aktivitas PKL dengan penampakan barisan spanduk bertuliskan OK-OCE.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta langsung menggelar operasi penertiban spanduk karena dianggap ilegal. Operasi kali ini tidak menggusur pedagang, tapi hanya menurunkan spanduk yang diklaim oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno bukan dari Pemprov DKI Jakarta.
Sebelum kehadiran para PKL dan spanduk OKE-OCE-nya, Parijan bercerita bahwa PKL di sepanjang Jalan Sunan Ampel kerap kucing-kucingan dengan Satuan Polisi Pamong Praja. Kawasan itu merupakan kawasan terlarang buat PKL.
Dapat Izin
Pada Januari 2018, pedagang bertemu dengan Lurah Melawai dan Camat Kebayoran Baru membahas izin usaha di kawasan Melawai. Pertemuan itu akhirnya menyepakati pedagang boleh berjualan di kawasan tersebut asalkan kawasan itu kembali bersih selepas pedagang berjualan.
“Ini juga kalau enggak ada izin camat, kami juga enggak berani,” ucap lelaki yang akrab disapa Ijan ini.
Saat izin diberikan, pedagang mulai patungan membeli tenda dengan warna hijau tua seharga Rp500 ribu. Jep, salah seorang pedagang lain yang berjualan di kawasan itu mengumpulkan uang sukarela para pedagang. Para pedagang bisa menggunakan satu tenda untuk lima orang.
Pedagang yang enggan menyebut nama lengkapnya ini mengatakan ada aturan yang diberikan camat setempat buat para pedagang yakni mereka hanya dapat izin berdagang mulai dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB dan tidak boleh berjualan di trotoar yang berada di dekat Kantor Pusat PLN.
“Jadi ngikutin jam kerja kantor,” ucap Jep.
Pedagang memasang spanduk OK-OCE di setiap lapak mereka. Spanduk itu berasal dari salah seorang koordinator pedagang, tapi Jep yang berjualan ketoprak ini tak mau buka cerita siapa koordinator yang ia maksud. “Itu dibikinin, yang bikin koordinator,” ucapnya.
Pedagang kemudian memasang spanduk hingga Selasa, 27 Februari 2018. Hari itu, PKL mendapat arahan dari sang koordinator buat mencopot spanduk. “Katanya ada masalah, disuruh dicopot dulu” ucap lelaki 48 tahun ini.
PKL di Melawai berspanduk OK-OCE ini dianggap menghalangi pejalan kaki. Wakil Gubernur DKI sekaligus inisiator OK-OCE Sandiaga Uno tak ambil pusing soal sorotan itu. Sikap Pemprov DKI Jakarta terhadap PKL di Melawai melunak.
Sandi malah menyebut pihaknya akan mendata 75 PKL di kawasan Melawai buat didaftarkan ke program OK-OCE. Ia berharap, para pengusaha mikro, kecil dan menengah itu dapat meningkatkan pendapatan dan berkembang menjadi usaha besar dan makro.
“Pemerintah harus mencari balancing bagaimana bisa mengelola teman-teman [PKL] tersebut," tutur mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia ini.
Ironi Pejalan Kaki dan PKL
Selama berjualan di Kawasan Melawai, Jep ataupun Paijan berdagang di trotoar yang berada di Jalan Sunan Ampel dan Jalan Adityawarman I. Mereka menggelar lapak dan memasang tenda di atas trotoar.
Menurut Jep, omzet berjualan di kawasan ini lumayan besar. Setiap jam makan siang, Gerobak ketoprak milik Jep didatangi puluhan pekerja yang berkantor di kawasan Melawai.
“Di sini bisa sampe 30 piring [per hari],” kata Jep.
Jumlah tersebut terbilang banyak lantaran jika ia membandingkan dengan pendapatan saat masih berjualan keliling, ia hanya mampu menjual ketoprak paling banyak 20 piring.
Parijan juga merasakan keuntungan berjualan di trotoar. “Enak di sini enggak usah capek keliling-keliling” ucap Parijan.
Para pedagang mengaku sadar ada aturan yang melarang mereka berjualan di sepanjang trotoar. Jep merasa peraturan yang ada hanya berlaku untuk jalan protokol, sementara kawasan Jalan Sunan Ampel dan Jalan Adityawarman I, hanyalah jalanan komplek.
“Kalau jualannya di Jalan Trunojoyo atau Jalan Antasari itu baru bikin macet,” kata Jep.
Yudhi salah satu petugas kebersihan di Gedung Recapital mengaku harus jalan kaki di jalur motor dan mobil lantaran trotoar penuh dengan pedagang. Namun, ia tetap butuh PKL yang kebanyakan berjualan makanan di kawasan itu.
“Saya makan di sana karena dekat tinggal jalan kaki,” ucapnya.
Surlana mengaku cukup sering berbelanja karena barang-barang yang para pedagang jual cukup beragam. “Di sini kaya pasar kaget aja, jadi kadang belanja juga di sini” ucapnya.
Surlana memang terganggu sebagai pejalan kaki, tapi ia mencoba mengerti karena tujuan para pedagang juga sama-sama untuk menghidupi keluarganya.
“Mereka juga cari nafkah. Yang penting jaga kebersihan aja,” kata pria yang bekerja di Kantor PLN ini.
Namun, apapun alasan dan tujuannya, pemprov DKI Jakarta kembali mengulang kebijakan seperti di Tanah Abang yang melonggarkan penggunaan bahu jalan untuk para PKL. Bila pola semacam ini terus terjadi, akan menjadi ironi bagi Jakarta yang masih harus berbenah banyak hal termasuk soal memberi hak bagi para pejalan kaki.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih